JANGAN SAKITI MALAIKATKU

JANGAN SAKITI MALAIKATKU
Oleh: Arev Culle’

Okta keluar dari kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 23:50. Dia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Terlihat membawa benda yang berkilau di tangan kirinya. Suara langkah kakinya di tangga memecah kesunyian malam itu. Pintu kamar orang tuanya terlihat sedikit terbuka. Ia mengintip sebentar kemudian berlalu pergi. Kamar kakaknya lah yang sedang ia tuju. Ia putar gagang pintu kamar kakaknya, ‘cklak’ ternyata tidak dikunci. Pelan-pelan ia buka pintu tersebut lalu  diam-diam masuk ke dalam dan menghampiri kakaknya yang sedang tertidur lelap.

Arin, sang kakak kemudian membuka matanya. Sudah hampir 10 menit sejak Okta memasuki kamarnya. Kini yang ia lihat adalah adiknya yang sedang duduk di sampingnya, di atas kasur. Ia seperti merasakan perih yang teramat sangat di bagian tangannya. Sadar kakaknya telah bangun, Okta kemudian menunjukkan sesuatu kepadanya di dalam kegelapan. Sambil tersenyum Okta mendekatkan sebuah potongan jari kelingking yang berlumuran darah ke wajah kakaknya. Mata Arin melotot melihatnya, tetesan darah segar menetes dari potongan jari tersebut, setetes-demi setetes jatuh ke wajahnya. Ia mencoba untuk berteriak. Tapi belum sempat Arin berteriak tiba-tiba ‘JLEB’ sesuatu yang dingin dan bersinar memantulkan cahaya bulan dari jendela kamarnya terasa menembus dada bagian kirinya. Seketika suaranya terhenti, rasa dingin dan perih menjalar ke seluruh tubuhnya. Kemudian terlihat Okta mencabut benda itu. Seketika darah segar mengalir membasahi bajunya, terus meresap hingga sprei kasurnya ikut memerah. Darah segar pun menetes dengan deras dari benda berkilau tersebut. Arin hanya bisa melotot memandangi wajah adiknya.

Jam tua di ruang tamu bawah terdengar berdentang menandakan tepat pukul 00:00. Kemudian Okta mendekatkan wajahnya ke telinga Arin. Lalu sambil tersenyum ia membisikkan sesuatu sebelum Arin menghembuskan nafas terakhirnya.

“Selamat ulang tahun Kakak....”

***

                10 April 1994 adalah hari yang bersejarah untuk Okta. Hari itu ia dilahirkan ke bumi ini dari rahim seorang wanita bernama Maya. Tak seperti orang tua kebanyakan, Rohman suami Maya terlihat tidak begitu senang dengan kelahiran putranya itu. Ia bersama Arin, putrinya yang saat itu masih berumur 3 tahun dan Somad mertuanya terlihat masih duduk di luar ruang operasi menunggu proses persalinan Maya. Tak lama kemudian seorang suster keluar dari ruang operasi,

“Keluarga Ibu Maya?” ucapnya sambil tersenyum.

“Iya kami Sus,” jawab Rohman panik.

“Selamat Pak, anak Bapak seorang laki-laki, silahkan masuk untuk melihatnya,” ucap sang Suster.

Kemudian Rohman, putrinya beserta mertuanya masuk ke dalam ruangan untuk melihat kondisi Maya dan bayinya. Terlihat istrinya sedang menggendong bayi yang sedang menangis kencang, senyum bahagia terpancar dari wajah Maya, bahkan terlihat air mata menetes dari kedua kelopak matanya yang sayu. Mengalir membasahi pipinya yang halus. Rohman terlihat hanya tersenyum simpul. Bahkan ia tak mau mengadzani bayi tersebut, sehingga Somad, ayah Maya yang akhirnya mengadzani cucunya itu.

“Untunglah kamu selamat, kalau sampai terjadi sesuatu terhadapmu aku tak akan pernah memaafkan anak itu,” ucap Rohman.

“Jangan kau benci anak ini Mas, anak ini tak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesal dan amarahmu. Jika kau ingin membenci, bencilah aku,” jawab Maya lirih.

“Seandainya bisa, aku pasti sudah sangat membencimu De, tapi entah kenapa rasa cintaku yang begitu dalam kepadamu membuatku tak bisa melakukannya”.

“Aku tau aku sangat berdosa kepadamu, jika kau bisa memaafkanku, kenapa kau tak bisa memaafkan anak ini juga?” tanya Maya.

“Dia bukan anakku!” ucap Rohman tegas.

Seketika suasana menjadi hening, Somad hanya bisa tertunduk mendengar percakapan anaknya dengan menantunya tersebut. Sementara Arin terdiam, tangannya terus menggandeng tangan ayahnya. Si jabang bayi telah berhenti menangis dan terlihat sedang mengendus-endus payudara Ibunya, mencari letak puting susu, untuk mendapatkan asi pertamanya. Air mata kebahagiaan Maya terlihat telah mengering, berganti dengan air mata kesedihannya yang deras menetes membasahi pipinya, melewati lesung pipinya yang manis terus mengalir ke dagunya  lalu menetes membasahi kepala si jabang bayi yang sedang asik menyusu.

“Mau kau namai siapa anak ini Mas?” tanya Maya.

“Terserah kau saja De, aku tak ingin memberikan nama apapun kepadanya, “ jawab Rohman ketus.

“Kalau begitu, ia akan kuberi nama OKTA DWI KURNIA,” ucap Maya sambil menciumi kepala si jabang bayi.

“Arin, sini nak, sapa adikmu ini, Okta namanya,” panggil Maya kepada putrinya.

Arin kemudian melepas tanganya dari gandengan sang ayah, lalu menghampiri sang Ibu dan adiknya. Ia terlihat sangat gembira, seperti berbicara sendiri kepada sang bayi. Sambil tangannya mengelus-elus pipi sang bayi yang masih kemerahan. Rohman kemudian duduk termenung di kursi dekat kasur. Ia seperti memikirkan sesuatu. Pandangannya kosong melihat ke arah istri dan kedua anaknya yang sedang bercanda-canda. Sementara mertuanya terlihat keluar ruangan lalu menelpon sanak saudara mereka yang lain untuk memberitahukan kabar gembira atas kelahiran cucunya tersebut.

***

Hari demi hari, bulan berganti bulan dan tahun demi tahun berlalu. Kini Okta sudah berusia 5 tahun. Tahun depan ia sudah tak sabar ingin merasakan bangku sekolah dasar. Sementara Arin kakaknya sekarang sudah kelas 3 SD. Arin tumbuh menjadi gadis yang nakal. Tak jarang ia menghina dan membuat nangis adiknya sendiri. Mungkin karena sering melihat ayahnya yang suka memarahi dan ringan tangan terhadap adiknya. Anak-anak banyak mempelajari sesuatu dari apa yang ia lihat dan dengar dari sekelilingnya. Jika lingkungannya baik, maka kemungkinan baik pula perilaku anak tersebut. Begitu juga sebaliknya. Apalagi tingkah laku orang tua yang setiap hari mereka lihat dan dengar. Kehidupan Okta bukanlah kehidupan masa kecil yang mudah, mungkin jika Ibunya tak sangat menyayanginya, ia kini sudah menjadi anak yang cacat atau bahkan lebih parah dibuang di jalanan. Tapi Ibunya tak pernah membiarkan itu terjadi, Sang Ibu selalu membela dan menjadi malaikat penyelamat untuknya ketika amarah dan kenakalan Ayah dan kakaknya mulai tertuju kepadanya. Bahkan tak jarang ia melihat Ibunya menjadi sasaran pukulan dan tamparan Ayahnya di depan matanya sendiri.

Kasih sayang dari Ibunya membuat Okta masih bisa merasakan senyum kebahagiaan di rumah yang suasananya kurang bersahabat untuknya. Ketika akhir bulan tiba, Ayahnya terbiasa membawakan makanan-makanan enak dan mainan untuk kakaknya. Tapi tidak pernah sekalipun Okta merasakannya. Bahkan robot-robotan gundam, satu-satunya mainan kesayangan yang ia punya didapatkan dari hasil menabung ibunya setiap hari. Lalu dibelikannya mainan itu secara diam-diam. Ketika ditanya oleh Rohman, Maya hanya menjawab itu adalah mainan bekas tetangganya yang diberikan kepada Okta. Jika Rohman sampai tau mainan itu adalah hasil tabungan dari sisa uang belanja yang diberikan kepada Maya. Mungkin mainan itu sudah habis dirusak oleh Rohman dan Maya akan babak belur dimarahinya.

***


Dulu Rohman adalah pria yang sangat penyayang. Bahkan berteriak kepada Maya pun tak pernah sekalipun ia lakukan, apalagi sampai menampar atau memukulnya. Ia begitu menyayangi istrinya itu. Istri yang telah ia cintai sejak masih di bangku SMP. Tapi ia tak pernah berani untuk mengungkapkannya. Barulah setelah mapan dan memiliki pekerjaan tetap, ia beranikan diri untuk melamar sang pujaan hatinya itu. Maya yang saat itu masih memiliki kekasih akhirnya menerima lamaran Rohman dan memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Bukan karena cinta ataupun sayang. Tapi orang tua Maya yang sudah terus memaksanya untuk segera berkeluarga. Sementara sang kekasih terlihat belum ada keseriusan untuk melamarnya. Akhirnya demi membahagiakan orang tuanya, Maya menerima lamaran Rohman dan mereka segera menikah.

Tahun pertama pernikahan, mereka begitu harmonis, terlihat mulai tumbuh benih-benih cinta di dalam hati Maya. Rohman pun begitu sangat menyayangi istrinya. Apapun ia lakukan hanya untuk membuat sang istri tersenyum bahagia. Kebahagiaan  selalu terpancar dari wajah Rohman, ia merasa sebagai pria paling beruntung di dunia. Wanita yang ia idam-idamkan dan cintai sejak lama, akhirnya kini menjadi miliknya. Kerja keras dan usahanya untuk meraih kemapanan membuahkan hasil. Hidupnya kini terasa sempurna, harta, pekerjaan dan wanita pujaannya kini telah ia dapatkan semua. Bahkan di tahun kedua pernikahannya, kebahagiaannya makin sempurna dengan lahirnya seorang anak perempuan dari buah cinta mereka, ARINI EKA HIDAYAT namanya, mengambil nama belakang dari sang ayah yang berbahagia ROHMAN HIDAYAT.

Namun kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Wahyu, mantan kekasih Maya tiba-tiba hadir di tengah rumah tangga mereka. Tanpa sepengetahuan Rohman, Wahyu mulai mencari tahu keberadaan Maya, lalu mencoba menghubunginya. Akhirnya lewat perantara Facebook, Wahyu berhasil mendapatkan nomer Maya. Maya yang sadar ia telah memiliki suami dan seorang anak, mencoba untuk tak terlalu menggubris Wahyu agar keutuhan rumah tangganya tetap terjaga. Sementara Wahyu sedikit demi sedikit mulai mencoba masuk ke dalam kehidupan rumah tangga mereka, lewat alih-alih sekedar bersilaturahmi dan menjaga hubungan baik. Maya pun tak ingin berfikir negatif, walau merespon tiap pesan yang di kirimkan oleh Wahyu, ia tetap merespon seperlunya dan tak membalasnya jika memang bukan hal yang penting. Bahkan riwayat obrolan dan kotak masuk di handphonenya langsung ia hapus agar Rohman tak cemburu dan berburuk sangka kepadanya.

Hingga pada suatu hari saat Rohman dan Maya sedang menonton tivi di ruang tamu, tiba-tiba handphone Maya bergetar. Terlihat di layar ada panggilan masuk dari sebuah nomor. Ia sadar itu adalah nomor mantan kekasihnya yang sengaja tak ia simpan. Jantungnya berdegup kencang, ia putuskan untuk tak mengangkat telepon itu. Beberapa menit kemudian akhirnya handphonenya berhenti bergetar.

“Dari siapa De, kok ga di angkat?” tanya Rohman.

“Dari nomor asing Mas, udah biarin aja paling orang iseng,” jawab Maya panik.

Kemudian handphone kembali bergetar, nomor yang sama kembali memanggil.

“Itu bunyi lagi De, coba angkat dulu siapa tau penting,” ucap Rohman.

“Iya Mas,” jawab Maya ragu-ragu.

Ia terus memandangi handphonenya, berharap benda itu segera berhenti bergetar dan tak berbunyi lagi. Tapi kemudian ia berpikir, jika sampai Mas Rohman yang mengangkat bisa gawat nantinya. Akhirnya ia ambil handphonenya dan memencet tombol bergambar gagang telepon warna hijau di handphonenya.

“Halo assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumsalam May, kok lama sih ngangkatnya?” tanya Wahyu.

“Wah maaf Mas, salah sambung. Kami ga pernah memesan asuransi,” jawab Maya mengarang.

“Kamu ngomong apa sih May?” tanya Wahyu heran.

“Iya Mas, terima kasih. Tapi maaf kami belum butuh. Jangan menelpon ke sini lagi ya Mas,” jawab Maya kemudian langsung memencet tombol merah di handphonenya.

Tut... tut... tut... telepon terputus.

“Dari siapa De?” tanya Rohman.

“Itu Mas, biasa sales asuransi lagi cari konsumen,” jawab Maya coba menutupi.

“Oh tumben kok asuransi nelpon malem-malem ya?” Rohman sedikit heran.

“Ahh lagi kejar target mungkin mereka, udahlah ga usah dipikirin, ke kamar aja yuk Mas, Arin udah bobo kayanya, aku kedinginan nih, pengen yang anget-anget,” rayu Maya mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Hahaha, bisa aja kamu De, yaudah ayo, Mas juga pengen cari yang anget-anget nih,” jawab Rohman manja.

Tiba-tiba handphone Maya kembali bergetar, ada satu pesan masuk. Maya membukanya, ‘Kamu kenapa si May, ini aku Wahyu’.

“Sms dari siapa De?” tanya Rohman.

“Dari Operator Mas, masa aktifnya mau habis katanya, hahaha,” jawab Maya asal.

“Yaudah ayo kita ke kamar De,” ajak Rohman.

“Yaudah Mas duluan aja, aku mau kunci pintu sambil liat Arin dulu, nanti aku susul,” jawab Maya.

“oh, yaudah jangan lama-lama ya”.

“Iya sayaaaaaang, tunggu aku ya,” jawab Maya sambil mencium Rohman.

Rohman pun naik ke lantai atas, menuju kamar mereka. Maya lagsung membuka handphonenya lalu membalas pesan dari Wahyu, ‘Iya aku tau, aku sudah berkeluarga. Tolong jangan pernah hubungi aku lagi!’. Setelah pesan terkirim ia segera  menghapus pesan masuk dan pesan keluarnya, lalu mematikan handphonenya, kemudian meletakkanya di atas meja. Ia segera mengunci pintu rumahnya, kemudian naik ke lantai dua, mengintip putrinya yang sedang tertidur di ranjang kecil di dalam kamar. Perlahan-lahan ia tutup pintu kamar agar putrinya tak terbangun. Lalu segera menuju ke kamarnya, menemui suaminya yang telah menunggunya.

Bersambung...

Related Posts:

2 Responses to "JANGAN SAKITI MALAIKATKU"

  1. Wah Ang karangannya cakep
    Makasih
    Sangat menghanyutkan perasaan
    Cerita memang penuh keajaiban

    ReplyDelete
  2. mungkin cerita ini terlalu vulgar dan liar, juga tak ada pesan moral sama sekali. mudah-mudahan cerita ini tidak membawa dampak buruk buat yang membacanya. Mohon dimaafkan, saya hanya sekedar menumpahkan imajinasi liar di kepala saja.

    ReplyDelete