JANGAN SAKITI MALAIKATKU (5)

                Pagi ini Okta memasuki bangku sekolah dasar, Maya mengantarnya di hari pertamanya masuk sekolah. Okta bersekolah di sekolah yang berbeda dengan sang kakak, ia berhasil lolos seleksi dan diterima di sekolah dasar terfavorit di kotanya. Sementara sang kakak bersekolah di sekolah dasar swasta. Karena dulu tidak lolos saat seleksi awal. Arin memang tumbuh menjadi anak yang manja dan sedikit nakal karena sang ayah selalu memanjakannya. Ketika berbuat salah Maya terkadang mencoba untuk memarahi putrinya. Tapi Rohman selalu membela putrinya itu. Prestasi di sekolahnya pun kurang bagus, ia jarang mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya. Lebih banyak bermain dengan mainan-mainan dan gadget yang diberikan ayahnya. Bahkan disuruh belajar pun harus di iming-imingi mainan baru dulu oleh sang ayah baru ia mau belajar.

Berbeda dengan arin, Okta tumbuh dan besar dalam didikan Maya. Jauh dari kemewahan dan kemanjaan. Sejak kecil ia diajarkan untuk mandiri. Kasih sayang yang hanya didapat dari ibunya membuatnya sangat menyayangi sang ibu melebihi siapapun. Berbagai kekerasan pernah ia saksikan di depan matanya, tapi Maya selalu mengajarkannya untuk bersabar dan tak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebelum memasuki bangku sekolah dasar, Okta sudah bisa membaca dengan lancar, ia mempelajari membaca dari buku-buku pelajaran sang kakak yang diam-diam ibunya bawakan. Arin pun tak pernah menyadari jika ada beberapa buku-bukunya yang hilang, karena memang ia jarang bahkan hampir tak pernah membaca buku-buku tersebut.

“Mah, mamah pulang aja, ga usah nungguin aku, aku berani kok sendiri,” ucap Okta meyakinkan Ibunya.

“Okta beneran berani? Aduh, pinternya anak Ibu, yaudah Okta masuk kelas sana, jangan nakal ya sama teman-temannya. Nanti ibu balik lagi jemput Okta kalau Okta sudah pulang,” senyum Maya merekah mendengar kata-kata anaknya yang pintar.

“Iya Mah, nanti Okta bakal ajarin temen-temen Okta baca, yaudah aku ke kelas dulu ya Mah,” ucap Okta sambil mencium tangan Maya.

“Iya sayang, sini mamah cium dulu anak mamah yang paling pintar,” ucap Maya sambil mencium pipi dan kening Okta.

“Dadah mamah!” Okta melambaikan tangannya.

Okta pun berlalu pergi memasuki ruang kelasnya, Maya kemudian beranjak pulang dengan senyuman kebahagiaan di wajahnya. Di saat anak-anak lain menangis minta di tunggui oleh orang tuanya, tapi Okta dengan percaya dirinya menyuruh sang Ibu untuk pulang. Orang tua mana yang tak bangga memiliki anak sepintar Okta.

Pukul sepuluh pagi Maya sudah bersiap menunggu kepulangan anaknya tercinta. Bersama para orang tua lainnya, ia begitu antusias menjemput anaknya untuk pulang di hari pertama sekolahnya. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada anaknya itu. Apa saja yang dilakukan sang anak, siapa saja teman barunya, pelajaran apa yang diberikan sang guru. Kebahagiaan tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh para orang tua di hari pertama anaknya mulai bersekolah.

Tak lama satu persatu siswa mulai keluar, mereka mulai mencari orang tua masing-masing. Bahkan ada yang menangis histeris karena orang tuanya tak ada di depan kelas seperti orang tua yang lainnya. Okta pun terlihat keluar kelas dengan senyum yang merekah.

“Okta, sini nak!” panggil Maya.

“Iya Mah” Okta menghampiri sang Ibu.

“Bagaimana sekolahnya Nak?” tanya Maya.

“Menyenangkan Mah, tadi bu guru bertanya siapa yang mau mengenalkan diri di depan, aku langsung tunjuk tangan, terus aku perkenalkan diri, aku juga bilang kalau Mamah adalah malaikatku,” jawab Okta bersemangat.

“Uhhh, pintarnya anak Mamah,” Maya memeluk Okta dengan erat.

“Yaudah, ayo kita pulang sayang, ceritakan lagi semuanya  ke mamah sambil jalan ya,” lanjut Maya.

“Iya Mah, ayoooo!”

Maya menggandeng tangan mungil Okta, kemudian melangkah pulang. Sepanjang jalan Okta dengan besemangat menceritakan semua pengalamannya di hari pertama ia bersekolah. Maya mendengarkan dengan seksama sambil terus memuji anaknya. Okta terlihat bahagia, akhirnya ia kini bisa bersekolah, memiliki teman-teman baru dan yang terpenting ia akhirnya bisa memakai seragam berwarna merah putih yang selama ini ia impi-impikan dan hanya bisa lihat saat sang kakak mengenakannya.

Cukup lama mereka berdua berdiri di pinggir jalan, datanglah angkot yang mereka tunggu-tunggu.  Mereka bergegas naik, Maya dengan sigap menaikkan Okta terlebih dahulu, ketika Maya ingin masuk ternyata angkot sudah mulai jalan karena sang supir mungkin sedang terburu-buru. Maya berhasil naik, tapi karena panik sendalnya lepas satu dan jatuh ke jalan. Setelah duduk Maya kemudian melepas sepatu yang sebelah lagi dan membuangnya ke jendela angkot. Okta terlihat bingung dengan apa yang dilakukan Ibunya.

“Kenapa Mamah membuang sendal yang satu lagi?” tanya Okta heran.

Maya tersenyum lalu berkata, “Nak, jika nanti ada yang menemukan sendal Mamah yang jatuh tadi saat naik, tidak akan berguna jika hanya sebelah. Begitu juga Mamah, jika hanya sebelah yang Mamah pakai maka tidak akan ada gunanya buat Mamah. Jadi Mamah buang yang satu lagi, kalau nanti ada orang yang menemukannya, semoga kedua sendal itu bisa berguna untuknya. Pahala juga buat Mamah”.

“Untuk apa kita menahan sesuatu yang tidak ada gunanya untuk diri kita sendiri, bukankah lebih baik kita melepasnya jika memang bisa berguna dan bermanfaat untuk orang lain Nak. Begitu juga dalam hidup, jangan pernah kita menahan-nahan sesuatu yang bisa bermnfaat untuk orang lain hanya karena kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang sama sekali tak ada manfaatnya untuk diri kita. Melepaskan dan mengikhlaskan sesuatu itu terkadang bisa membuat kita mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai gantinya,” lanjutnya.

“Oh begitu Mah, iya Mah, aku mengerti sekarang,” jawab Okta sambil mengangguk.

“Jangan jadi orang yang egois ya Nak, berbagilah kepada sesama,” Maya lanjut menasehati.

“Iya Mah, Mamahku baik sekali, Mamah adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku,” ucap Okta sambil memeluk Ibunya di dalam angkot.

Semua penumpang di dalam angkot tersenyum haru mendengar perbincangan antara anak dan ibu tersebut. Beberapa bahkan ada yang mengusap-usap kepala Okta sambil berkata, “Wah anaknya pintar sekali ya bu”. Maya pun balas memeluk erat anak lelakinya tersebut dengan penuh kebanggaan. Sambil sesekali menciumi kepalanya. Setelah sampai tempat tujuan turunlah mereka berdua dari angkot. Mereka berjalan bergandengan menuju kediaman mereka. Pemandangan yang cukup janggal karena sang ibu berjalan telanjang kaki. Orang-orang yang melihatnya hanya keheranan sambil mengernyitkan dahi, sementara Okta begitu bangga menggandeng ibunya yang merelakan sendalnya agar bisa bermanfaat untuk orang lain.

“Mah, nanti kalau aku sudah besar, sudah kerja. Aku akan belikan Mamah sendal baru, supaya surgaku tidak lecet lagi Mah,” ucap Okta polos.

“Iya sayang, terima kasih. Semoga kamu cepat besar ya Nak, supaya bisa membahagiakan Mamahmu ini,” jawab Maya tanpa terasa bulir air mata kebahagiaan menetes di matanya.

“Mamah kenapa menangis, sakit ya Mah kakinya?” tanya Okta kemudian ikut menangis karena sedih melihat sang Ibu menangis.

“Ga papa Nak, Mamah enggak sakit kakinya, Mamah menangis bahagia karena memiliki anak sepintar kamu”.

“Sudah Nak, jangan menangis lagi. Simpan air matamu untuk saat-saat bahagia nanti,” lanjut Maya sambil mengusap air mata yang menetes di pipi Okta.

“Iya Mah, Mamah juga jangan nangis lagi ya, Okta ga mau melihat malaikat Okta sedih. Mulai saat ini aku ga akan membiarkan siapapun membuat Mamah sedih apalagi sampai menangis,” jawab Okta.

“Iya sayangku,” cukup lama Maya menciumi dan mengusap kepala Okta.

***

                Hari ini adalah hari ulang tahun Arin yang ke 9 tahun. Rohman membelikannya sebuah kelinci sebagai hadiah. Awalnya Arin begitu senang dan rajin memeliharanya. Tapi lama kelamaan ia mulai bosan. Akhirnya kelinci pun tak terurus, sehingga Maya lah yang akhirnya rutin memberi kelinci itu makan.

Suatu hari Maya ingin memberi makan sang kelinci, tapi kelinci itu tiba-tiba lepas dari kandangnya dan berlari-larian di halaman rumah. Maya susah payah mengejarnya, akhirnya dengan bantuan Okta, Maya berhasil menangkapnya. Tapi ternyata kelinci tersebut berusaha untuk memberontak dan menggigit jari Maya hingga membuatnya berdarah.

“Awww, kelinci nakal!” teriak Maya kesakitan.

“Mamah ga papa?” tanya Okta khawatir.

“Iya ga papa Nak, tolong kau bawa kelinci ini ke kandang ya, sekalian kasih wortel. Mamah mau ke dalam dan mengobati lukanya dulu,” perintah Maya kepada Okta.

“Iya Mah,” ucap Okta menurut.

Beberapa jam kemudian Maya hendak memasak karena hari sudah sore, sebentar lagi Rohman pulang, jadi dia harus segera menyiapkan makan malam untuk suaminya tercinta. Arin sedang asik bermain game di kamar lewat laptop milik ayahnya. Sementara Okta sedang asik bermain di halaman bersama kelinci. Maya kebingungan mencari-cari pisau dapurnya. Tanpa pisau ia tak bisa memotong bahan-bahan untuk memasak. Ia coba mengingat-ingat kembali kapan terakhir ia memakainya dan di mana meletakkannya. Tapi tak ia temukan juga walau sudah mencari ke segala sudut dapur, bahkan sampai ke ruang tamu pun ia cari. Lalu ia ke lantai atas, menuju kamar Arin dan bertanya kepadanya.

“Nak, kamu liat pisau dapur mamah enggak?” tanya Maya lembut.

“Gak tau ah! Mamah gangguin aku aja, lagi seru nih. Lagian ngapain juga aku nyimpenin pisau!” jawab Arin ketus.

“Hmm, yaudah maaf ya Nak kalau gitu,” jawab Maya sedih.

Arin diam tak menjawab, ia masih asik dengan gamenya dan tak mempedulikan ibunya. Maya hanya bisa menghela nafas, kemudian turun dan menuju ke halaman untuk bertanya kepada Okta. Sesampainya di halaman, dilihatnya Okta sedang duduk di depan kandang kelinci. Maya kemudian menghampirinya. Alangkah terkejutnya Maya, ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat saat itu. Okta duduk berlumuran darah di depan kandang kelinci, tapi itu bukan darahnya, melainkan darah kelinci yang sedang ia potong-potong menggunakan pisau dapur milik ibunya. Okta menusuk-nusukkan pisau tersebut,lalu  mengiris-iris kelinci tersebut menjadi bagian-bagian kecil. Memisahkan kepala, kaki dan tangan dari tubuh sang kelinci.

“Okta, apa yang kau lakukan Nak?” tanya Maya panik.

Bersambung....

Related Posts:

JANGAN SAKITI MALAIKATKU (4)

Setelah membunuh Arin, Okta kemudian membawa mayat sang kakak ke dalam kamar mandi, di sana ia menyiram seluruh tubuh Arin untuk membersihkan darahnya. Setelah membersihkan tubuh kakaknya, Okta kemudian mengosongkan isi bak mandi. Ia memotong-motong tubuh kakaknya menjadi bagian-bagian kecil lalu memasukkanya satu persatu hasil potongannya ke dalam bak mandi.

Rohman terbangun oleh suara alarm dari handphonenya, ini adalah waktunya untuk memberikan kejutan kepada putrinya tercinta. Ia membuka lemari, kemudian mengambil sekotak kado kecil yang telah ia siapkan. Isinya adalah sebuah handphone keluaran terbaru yang telah lama Arin inginkan. Rohman berjalan keluar kamarnya menuju kamar Arin. Pintu kamar sang anak terlihat terbuka, sepertinya Arin telah terbangun, pelan-pelan ia coba memasuki kamar sang anak agar tidak ketahuan. Ia mengintip dari depan pintu, ternyata kamarnya masih gelap, sementara lampu kamar mandi menyala. Suara gemercik air pun terdengar dari dalam kamar mandi. Ah, mungkin Arin sedang pipis. Tau anaknya sedang di kamar mandi Rohman langsung masuk ke dalam kamar dan menunggu Arin keluar dari kamar mandi.

Okta mendengar seperti ada suara langkah kaki yang memasuki kamar kakaknya, walau samar tapi instingnya sangat kuat. Ia segera bersembunyi di belakang pintu kamar mandi sambil menggengam erat pisau di tangannya. Sementara bagian tubuh Arin yang masih belum terpotong masih tergeletak di lantai kamar mandi, dengan darah segar yang masih mengalir dari hasil potongan-potongannya, yang tersapu oleh air yang keluar dari lubang bawah bak mandi yang sedang ia kosongkan airnya.

Alangkah terkejutnya Rohman, setelah memasuki kamar putrinya ia mendapati kasur yang berlumuran darah. Rasa panik menghantui pikirannya. Apa yang terjadi kepada putrinya. Segera ia memanggil putrinya untuk memastikan keadaannya.

“Arin, kamu kenapa nak?” teriak Rohman ke arah kamar mandi.

Beberapa detik berlalu, tak ada jawaban dari dalam sana.

“Arin! Jawab nak, ini ayah! Apa kamu baik-baik saja?” kembali Rohman berteriak memastikan.

Di dalam kamar mandi, Okta yang mendengar suara ayahnya mulai bersiap jika sampai ayahnya masuk ke dalam kamar mandi. Seluruh otot tubuhnya menegang, kepanikan mulai menjalar sampai ke ujung kakinya. Detak jantungnya berdetak makin keras dan makin cepat. Adrenalinnya terpacu oleh rasa takut yang membayanginya. Di tengah kepanikan ia mencoba untuk tetap tenang, di tariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya, mencoba menenangkan diri dan tetap fokus.

Rohman yang tak mendapat respon segera bergegas menuju kamar mandi untuk memeriksa keadaan putrinya. Ia tertegun di depan pintu, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Mayat putrinya yang sudah tak lagi utuh. Sebagian kaki dan tangan sebelah kirinya telah terpotong. Segera ia jongkok dan memeriksa mayat putrinya.

“ARIIIIN, TIDAAAAK! MAYAAAAAAA KEMARI MAYYY! ANAK KITAAA!” teriak Rohman memecah kesunyian malam itu.

Okta yang sedang mengintip dari belakang pintu kamar mandi segera mengambil kuda-kuda. Ia melihat posisi sang ayah sedang berjongkok membelakanginya, memeluk mayat kakaknya yang telah ia potong-potong.

JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB...

Puluhan kali pisau di tangannya ia tancapkan ke punggung sang ayah. Darah segar mengucur deras dari bekas tusukan yang langsung ia cabut kemudian tusukkan kembali ke segala arah. Hingga saat sang ayah menengok ia segera menusuk tenggorokan sang ayah dengan kencang.

“AAAKKKKKKHHH,” Rohman tak bisa berkata-kata saat pisau tajam itu menghujam tepat di kerongkongannya.

Seketika Okta menarik pisau yang masih menancap di tenggorokan sang ayah. Darah segar muncrat ke wajah Okta, cipratannya juga menghiasi dinding kamar mandi. Kemudian dari lubang di tenggorokan Rohman mulai mengalir darah yang berwarna hitam pekat.

“Anaaa....aak s..eee..taa...n,” Rohman coba mengatakan sesuatu di sisa nafasnya.

“Jangan pernah sakiti malaikatku lagi!” jawab Okta penuh dendam.

***

                Perlahan-lahan matanya mulai membuka, langit-langit kamar itu masih buram dalam pandangannya. Menoleh ke kiri, ia melihat sebuah kantung infus beserta selangnya yang mengalir menuju tangan kirinya. Sementara ketika menoleh ke kanan dilihatnya Rohman yang sedang tersenyum sambil memangku Arin yang masih berumur dua tahun saat itu.

“Aku dimana?” tanya Maya heran.

“Kamu di rumah sakit sayang, beruntung aku belum terlambat membawamu kesini kemarin malam,” jawab Rohman lega.

Kemarin malam?” tanya Maya masih bingung.

“Iya, kemarin malam kamu coba membunuh dirimu sendiri dengan mengiris pergelangan tangan kananmu. Maafkan aku sayang atas kelakuanku kemarin malam, maaf telah membuatmu ketakutan,” jawab Rohman sambil mengecup kening Maya.

“Ah... aku ingat sekarang, maafkan aku juga Mas,” ucap Maya sambil memandangi pergelangan tangannya yang diperban.

“Sudah-sudah, kita lupakan semua kejadian buruk itu. Kita mulai lagi semua dari awal, kita bangun kembali keutuhan rumah tangga kita,” jawab Rohman sambil tersenyum.

Maya membalas senyuman sang suami. Air mata menetes dari kedua mata Maya, ia bersyukur suaminya telah kembali menjadi suami yang ia kenal. Lelaki yang ramah, penyayang dan sangat peduli terhadap keluarganya.

“jangan pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi ya De,” ucap Rohman.

“Iya Mas, semoga Tuhan memaafkan kebodohan yang telah ku lakukan ini”.

“Bagaimana jika ia kembali lagi Mas?” tanya Maya khawatir.

“Tenang saja, paginya setelah membawamu ke rumah sakit, aku telah melaporkan Wahyu ke polisi. Tak butuh waktu lama, sore harinya polisi langsung menangkapnya tanpa perlawanan di rumahnya. Sekarang ia telah mendekam di penjara, semoga pengadilan nanti memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada iblis itu,” Rohman menerangkan.

“Syukurlah Mas, aku lega mendengarnya”.

“Yaudah, kamu istirahat aja sayang, jangan banyak pikiran. Sudah sehari semalam kamu tak sadarkan diri, bahkan kemarin sempat mengalami fase kritis karena kamu kehilangan banyak darah malam itu”.

“Iya Mas, bapak sudah tau aku dirawat?” tanya Maya.

“Iya, dia sudah kukabari, mungkin nanti siang dia kemari. Sekarang yang terpenting kamu sehat dulu, biar bisa berkumpul lagi bersama aku dan Arin,” jawab Rohman sambil menaruh Arin di samping Maya.

Senyum kebahagiaan kembali terpancar dari wajah Maya, menyaksikan senyum dari suami dan putrinya yang paling ia sayangi. Tak ada kebahagiaan lain seindah bisa menyaksikan senyum di wajah orang-orang yang paling ia cintai. Keluarga itu larut dalam suasana kebahagiaan dan canda tawa di kamar rumah sakit. Karena kadang kebahagiaan bisa datang kapanpun dan dimanapun, bahkan di tempat-tempat yang tak pernah kita sangka. Begitu juga sebaliknya. Kesedihan bisa datang dimana saja dan kapan saja tanpa permisi.

Bersambung....

Related Posts: