Pagi
ini Okta memasuki bangku sekolah dasar, Maya mengantarnya di hari pertamanya
masuk sekolah. Okta bersekolah di sekolah yang berbeda dengan sang kakak, ia
berhasil lolos seleksi dan diterima di sekolah dasar terfavorit di kotanya.
Sementara sang kakak bersekolah di sekolah dasar swasta. Karena dulu tidak
lolos saat seleksi awal. Arin memang tumbuh menjadi anak yang manja dan sedikit
nakal karena sang ayah selalu memanjakannya. Ketika berbuat salah Maya
terkadang mencoba untuk memarahi putrinya. Tapi Rohman selalu membela putrinya
itu. Prestasi di sekolahnya pun kurang bagus, ia jarang mengerjakan pekerjaan
rumah yang diberikan gurunya. Lebih banyak bermain dengan mainan-mainan dan
gadget yang diberikan ayahnya. Bahkan disuruh belajar pun harus di iming-imingi
mainan baru dulu oleh sang ayah baru ia mau belajar.
Berbeda dengan arin, Okta tumbuh dan besar dalam didikan
Maya. Jauh dari kemewahan dan kemanjaan. Sejak kecil ia diajarkan untuk
mandiri. Kasih sayang yang hanya didapat dari ibunya membuatnya sangat
menyayangi sang ibu melebihi siapapun. Berbagai kekerasan pernah ia saksikan di
depan matanya, tapi Maya selalu mengajarkannya untuk bersabar dan tak membalas
kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebelum memasuki bangku sekolah dasar, Okta
sudah bisa membaca dengan lancar, ia mempelajari membaca dari buku-buku
pelajaran sang kakak yang diam-diam ibunya bawakan. Arin pun tak pernah
menyadari jika ada beberapa buku-bukunya yang hilang, karena memang ia jarang
bahkan hampir tak pernah membaca buku-buku tersebut.
“Mah, mamah pulang aja, ga usah nungguin aku, aku berani kok
sendiri,” ucap Okta meyakinkan Ibunya.
“Okta beneran berani? Aduh, pinternya anak Ibu, yaudah Okta
masuk kelas sana, jangan nakal ya sama teman-temannya. Nanti ibu balik lagi
jemput Okta kalau Okta sudah pulang,” senyum Maya merekah mendengar kata-kata
anaknya yang pintar.
“Iya Mah, nanti Okta bakal ajarin temen-temen Okta baca,
yaudah aku ke kelas dulu ya Mah,” ucap Okta sambil mencium tangan Maya.
“Iya sayang, sini mamah cium dulu anak mamah yang paling
pintar,” ucap Maya sambil mencium pipi dan kening Okta.
“Dadah mamah!” Okta melambaikan tangannya.
Okta pun berlalu pergi memasuki ruang kelasnya, Maya
kemudian beranjak pulang dengan senyuman kebahagiaan di wajahnya. Di saat
anak-anak lain menangis minta di tunggui oleh orang tuanya, tapi Okta dengan
percaya dirinya menyuruh sang Ibu untuk pulang. Orang tua mana yang tak bangga
memiliki anak sepintar Okta.
Pukul sepuluh pagi Maya sudah bersiap menunggu kepulangan
anaknya tercinta. Bersama para orang tua lainnya, ia begitu antusias menjemput
anaknya untuk pulang di hari pertama sekolahnya. Banyak pertanyaan-pertanyaan
yang ingin ia tanyakan kepada anaknya itu. Apa saja yang dilakukan sang anak,
siapa saja teman barunya, pelajaran apa yang diberikan sang guru. Kebahagiaan
tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh para orang tua di hari pertama
anaknya mulai bersekolah.
Tak lama satu persatu siswa mulai keluar, mereka mulai
mencari orang tua masing-masing. Bahkan ada yang menangis histeris karena orang
tuanya tak ada di depan kelas seperti orang tua yang lainnya. Okta pun terlihat
keluar kelas dengan senyum yang merekah.
“Okta, sini nak!” panggil Maya.
“Okta, sini nak!” panggil Maya.
“Iya Mah” Okta menghampiri sang Ibu.
“Bagaimana sekolahnya Nak?” tanya Maya.
“Menyenangkan Mah, tadi bu guru bertanya siapa yang mau
mengenalkan diri di depan, aku langsung tunjuk tangan, terus aku perkenalkan
diri, aku juga bilang kalau Mamah adalah malaikatku,” jawab Okta bersemangat.
“Uhhh, pintarnya anak Mamah,” Maya memeluk Okta dengan erat.
“Yaudah, ayo kita pulang sayang, ceritakan lagi
semuanya ke mamah sambil jalan ya,”
lanjut Maya.
“Iya Mah, ayoooo!”
Maya menggandeng tangan mungil Okta, kemudian melangkah
pulang. Sepanjang jalan Okta dengan besemangat menceritakan semua pengalamannya
di hari pertama ia bersekolah. Maya mendengarkan dengan seksama sambil terus
memuji anaknya. Okta terlihat bahagia, akhirnya ia kini bisa bersekolah,
memiliki teman-teman baru dan yang terpenting ia akhirnya bisa memakai seragam
berwarna merah putih yang selama ini ia impi-impikan dan hanya bisa lihat saat
sang kakak mengenakannya.
Cukup lama mereka berdua berdiri di pinggir jalan, datanglah
angkot yang mereka tunggu-tunggu. Mereka
bergegas naik, Maya dengan sigap menaikkan Okta terlebih dahulu, ketika Maya
ingin masuk ternyata angkot sudah mulai jalan karena sang supir mungkin sedang
terburu-buru. Maya berhasil naik, tapi karena panik sendalnya lepas satu dan
jatuh ke jalan. Setelah duduk Maya kemudian melepas sepatu yang sebelah lagi
dan membuangnya ke jendela angkot. Okta terlihat bingung dengan apa yang
dilakukan Ibunya.
“Kenapa Mamah membuang sendal yang satu lagi?” tanya Okta
heran.
Maya tersenyum lalu berkata, “Nak, jika nanti ada yang
menemukan sendal Mamah yang jatuh tadi saat naik, tidak akan berguna jika hanya
sebelah. Begitu juga Mamah, jika hanya sebelah yang Mamah pakai maka tidak akan
ada gunanya buat Mamah. Jadi Mamah buang yang satu lagi, kalau nanti ada orang
yang menemukannya, semoga kedua sendal itu bisa berguna untuknya. Pahala juga
buat Mamah”.
“Untuk apa kita menahan sesuatu yang tidak ada gunanya untuk
diri kita sendiri, bukankah lebih baik kita melepasnya jika memang bisa berguna
dan bermanfaat untuk orang lain Nak. Begitu juga dalam hidup, jangan pernah
kita menahan-nahan sesuatu yang bisa bermnfaat untuk orang lain hanya karena
kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang sama sekali tak ada manfaatnya untuk
diri kita. Melepaskan dan mengikhlaskan sesuatu itu terkadang bisa membuat kita
mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai gantinya,” lanjutnya.
“Oh begitu Mah, iya Mah, aku mengerti sekarang,” jawab Okta
sambil mengangguk.
“Jangan jadi orang yang egois ya Nak, berbagilah kepada
sesama,” Maya lanjut menasehati.
“Iya Mah, Mamahku baik sekali, Mamah adalah malaikat yang
dikirim Tuhan untukku,” ucap Okta sambil memeluk Ibunya di dalam angkot.
Semua penumpang di dalam angkot tersenyum haru mendengar
perbincangan antara anak dan ibu tersebut. Beberapa bahkan ada yang
mengusap-usap kepala Okta sambil berkata, “Wah anaknya pintar sekali ya bu”.
Maya pun balas memeluk erat anak lelakinya tersebut dengan penuh kebanggaan.
Sambil sesekali menciumi kepalanya. Setelah sampai tempat tujuan turunlah
mereka berdua dari angkot. Mereka berjalan bergandengan menuju kediaman mereka.
Pemandangan yang cukup janggal karena sang ibu berjalan telanjang kaki.
Orang-orang yang melihatnya hanya keheranan sambil mengernyitkan dahi,
sementara Okta begitu bangga menggandeng ibunya yang merelakan sendalnya agar
bisa bermanfaat untuk orang lain.
“Mah, nanti kalau aku sudah besar, sudah kerja. Aku akan
belikan Mamah sendal baru, supaya surgaku tidak lecet lagi Mah,” ucap Okta
polos.
“Iya sayang, terima kasih. Semoga kamu cepat besar ya Nak,
supaya bisa membahagiakan Mamahmu ini,” jawab Maya tanpa terasa bulir air mata
kebahagiaan menetes di matanya.
“Mamah kenapa menangis, sakit ya Mah kakinya?” tanya Okta
kemudian ikut menangis karena sedih melihat sang Ibu menangis.
“Ga papa Nak, Mamah enggak sakit kakinya, Mamah menangis
bahagia karena memiliki anak sepintar kamu”.
“Sudah Nak, jangan menangis lagi. Simpan air matamu untuk
saat-saat bahagia nanti,” lanjut Maya sambil mengusap air mata yang menetes di
pipi Okta.
“Iya Mah, Mamah juga jangan nangis lagi ya, Okta ga mau
melihat malaikat Okta sedih. Mulai saat ini aku ga akan membiarkan siapapun
membuat Mamah sedih apalagi sampai menangis,” jawab Okta.
“Iya sayangku,” cukup lama Maya menciumi dan mengusap kepala
Okta.
***
Hari
ini adalah hari ulang tahun Arin yang ke 9 tahun. Rohman membelikannya sebuah
kelinci sebagai hadiah. Awalnya Arin begitu senang dan rajin memeliharanya.
Tapi lama kelamaan ia mulai bosan. Akhirnya kelinci pun tak terurus, sehingga
Maya lah yang akhirnya rutin memberi kelinci itu makan.
Suatu hari Maya ingin memberi makan sang kelinci, tapi
kelinci itu tiba-tiba lepas dari kandangnya dan berlari-larian di halaman
rumah. Maya susah payah mengejarnya, akhirnya dengan bantuan Okta, Maya
berhasil menangkapnya. Tapi ternyata kelinci tersebut berusaha untuk
memberontak dan menggigit jari Maya hingga membuatnya berdarah.
“Awww, kelinci nakal!” teriak Maya kesakitan.
“Mamah ga papa?” tanya Okta khawatir.
“Iya ga papa Nak, tolong kau bawa kelinci ini ke kandang ya,
sekalian kasih wortel. Mamah mau ke dalam dan mengobati lukanya dulu,” perintah
Maya kepada Okta.
“Iya Mah,” ucap Okta menurut.
Beberapa jam kemudian Maya hendak memasak karena hari sudah
sore, sebentar lagi Rohman pulang, jadi dia harus segera menyiapkan makan malam
untuk suaminya tercinta. Arin sedang asik bermain game di kamar lewat laptop
milik ayahnya. Sementara Okta sedang asik bermain di halaman bersama kelinci.
Maya kebingungan mencari-cari pisau dapurnya. Tanpa pisau ia tak bisa memotong
bahan-bahan untuk memasak. Ia coba mengingat-ingat kembali kapan terakhir ia
memakainya dan di mana meletakkannya. Tapi tak ia temukan juga walau sudah
mencari ke segala sudut dapur, bahkan sampai ke ruang tamu pun ia cari. Lalu ia
ke lantai atas, menuju kamar Arin dan bertanya kepadanya.
“Nak, kamu liat pisau dapur mamah enggak?” tanya Maya
lembut.
“Gak tau ah! Mamah gangguin aku aja, lagi seru nih. Lagian
ngapain juga aku nyimpenin pisau!” jawab Arin ketus.
“Hmm, yaudah maaf ya Nak kalau gitu,” jawab Maya sedih.
Arin diam tak menjawab, ia masih asik dengan gamenya dan tak
mempedulikan ibunya. Maya hanya bisa menghela nafas, kemudian turun dan menuju
ke halaman untuk bertanya kepada Okta. Sesampainya di halaman, dilihatnya Okta
sedang duduk di depan kandang kelinci. Maya kemudian menghampirinya. Alangkah
terkejutnya Maya, ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat saat itu. Okta
duduk berlumuran darah di depan kandang kelinci, tapi itu bukan darahnya,
melainkan darah kelinci yang sedang ia potong-potong menggunakan pisau dapur
milik ibunya. Okta menusuk-nusukkan pisau tersebut,lalu mengiris-iris kelinci tersebut menjadi
bagian-bagian kecil. Memisahkan kepala, kaki dan tangan dari tubuh sang kelinci.
“Okta, apa yang kau lakukan Nak?” tanya Maya panik.
Bersambung....