JANGAN SAKITI MALAIKATKU (4)

Setelah membunuh Arin, Okta kemudian membawa mayat sang kakak ke dalam kamar mandi, di sana ia menyiram seluruh tubuh Arin untuk membersihkan darahnya. Setelah membersihkan tubuh kakaknya, Okta kemudian mengosongkan isi bak mandi. Ia memotong-motong tubuh kakaknya menjadi bagian-bagian kecil lalu memasukkanya satu persatu hasil potongannya ke dalam bak mandi.

Rohman terbangun oleh suara alarm dari handphonenya, ini adalah waktunya untuk memberikan kejutan kepada putrinya tercinta. Ia membuka lemari, kemudian mengambil sekotak kado kecil yang telah ia siapkan. Isinya adalah sebuah handphone keluaran terbaru yang telah lama Arin inginkan. Rohman berjalan keluar kamarnya menuju kamar Arin. Pintu kamar sang anak terlihat terbuka, sepertinya Arin telah terbangun, pelan-pelan ia coba memasuki kamar sang anak agar tidak ketahuan. Ia mengintip dari depan pintu, ternyata kamarnya masih gelap, sementara lampu kamar mandi menyala. Suara gemercik air pun terdengar dari dalam kamar mandi. Ah, mungkin Arin sedang pipis. Tau anaknya sedang di kamar mandi Rohman langsung masuk ke dalam kamar dan menunggu Arin keluar dari kamar mandi.

Okta mendengar seperti ada suara langkah kaki yang memasuki kamar kakaknya, walau samar tapi instingnya sangat kuat. Ia segera bersembunyi di belakang pintu kamar mandi sambil menggengam erat pisau di tangannya. Sementara bagian tubuh Arin yang masih belum terpotong masih tergeletak di lantai kamar mandi, dengan darah segar yang masih mengalir dari hasil potongan-potongannya, yang tersapu oleh air yang keluar dari lubang bawah bak mandi yang sedang ia kosongkan airnya.

Alangkah terkejutnya Rohman, setelah memasuki kamar putrinya ia mendapati kasur yang berlumuran darah. Rasa panik menghantui pikirannya. Apa yang terjadi kepada putrinya. Segera ia memanggil putrinya untuk memastikan keadaannya.

“Arin, kamu kenapa nak?” teriak Rohman ke arah kamar mandi.

Beberapa detik berlalu, tak ada jawaban dari dalam sana.

“Arin! Jawab nak, ini ayah! Apa kamu baik-baik saja?” kembali Rohman berteriak memastikan.

Di dalam kamar mandi, Okta yang mendengar suara ayahnya mulai bersiap jika sampai ayahnya masuk ke dalam kamar mandi. Seluruh otot tubuhnya menegang, kepanikan mulai menjalar sampai ke ujung kakinya. Detak jantungnya berdetak makin keras dan makin cepat. Adrenalinnya terpacu oleh rasa takut yang membayanginya. Di tengah kepanikan ia mencoba untuk tetap tenang, di tariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya, mencoba menenangkan diri dan tetap fokus.

Rohman yang tak mendapat respon segera bergegas menuju kamar mandi untuk memeriksa keadaan putrinya. Ia tertegun di depan pintu, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Mayat putrinya yang sudah tak lagi utuh. Sebagian kaki dan tangan sebelah kirinya telah terpotong. Segera ia jongkok dan memeriksa mayat putrinya.

“ARIIIIN, TIDAAAAK! MAYAAAAAAA KEMARI MAYYY! ANAK KITAAA!” teriak Rohman memecah kesunyian malam itu.

Okta yang sedang mengintip dari belakang pintu kamar mandi segera mengambil kuda-kuda. Ia melihat posisi sang ayah sedang berjongkok membelakanginya, memeluk mayat kakaknya yang telah ia potong-potong.

JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB...

Puluhan kali pisau di tangannya ia tancapkan ke punggung sang ayah. Darah segar mengucur deras dari bekas tusukan yang langsung ia cabut kemudian tusukkan kembali ke segala arah. Hingga saat sang ayah menengok ia segera menusuk tenggorokan sang ayah dengan kencang.

“AAAKKKKKKHHH,” Rohman tak bisa berkata-kata saat pisau tajam itu menghujam tepat di kerongkongannya.

Seketika Okta menarik pisau yang masih menancap di tenggorokan sang ayah. Darah segar muncrat ke wajah Okta, cipratannya juga menghiasi dinding kamar mandi. Kemudian dari lubang di tenggorokan Rohman mulai mengalir darah yang berwarna hitam pekat.

“Anaaa....aak s..eee..taa...n,” Rohman coba mengatakan sesuatu di sisa nafasnya.

“Jangan pernah sakiti malaikatku lagi!” jawab Okta penuh dendam.

***

                Perlahan-lahan matanya mulai membuka, langit-langit kamar itu masih buram dalam pandangannya. Menoleh ke kiri, ia melihat sebuah kantung infus beserta selangnya yang mengalir menuju tangan kirinya. Sementara ketika menoleh ke kanan dilihatnya Rohman yang sedang tersenyum sambil memangku Arin yang masih berumur dua tahun saat itu.

“Aku dimana?” tanya Maya heran.

“Kamu di rumah sakit sayang, beruntung aku belum terlambat membawamu kesini kemarin malam,” jawab Rohman lega.

Kemarin malam?” tanya Maya masih bingung.

“Iya, kemarin malam kamu coba membunuh dirimu sendiri dengan mengiris pergelangan tangan kananmu. Maafkan aku sayang atas kelakuanku kemarin malam, maaf telah membuatmu ketakutan,” jawab Rohman sambil mengecup kening Maya.

“Ah... aku ingat sekarang, maafkan aku juga Mas,” ucap Maya sambil memandangi pergelangan tangannya yang diperban.

“Sudah-sudah, kita lupakan semua kejadian buruk itu. Kita mulai lagi semua dari awal, kita bangun kembali keutuhan rumah tangga kita,” jawab Rohman sambil tersenyum.

Maya membalas senyuman sang suami. Air mata menetes dari kedua mata Maya, ia bersyukur suaminya telah kembali menjadi suami yang ia kenal. Lelaki yang ramah, penyayang dan sangat peduli terhadap keluarganya.

“jangan pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi ya De,” ucap Rohman.

“Iya Mas, semoga Tuhan memaafkan kebodohan yang telah ku lakukan ini”.

“Bagaimana jika ia kembali lagi Mas?” tanya Maya khawatir.

“Tenang saja, paginya setelah membawamu ke rumah sakit, aku telah melaporkan Wahyu ke polisi. Tak butuh waktu lama, sore harinya polisi langsung menangkapnya tanpa perlawanan di rumahnya. Sekarang ia telah mendekam di penjara, semoga pengadilan nanti memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada iblis itu,” Rohman menerangkan.

“Syukurlah Mas, aku lega mendengarnya”.

“Yaudah, kamu istirahat aja sayang, jangan banyak pikiran. Sudah sehari semalam kamu tak sadarkan diri, bahkan kemarin sempat mengalami fase kritis karena kamu kehilangan banyak darah malam itu”.

“Iya Mas, bapak sudah tau aku dirawat?” tanya Maya.

“Iya, dia sudah kukabari, mungkin nanti siang dia kemari. Sekarang yang terpenting kamu sehat dulu, biar bisa berkumpul lagi bersama aku dan Arin,” jawab Rohman sambil menaruh Arin di samping Maya.

Senyum kebahagiaan kembali terpancar dari wajah Maya, menyaksikan senyum dari suami dan putrinya yang paling ia sayangi. Tak ada kebahagiaan lain seindah bisa menyaksikan senyum di wajah orang-orang yang paling ia cintai. Keluarga itu larut dalam suasana kebahagiaan dan canda tawa di kamar rumah sakit. Karena kadang kebahagiaan bisa datang kapanpun dan dimanapun, bahkan di tempat-tempat yang tak pernah kita sangka. Begitu juga sebaliknya. Kesedihan bisa datang dimana saja dan kapan saja tanpa permisi.

Bersambung....

Related Posts:

0 Response to "JANGAN SAKITI MALAIKATKU (4)"

Post a Comment