30 HARI MENCARI ISTRI (3)

30 Hari Mencari Istri hari ke-3

AYU SI PENULIS
Oleh : Arev Culle’

Rabu, 07 Januari 2015. Hari ini tak secerah harapanku tadi malam, hujan deras turun sejak subuh tadi hingga kini. Pukul 07:00 pagi aku berangkat menuju tokoku, walau di luar hujan deras sekali, tak akan menyurutkan niatku untuk mencari rezeki. Masa aku kalah rajin sama si Iwan karyawanku yang hanya lulusan SMP itu. Walau hanya lulusan SMP tapi semangat, kegigihan dan kerajinannya tak kalah dengan lulusan-lulusan sarjana yang kadang malah lebih manja. Gerimis sedikit ga masuk kerja, padahal waktu interview dulu bilang, “jangankan hujan badai, ada gerombolan bencong yang memblokir jalan pun akan saya terobos demi kepentingan perusahaan Pak!” ucap si Sarjana tegas. Tapi kenyataannya setelah diterima kerja... ah, sudahlah...

Tak lupa aku mampir dulu di SD MEKARSARI 01 Tambun untuk membeli sarapan, satu bungkus nasi kuning, satu buah piscok dan es susu coklat. Pas sudah 4 sehat 5 sempurna dalam satu plastik seharga 5000 rupiah. Nasi, telur, mentimun, pisang dan susu coklat. Paket lengkap, hemat, bergizi tanpa menyakiti isi dompet. Pukul 07:30 aku sampai di toko. Iwan terlihat sedang membersihkan etalase dan barang-barang yang di gantung. Ah bahagianya melihat karyawanku sangat rajin.
“Assalamualaikum Wan!” ucapku menyapanya.
“Waalaikumsalam Bos!” jawabnya sambil tersenyum.
“Sarapan Wan,” ucapku menawarkan padahal basa-basi.
“Iya Bos, terima kasih. Udah tadi beli nasi uduk di rumah,” jawabnya.
Aku segera duduk di meja kerjaku, duduk di kursi plastik, walaupun enggak empuk tapi tetap nyaman. Karena kursi ini kubeli dari hasil keringatku sendiri, bukan hasil berebutan dan menggunakan cara-cara kotor seperti yang dilakukan beberapa anggota dewan yang berebut kursi di DPR hanya untuk numpang tidur saja.
“Wan, gue udah keren belum?” tanyaku kepada Iwan sambil menunjukkan kaos lama yang baru kupakai yang bertuliskan ‘I’M WRITER not HATERS, kritikku untuk masa depanmu’.
“Ah biasa aja Bos, yang bagus mah kaos saya nih,” jawab Iwan sambil menunjukkan kaosnya yang bertuliskan ‘ PEMUDA DANGDUT MASA KINI, I LIKE DANGDUT’.
“Dasar kamu ga punya jiwa seni!” ucapku meledek.
“Hahaha, emang kenapa si Bos pake tanya keren apa enggak segala, Bos ini akhir-akhir ini mulai aneh, kemarin ngeliatin hape terus, sekarang sok keren gitu?” tanya Iwan heran.
“Gue entar mau ketemuan sama cewek penulis Wan, jadi gue harus tunjukkin kalau gue juga suka nulis,” jawabku penuh percaya diri.
“Oh pantesan kelakuan Bos dari kemarin alay, kaya anak-anak dahsyat yang kucek-kucek bilas-bilas,” ucap Iwan sambil tertawa-tawa menirukan joget alay.
“Aseeem lu Wan, udah sana kerja lagi yang bener!” ucapku sebal.

Jam di dinding toko menunjukkan pukul 16:00, di luar hujan masih rintik-rintik. Acara ketemuan terancam gagal kalau hujan tak kunjung reda, lalu kucoba menghubungi Rika lewat BBM.
“Ka, gimana jadi ga? Masih gerimis di sini nih,” tanyaku.
“Iya Pin jadi, ni aku udah sama Ayu mau jalan,” jawab Rika.
“Gapapa emang? Kan masih gerimis?” tanyaku khawatir.
“Gapapa lah, kan kami pakai payung, lagian kan udah janji. Janji itu hutang loh Pin, aku ga mau hutang sama kamu mah, nanti berbunga, wkwkwk,” jawabnya meledek.
“Hahaha, bisa aja kamu Ka, yaudah nanti ketemu jam 5 ya!” jawabku.
“Oke Pin, sampai ketemu, hati-hati berangkatnya jangan ngebut-ngebut, licin jalannya,” jawab Rika.
“Siap Nyonyaaaa!” balasku singkat.
Akhirnya pukul 16:30 kupakai jas hujanku, kuterobos gerimis mengundang ini demi janjiku kepada Rika dan Ayu. Telah kusiapkan beberapa kata-kata pujangga yang kucopas dari buku-buku puisi Kahlil Gibran, agar aku terlihat seperti sastrawan nanti di depan Ayu. Bagaimanapun aku harus membuat kesan pertama yang baik, karena kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Adinda. Kubayangka diriku sudah sekeren Bang Zafran di film 5 Kilometer, yang sangat puitis dan romantis abis. Tanpa sadar aku mengendarai motor sambil meringis-meringis. Pikiranku melayang-layang tak tentu arah, mungkin benar kata Iwan, saat ini aku sedang mengalami masa-masa ‘ALAY BINGITZ’.

Akhirnya pukul 16:50 aku sampai di cafe, sepertinya Rika dan Ayu belum datang. Akhirnya aku masuk dulu, duduk dan memesan secangkir kopi hitam, tadinya mau pesan black coffe, tapi takut harganya jadi berubah gara-gara pakai bahasa Inggris. Di tengah dinginnya udara sore ini, kunikmati kopi hitamku seruput demi seruput, ah nikmat sekali rasanya. Kenikmatan tersendiri yang tak kalah nikmatnya dengan ngupil. Pukul 17:10 akhirnya mereka tiba.
“Assalamualaiku Pin, maaf ya telat. Angkotnya ngetem terus tadi,” sapa Rika.
“iya gapapa kok Ka, santai aja kaya di pantaiiiii,” jawabku meledek.
Lalu mereka pun duduk berdampingan di depanku. Sosok wanita berhijab merah di sebelah Rika yang menjadi fokusku saat itu. Kulitnya putih, wajahnya pun manis, ada tahi lalat di hidungnya, membuatnya tambah manis. Karena kalau pahit berarti yang di hidungnya adalah tahi ayam, bukan tahi lalat.
“Oh ya, ni Pin kenalin temenku namanya Ayu, Ayu ini Arifin, biasa di panggil Ipin,” ucap Rika memperkenalkan kami berdua.
“Ah iya, salam kenal ya Adinda Ayu,” ucapku sambil dengan nada puitis sambil mengulurkan tangan.
“Ah iya, salam kenal juga Pin,” jawabnya sambil bersalaman denganku.
“Sejak kapan bahasa kamu jadi alay gitu Pin?” ucap Rika meledekku sambil tertawa simpul.
“Aihh de Rika, sudah berapa lamakah kau mengenalku, hingga tak kau tau betapa puitisnya diri ini,” jawabku dengan nada puitis yang makin menjadi-jadi.
 
“Udah Pin, udah entar aku jadi ga nafsu makan nih!” ucap Rika mulai risih.
Sementara Ayu hanya tersenyum sendiri melihat perbincangan kami berdua. Lalu kami pun memesan makanan, lalu beberapa saat kemudian makanan datang. Rika dan Ayu memesan ayam bakar, sementara aku memesan nasi goreng spesial. Coba-coba karena biasanya aku hanya memesan nasi goreng biasa.
“Aihhh kenapa ada leuncanya ini nasi goreng!” ucapku mengeluh.
“Kenapa si Pin, emang kamu engga doyan sama leunca?” tanya Rika heran.
“Aku ga suka sayuran Ka, apalagi kacang-kacangan,” ucapku sebal.
“Yasudah sini aku ambil aja leuncanya buat aku,” jawabnya sambil mengambil piring nasi goreng milikku.
Dengan sabar dan telaten dia pilihi satu per satu leunca yang ada di nasi goreng itu, sampai tak tersisa satupun leunca di nasi gorengku. Bahkan yang bersembunyi di dalam nasi pun tak luput dari pencariannya.
“Nih Pin, udah ga ada. Udah buruan makan keburu dingin nanti ga enak,” ucap Rika sambil memberikan sepiring nasi gorengku yang sudah bersih dari hama leunca.
“Makasih Ka, ga akan kupesan lagi yang namanya nasi goreng spesial! Apanya yang spesial, setahuku yang spesial itu telurnya dua, kaya martabak!” jawabku masih sedikit sebal.
”Sudah-sudah ayo kita makan,” ajak Rika mencoba menyudahi.
“Kamu kok ga doyan sayur si Pin, kan sayur baik buat pertumbuhan,” tanya Ayu heran.
“Bukan begitu Adinda Ayu, ini hanya masalah suatu kerelatifitasan, karena di dunia ini suka dan tidak hanya masalah pola pikir masing-masing, sehingga tak ada ukuran yang pasti apa itu baik dan tidak baik,” jawabku masih dengan nada puitis dan kata-kata yang berdiksi rumit.
“Terserahlah, bingung aku denger kamu ngomong Pin,” ucap ayu sambil tertawa.

Akhirnya setelah makan kami memulai berbincang-bincang ringan.
“Dirimu suka menulis ya Adinda Ayu?” tanyaku puitis.
 
“Iya Pin, tapi udah males nulis sekarang mah,” jawabnya lesu.
“Loh, apa gerangan yang membuatmu begitu tak bersemangat merangkai kata Adinda?” tanyaku heran.
“Habisnya aku kan udah susah payah nulis cerita di salah satu grup menulis, masa ga ada yang ngelike atau komentar sama sekali, padahal cerita aku bagus loh kata teman-teman aku,” jawabnya.
“Memangnya teman-temanmu yang bilang ceritamu bagus  itu adalah para perangkai kata juga Adinda?” tanyaku.
“Bukan, mereka Cuma teman-teman Facebook aku, bukan penulis sepertiku,” jawabnya.
“Mungkin belum banyak yang mengenalmu di grup itu, sehingga ceritamu tenggelam dan tak sempat dilihat oleh para anggota grup itu, coba dekati dulu para seniornya, lalu undang saat kamu membuat cerita agar ceritamu bisa dikritisi,” jawabku menerangkan.
“Sudah, eh malah sekalinya pada coment bilang tulisanku datar, ceritanya kepanjangan dan bertele tele, kata-katanya kurang baku, banyak yang typo sampai dibilang suruh sekolah SD lagi dulu katanya, soalnya penggunaan partikel sama tanda bacanya masih salah semua, gimana ga down coba. Jahat banget pada, padahal temen-temen aku aja bilang bagus. Setelah itu aku udah males nulis lagi jadinya!” ceritanya sambil manyun-manyun.
“Loh seharusnya kritikan itu dijadikan semangat, bukannya malah bikin kamu down. Emang kamu bikin cerita buat apa tujuannya?” tanyaku heran.
“Ya biar banyak yang like, banyak yang komen kasih pujian, terus dilirik penerbit di bikinin buku deh! Kalau dihina-hina gitu mah jadi males aku nulis juga,” jawabnya bersemangat.
Entah kenapa, tiba-tiba aku yang tadinya respect sama dia kemudian berubah menjadi ilfeel. ‘ini orang ga pantes disebut penulis, ga pantes pake-pake DP ngaku-ngaku seorang penulis,’ ucapku dalam hati.
Lalu aku menceramahinya,”Denger ya Yu, kalau kamu menulis Cuma ingin diberi like atau diberi pujian saja, maka kesuksesan kamu Cuma diukur dari seberapa banyak yang like dan koment di tulisan kamu. Udah, ga lebih dari itu. Penulis sejati itu tetap berkarya walau karyanya tak dibaca, tujuannya bukan like, pujian atau materi. Yang terpenting bagaimana tulisannya itu bisa membawa manfaat untuk orang-orang yang membacanya. Sehingga pahalanya akan terus mengalir walau sang penulis itu sudah tiada nanti. Karena ada tiga hal yang pahalanya tak akan berhenti walau kita meninggal dunia, yaitu do’a anak yang soleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah. Penulis sejati ga akan berhenti berkarya hanya karena tulisannya dihina, diejek bahkan dibilang sampah. Justru hal itu yang membuatnya akan lebih baik lagi, membuatnya belajar lebih baik lagi tentang cara menulis yang benar, tentang bagaimana cerita yang baik dan tentang bagaimana tulisannya bisa bermanfaat untuk orang yang membacanya, bukannya malah menjadi down”.
“Ah kamu sama aja sama mereka!” ucapnya kesal.
“Loh bukannya gitu, tapi kalau sikap kamu begini terus, kamu ga akan pernah bisa menjadi penulis beneran. Kamu ga akan pernah maju nanti, aku bilang gini juga demi kebaikan kamu!,” jawabku sedikit emosi.
“Tau ah, kamu nyebelin!” ucap Ayu sebal.
“ayo kita pulang aja Ka, aku udah bete di sini!” ucap Ayu kepada Rika sambil menarik tangannya untuk pulang.
“Iya, iya tunggu dulu Yu,” jawab Rika.
“Yaudah aku tungguin di depan, buruan Ka, udah malem!” ucap Ayu ketus.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala liat kelakuan si Ayu, ah.. kadang memang apa yang kita bayangkan tak seindah kenyataan. Terkadang kenyataan itu memang kejam.
“Aku pamit dulu ya Pin, maaf temen aku begitu, maaf banget,” ucap Rika merasa tak enak.
“Iya gapapa Ka, santai aja. Hati-hati ya,” jawabku lesu.
“Iya, nanti aku BBM lagi ya, assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh,” ucap Rika sambil tersenyum lalu berlalu pergi.
“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh,” jawabku.
Lalu dari kejauhan dia berteriak, “Kamu bisa juga ya ternyata jadi orang yang puitis dan romantis!”
Hahaha, aku hanya terduduk sambil tertawa renyah.

Pukul 19:00 aku sampai di toko. Hujan sudah berhenti sejak maghrib tadi, tapi suasana dingin dan lembabnya masih menyelimuti kota Bekasi yang tak pernah tidur ini. Kududuk di meja kerjaku sambil termenung, memikirkan kejadian tadi. Lagi-lagi aku gagal mendapatkan hati seorang gadis, kecantikannya memang membuatku sempat jatuh hati, tapi prinsipnya tentang menulis sangat bertentangan dengan prinsipku, sehingga membuat kami tak sejalan. Bahkan sifat keras kepalanya pun berhasil membuatku ilfeel. ‘Mungkin memang belum waktunya,’ pikirku.
“Gimana Bos kencannya?” tanya Iwan.
 
“GAGAL TOTAL WAN!” jawabku kesal.
“Sabar Bos, masih ada hari esok,” jawab Iwan sok bijak.
Iyalah apa kata lu aja Wan!” jawabku singkat.
Lalu ada BBM masuk dari Rika, “Pin maafin aku ya,aku juga ga tau kalau ternyata temen aku sampai segitunya”.
“Iya gapapa kok Ka, santai aja,” jawabku.
“yaudah ni aku kirimin Pin BB yang lainnya, kamu hubungin sendiri deh, kamu kenalan dulu biar tau gimana sifatnya, aku takut salah pilih lagi kalau lagsung di ajak ketemuan sama kamu,” balas Rika sambil mengirimkan 4 PIN BB temannya.
“Oke Ka, makasih ya, iya nanti aku coba kenalan dulu biar ga error kaya tadi, hahaha,” balasku.
“Yaudah, selamat malam ya Kakanda Ipin, hati-hati nanti pulangnya, wkwkwkwk,” balasnya sambil meledek gaya puitisku tadi sore.
“Hahaha, aseeem kau Rika, awas ya, kalau ketemu aku cium!” balasku sambil tertawa renyah.
“eiiits enak aja, bukan muhrim, halalin dulu baru boleh cium!” balasnya.
“Minta halalin sana sama Mas Joko! Hahaha,” balasku meledek, Mas Joko adalah pria yang waktu kuliah dulu sering mengejar-ngejar Rika, tapi tak pernah terbalas oleh Rika, karena Mas Joko Playboy paling terkenal se kampusku dulu.
“Ahhh Ipin, kurang ajar kamu, weeeee, Ipin jelek!” balas Rika sebal.

Pukul 23:00, aku sudah terbaring di kasur empukku. Mencari kehangatan di tengah dinginnya udara Bekasi malam ini. Sambil kubalas beberapa BBM masuk dari teman-teman Rika yang baru aku undang tadi. Malam akhirnya semakin larut, kelopak mataku juga sepertinya mulai kendor karena tiba-tiba turun sendiri, mulutku juga sudah mulai menguap, mungkin sebentar lagi akan mencair dan menyublim.  Sepertinya ini tanda bahwa harus ku akhiri hari ini, tak lupa aku membaca pancasila supaya dilindungi oleh negara, lalu menenggak obat nyamuk biar tak digigit nyamuk, kemudian membaca do’a sebelum tidur supaya dilindungi oleh Allah. Akhirnya malam ini aku terlelap ditemani simfoni nyanyian jangkrik-jangkrik, dengungan nyamuk-nyamuk dan desiran angin malam yang menyelinap melewati celah-celah ventilasi kamar. Selamat tidur para butiran debu di Galaxy Bimasakti.



Related Posts:

1 Response to "30 HARI MENCARI ISTRI (3)"

  1. Itu bagus ya si wanitanya, alim banget
    Pandai menjaga diri

    ReplyDelete