Rohman terbangun oleh suara alarm dari handphonenya, ini
adalah waktunya untuk memberikan kejutan kepada putrinya tercinta. Ia membuka
lemari, kemudian mengambil sekotak kado kecil yang telah ia siapkan. Isinya
adalah sebuah handphone keluaran terbaru yang telah lama Arin inginkan. Rohman
berjalan keluar kamarnya menuju kamar Arin. Pintu kamar sang anak terlihat
terbuka, sepertinya Arin telah terbangun, pelan-pelan ia coba memasuki kamar
sang anak agar tidak ketahuan. Ia mengintip dari depan pintu, ternyata kamarnya
masih gelap, sementara lampu kamar mandi menyala. Suara gemercik air pun
terdengar dari dalam kamar mandi. Ah, mungkin Arin sedang pipis. Tau anaknya
sedang di kamar mandi Rohman langsung masuk ke dalam kamar dan menunggu Arin
keluar dari kamar mandi.
Okta mendengar seperti ada suara langkah kaki yang memasuki
kamar kakaknya, walau samar tapi instingnya sangat kuat. Ia segera bersembunyi
di belakang pintu kamar mandi sambil menggengam erat pisau di tangannya.
Sementara bagian tubuh Arin yang masih belum terpotong masih tergeletak di
lantai kamar mandi, dengan darah segar yang masih mengalir dari hasil
potongan-potongannya, yang tersapu oleh air yang keluar dari lubang bawah bak
mandi yang sedang ia kosongkan airnya.
Alangkah terkejutnya Rohman, setelah memasuki kamar putrinya
ia mendapati kasur yang berlumuran darah. Rasa panik menghantui pikirannya. Apa
yang terjadi kepada putrinya. Segera ia memanggil putrinya untuk memastikan
keadaannya.
“Arin, kamu kenapa nak?” teriak Rohman ke arah kamar mandi.
Beberapa detik berlalu, tak ada jawaban dari dalam sana.
“Arin! Jawab nak, ini ayah! Apa kamu baik-baik saja?”
kembali Rohman berteriak memastikan.
Di dalam kamar mandi, Okta yang mendengar suara ayahnya
mulai bersiap jika sampai ayahnya masuk ke dalam kamar mandi. Seluruh otot
tubuhnya menegang, kepanikan mulai menjalar sampai ke ujung kakinya. Detak
jantungnya berdetak makin keras dan makin cepat. Adrenalinnya terpacu oleh rasa
takut yang membayanginya. Di tengah kepanikan ia mencoba untuk tetap tenang, di
tariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya, mencoba menenangkan diri
dan tetap fokus.
Rohman yang tak mendapat respon segera bergegas menuju kamar
mandi untuk memeriksa keadaan putrinya. Ia tertegun di depan pintu, seolah tak
percaya dengan apa yang ia lihat. Mayat putrinya yang sudah tak lagi utuh.
Sebagian kaki dan tangan sebelah kirinya telah terpotong. Segera ia jongkok dan
memeriksa mayat putrinya.
“ARIIIIN, TIDAAAAK! MAYAAAAAAA KEMARI MAYYY! ANAK KITAAA!”
teriak Rohman memecah kesunyian malam itu.
Okta yang sedang mengintip dari belakang pintu kamar mandi
segera mengambil kuda-kuda. Ia melihat posisi sang ayah sedang berjongkok
membelakanginya, memeluk mayat kakaknya yang telah ia potong-potong.
JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB, JLEBB...
Puluhan kali pisau di tangannya ia tancapkan ke punggung
sang ayah. Darah segar mengucur deras dari bekas tusukan yang langsung ia cabut
kemudian tusukkan kembali ke segala arah. Hingga saat sang ayah menengok ia
segera menusuk tenggorokan sang ayah dengan kencang.
“AAAKKKKKKHHH,” Rohman tak bisa berkata-kata saat pisau
tajam itu menghujam tepat di kerongkongannya.
Seketika Okta menarik pisau yang masih menancap di
tenggorokan sang ayah. Darah segar muncrat ke wajah Okta, cipratannya juga
menghiasi dinding kamar mandi. Kemudian dari lubang di tenggorokan Rohman mulai
mengalir darah yang berwarna hitam pekat.
“Anaaa....aak s..eee..taa...n,” Rohman coba mengatakan
sesuatu di sisa nafasnya.
“Jangan pernah sakiti malaikatku lagi!” jawab Okta penuh
dendam.
***
Perlahan-lahan
matanya mulai membuka, langit-langit kamar itu masih buram dalam pandangannya.
Menoleh ke kiri, ia melihat sebuah kantung infus beserta selangnya yang
mengalir menuju tangan kirinya. Sementara ketika menoleh ke kanan dilihatnya
Rohman yang sedang tersenyum sambil memangku Arin yang masih berumur dua tahun
saat itu.
“Aku dimana?” tanya Maya heran.
“Kamu di rumah sakit sayang, beruntung aku belum terlambat
membawamu kesini kemarin malam,” jawab Rohman lega.
Kemarin malam?” tanya Maya masih bingung.
“Iya, kemarin malam kamu coba membunuh dirimu sendiri dengan
mengiris pergelangan tangan kananmu. Maafkan aku sayang atas kelakuanku kemarin
malam, maaf telah membuatmu ketakutan,” jawab Rohman sambil mengecup kening
Maya.
“Ah... aku ingat sekarang, maafkan aku juga Mas,” ucap Maya
sambil memandangi pergelangan tangannya yang diperban.
“Sudah-sudah, kita lupakan semua kejadian buruk itu. Kita
mulai lagi semua dari awal, kita bangun kembali keutuhan rumah tangga kita,”
jawab Rohman sambil tersenyum.
Maya membalas senyuman sang suami. Air mata menetes dari
kedua mata Maya, ia bersyukur suaminya telah kembali menjadi suami yang ia
kenal. Lelaki yang ramah, penyayang dan sangat peduli terhadap keluarganya.
“jangan pernah lakukan hal bodoh seperti ini lagi ya De,”
ucap Rohman.
“Iya Mas, semoga Tuhan memaafkan kebodohan yang telah ku
lakukan ini”.
“Bagaimana jika ia kembali lagi Mas?” tanya Maya khawatir.
“Tenang saja, paginya setelah membawamu ke rumah sakit, aku
telah melaporkan Wahyu ke polisi. Tak butuh waktu lama, sore harinya polisi
langsung menangkapnya tanpa perlawanan di rumahnya. Sekarang ia telah mendekam
di penjara, semoga pengadilan nanti memberikan hukuman yang seberat-beratnya
kepada iblis itu,” Rohman menerangkan.
“Syukurlah Mas, aku lega mendengarnya”.
“Yaudah, kamu istirahat aja sayang, jangan banyak pikiran.
Sudah sehari semalam kamu tak sadarkan diri, bahkan kemarin sempat mengalami
fase kritis karena kamu kehilangan banyak darah malam itu”.
“Iya Mas, bapak sudah tau aku dirawat?” tanya Maya.
“Iya, dia sudah kukabari, mungkin nanti siang dia kemari.
Sekarang yang terpenting kamu sehat dulu, biar bisa berkumpul lagi bersama aku
dan Arin,” jawab Rohman sambil menaruh Arin di samping Maya.
Senyum kebahagiaan kembali terpancar dari wajah Maya,
menyaksikan senyum dari suami dan putrinya yang paling ia sayangi. Tak ada
kebahagiaan lain seindah bisa menyaksikan senyum di wajah orang-orang yang
paling ia cintai. Keluarga itu larut dalam suasana kebahagiaan dan canda tawa
di kamar rumah sakit. Karena kadang kebahagiaan bisa datang kapanpun dan
dimanapun, bahkan di tempat-tempat yang tak pernah kita sangka. Begitu juga
sebaliknya. Kesedihan bisa datang dimana saja dan kapan saja tanpa permisi.
Bersambung....
0 Response to "JANGAN SAKITI MALAIKATKU (4)"
Post a Comment