JANGAN SAKITI MALAIKATKU (3)

Setelah puas membalaskan semua dendam dan hasratnya kepada Rohman dan Maya. Wahyu kemudian membuka ikatan di tangan kanan Maya.

“Aku akan pergi sekarang sayang, jangan coba-coba mengejarku. Terima kasih untuk semuanya,” ucap Wahyu sambil mengecup kening Maya.

“Aku tak peduli kalian mau melaporkanku ke polisi atau tidak, yang jelas kini hidupku sudah tenang, sudah kubalasakan semua perasaan yang selama ini terpendam dihatiku kepadamu dan suamimu,” lanjutnya.

“Tuan Rohman, istrimu sangat lezaaat, tak salah kau menikahinya, hahahaha...” bisiknya ke telinga Rohman kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah itu.

Maya masih menangis di atas tempat tidur tanpa busana. Sementara Rohman terus menerus mencoba melepaskan diri, sangat ingin segera mengejar dan membunuh Wahyu. Bola matanya dipenuhi rasa amarah dan dendam, dihiasi bulir-bulir air mata yang mengalir deras, menangisi ketidakmampuannya menjaga istri tercintanya.

Maya kemudian tersadar dari lamunannya, sambil masih terisak-isak ia mencoba melepaskan ikatan di tangan kiri dan kedua kakinya. Kemudian mengambil pakaian-pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar. Segera setelah berpakaian kembali ia berlari menuju suaminya yang masih terikat, mengambil kain yang menyumpal mulut suaminya.

“Hah... hah... hah... cepat lepaskan aku!” perintah Rohman sambil mengatur nafasnya.

“Maafkan aku Mas,” jawab Maya sambil terus menangis.

“CEPAAAAT!” bentak Rohman.

Maya terkejut mendengarnya, dua tahun pernikahannya baru kali ini sang suami membentaknya dengan keras. Ia segera turun ke lantai bawah, pergi ke dapur mengambil pisau. Kemudian kembali ke kamarnya untuk melepaskan suaminya. Tanpa berkata sepatah katapun ia terus coba memotong ikatan di tangan Rohman. Setelah ikatan di tangannya lepas, Rohman segera merebut pisau dari tangan istrinya. Kemudian meotong ikatan di badan dan kakinya dengan terburu-buru. Ia tak ingin sampai kehilangan jejak Wahyu. Sementara Maya hanya terduduk di lantai, menangis, sambil memandangi suaminya yang seperti orang lain, yang bukan seperti suaminya yang selama ini ia kenal.

Setelah semua ikatan terlepas Rohman segera berlari turun ke bawah, kemudian keluar rumah sambil membawa pisau dapur di tangannya. Mencoba mengejar Wahyu yang sudah menghilang sejak tadi. Maya berlari mengikutinya, tapi lagkahnya hanya terhenti sampai di depan pintu rumahnya. Ia tak ingin tetangganya melihat dirinya yang berantakan, juga sedang menangis. Maya tak ingin sampai tetangganya ada yang tau kejadian yang menimpa keluarganya malam ini. Ia kemudian naik lagi ke lantai atas, menuju kamar Arin. Dibukanya pintu kamar yang terkunci, ‘CKLAK’. Terlihat peri kecilnya masih tertidur lelap di atas tempat tidur. Syukurlah Wahyu tak menyakiti putrinya tersebut. Segera ia datangi sang anak, kemudian memeluknya dengan erat.

“BANGSAAAAAT!” teriak Rohman di tengah jalan.

Sudah 15 menit berlalu setelah ia melepaskan ikatanya. Entah berapa jauh sudah ia berlari mengejar Wahyu yang telah pergi entah kemana. Ia kemudian terduduk di pinggir jalan, menatap pisau yang dibawanya cukup lama. Namun kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah. Melihat keadaan anak dan istrinya.

Sesampainya di rumah ia langsung mencari istri dan anaknya. Di lantai dua dilihatnya pintu kamar sang anak terbuka. Dari depan pintu, terlihat istrinya yang sedang menangis di lantai sambil memeluk Arin. Rohman berjalan mendekati mereka berdua. Maya kemudian menoleh, dilihatnya suaminya yang berjalan mendekatinya, dengan air mata yang terus mengalir dan pisau dapur yang masih di genggamnya. Maya kemudian meletakkan anaknya yang masih dalam pengaruh obat bius ke kasur. Wajahnya dipenuhi rasa takut, melihat sang suami yang wajahnya dipenuhi amarah.

“DI mana Wahyu? Katakan Maya, cepat katakan!” ucap Rohman.

“Aku tidak tau Mas, sumpah aku tidak tau,” jawab Maya ketakutan.

“Aku tau diam-diam di belakangku kau sering smsan dengannya, aku tau semuanya. Jadi cepat katakan, akan kubunuh iblis itu!”

“Aku tak pernah membalas pesannya Mas, sumpah. Aku tak ingin menyakiti perasaanmu, aku diam bukan berarti aku berhubungan dengannya, aku menjaga keutuhan rumah tangga kita”.

“Terserah! Yang jelas cepat katakan di mana dia! Iblis itu harus kubunuh secepatnya!” Rohman makin menjadi.

“Aku tak tau, sudah cukup Mas, hentikan semua ini. Amarahmu justru membuat dirimu yang jadi seperti Iblis!” jawab Maya tak dapat membendung perasaannya.

‘PLAAAAK!’

Tangan Rohman mendarat di pipi Maya. Amarahnya seperti tak terbendung lagi. ‘GLOTAK’ pisau dapur yang di genggamnya terjatuh ke lantai. Maya terdiam sesaat, kemudian mengambil pisau dapur yang terjatuh.

“Kurang ajar kau Maya, beraninya kau berkata seperti itu kepada suamimu!”

“Maafkan aku Mas, aku memang istri yang tak baik untukmu, aku tak bisa menjaga diriku, aku tak bisa menjaga perasaanmu, aku bukanlah istri yang baik untukmu,” ucap Maya sambil mengiriskan pisau di pergelangan tangannya.

“HENTIKAN MAYA!” teriak Rohman.

“Mungkin ini adalah jalan terbaik, wanita hina sepertiku tak pantas untuk hidup lagi. Tolong jaga anak kita Mas, terima kasih atas kebahagiaan yang kau berikan kepadaku selama ini. Tak sedikitpun terlintas di pikiranku untuk menghianatimu. Maafkan aku yang selama ini tidak bisa jujur kepadamu tentang Wahyu,” Maya memberikan senyuman terindahnya kepada Rohman, dihiasi air mata yang tak henti-hentinya mebasahi pipinya.

“TIDAAAK!!” teriak Rohman sambil mencoba mencegah apa yang dilakukan istrinya.

Tetapi semua terlambat, darah segar keluar dari pergelangan tangan Maya, mengalir deras membasahi lantai kamar anaknya. Rohman merebut pisau tersebut lalu membuangnya. Dipeluknya erat-erat tubuh Maya.

“TIDAAAAAK!” teriak Rohman sambil memeluk istrinya.

“Maafkan aku sayang, tolong maafkan aku. Aku mencintaimu, aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku khilaf tadi, jangan tinggalkan aku,” tangisannya lepas sambil memeluk erat tubuh sang istri. Bola matanya kosong, menerawang entah kemana.

Malam itu, kedua pasangan tersebut berpelukan dalam kesunyian. Sang anak masih tertidur lelap. Darah segar dan air mata menghiasi pemandangan malam itu. Suara jangkrik dan semilir angin dari pintu kamar yang terbuka sesekali memecah kesunyian. Dunia selalu berputar, kita tak akan pernah tau kapan hidup kita akan jatuh maupun melonjak naik. Tapi satu hal yang mereka tau, apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan, mereka harus bangkit, sampai Tuhan memanggil mereka, bukan mereka yang mendatangi Tuhan dengan cara yang salah.

Bersambung....
<!--[if gte mso 9]>

Related Posts:

0 Response to "JANGAN SAKITI MALAIKATKU (3)"

Post a Comment