Aku, Airasia, dan Kematian

Di samping meja kerjaku, duduk seorang mahasiswi magang. Cita-citanya menjadi pramugari. Memang cocok dengan tinggi badan dan tampangnya. Kutanya facebooknya apa, dia jawab, bukankah sudah berteman?

Oh ya, ternyata sudah berteman. Kemudian kubaca kronologi dia, dan membaca salah satu statusnya berbunyi, meski pemberitaan AIRASIA sedang gencar-gencarnya, dia takkan pernah surut dari cita-citanya. 

Kutanya lagi, jadi pramugari ya cita-citanya?

Ya, jawabnya. 

Betul mahasiswi ini, musibah AIRASIA tak sepatutnya menghalangi cita-cita. Juga tak sepatutnya peristiwa ini, menghentikan niat siapa pun yang akan melakukan penerbangan. Mereka para korban musibah jatuhnya pesawat ini, karena memang sudah saatnya saja mereka meninggal. Ajalnya sampai di sana. Jika ajal seseorang sudah sampai, takkan ada seoprang pun sanggup mempercepat atau memperlambatnya, demikian kurang lebih bunyi ayat yang Allah sampaikan via jibril. Kematian bisa datang kapan saja, di mana saja, dengan sebab apa saja. Di sekeliling kita, penyebab kematian sesungguhnya terus mengintai. Misalkan aku yang kini duduk di lantai tiga gedung, menatap ke atas, ada atap, sesungguhnya atap itu ancaman nyawa buatku. Andai saja tiba-tiba jatuh, dayaku menahannya akan kalah.

Pindah lagi ke perbincangan AIRASIA, Setelah 7 hari pencarian, akhirnya membuahkan hasil. Basarnas dibantu berbagai pihak akhirnya berhasil. Pesawat ditemukan di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Hingga pencarian hari keenam, sudah 7 jenazah sudah 30 jenazah ditemukan. Keping-keping pesawat itu terpisah berserakan. Sebagian awak kapal ditemukan di kedalaman laut dalam keadaan sudah meninggal. 

Dalam sebuah pencarian, setelah dua jam lebih mereka berjalan, ditemukan 3 jenazah duduk dalam satu barisan kursi. Nafas kutarik panjang saat membaca ini. Terbayang jika salah satu dari mereka itu aku atau salah satu temanku. Apa yang bisa kulakukan selain kembali kepada kenyataan, setiap manusia akan meninggal dunia. 

Entah kapan dan dengan cara apa, kita akan meninggal dunia. Hidup ini hukuman mati, demikian kata bijak seorang Bhiksu dari Thailand. Betul sekali, itu realita. Semua yang hidup harus merasakan kematian, dan tak seorang pun bisa lari darinya. Secepat apapun seorang pelari, takkan pernah bisa dia melarikan diri dari kematian. 

Related Posts:

0 Response to "Aku, Airasia, dan Kematian"

Post a Comment