Ngabang, kota kecil itu tenggelam dalam pelukan malam, adzan Isya sudah lewat setengah jam yang lalu. Kota yang terletak di pulau Borneo bagian barat itu hanyalah kota kecil hasil pemekaran, program otonomi daerah beberapa tahun silam membuat kota itu terpilih menjadi ibu kota sebuah kabupaten, Landak begitulah orang-orang menyebut nama kabupaten itu.
Alin baru saja datang dari desa kelahirannya, beberapa hari yang lalu abangnya yang kelima melansungkan pernikahan, abangnya itu memilih gadis dari desa yang sama umtuk mendampingi hidupnya. Bekas tanah kuning melekat di sekujur pakain pemuda itu, dirinya harus melawan hujan dengan jalan yang menjadi licin agar dapat sampai di kota Kabupaten, butuh waktu setengah hari barulah pemuda itu sampai. Dengan motor abangnya yang paling tua, Alin melawan jalan tanah yang tergenang air hujan.
Setelah membersihkan diri, Alin menyantap hidangan malam yang dipersiapkan kakar iparnya. Abang dan kakak iparnya itu hanya dua hari di desa, pekerjaan mereka memaksa untuk tidak dapat berlama-lama di desa.
"Ibu dan Ayah kapan menyusul?" terdengar suara yang dikenalnya.
"Mungkin bulan depan," sahut Alin tanpa menoleh abang ketiganya itu.
Abangnya yang bernama Urai Andit itu duduk di kursi sebelah Alin,"kenapa begitu lama?"
Alin menyuap nasi terakhirnya, kemudian meneguk air putih di gelas,"masih ada beberapa adat yang belum selesai," jawabnya.
Andit mengerutkan dahinya,"adat apalagi, bukankah semuanya sudah terselesaikan?" tanyanya meminta penjelasan.
Alin mengangkat bahu, pertanda dirinya pun kurang mengetahui entah adat apalagi yang belum dijalanai. Alin menyandarkan tubuh mungilnya pada kursi kayu, melepaskan penat setelah hampir seharian melawan jalan yang licin.
"Besok awak jadi tes?" tanya Andit lagi, matanya memandang adik bungsunya itu.
Satu bulan yang lalu Alin mendaftarkan dirinya untuk mengikuti program beasiswa Pemda Kabupaten, Alin mendapat kabar dari temannya bahwa sebenarnya program itu sudah lama berlansung, namun tidak banyak yang mengetahuinya. Menurut temannya program itu hanya diikuti oleh beberapa kerabat yang bekerja di kantor Pemda, hanya saja untuk tahun ini program itu disebar luaskan walaupun tetap saja masih banyak yang tidak mengetahuinya. Pendaftaran itu tidaklah gratis, perlu tiga ratus ribu rupiah setiap orang untuk mendaftar, setelah melewati seleksi adminitrasi barulah peserta yang dianggap lolos mengikuti tes, Alin bersyukur dirinya lolos administrasi dan boleh mengikuti tes itu.
Alin mengangguk, pandangannya pada layar teleivisi yang menayangkan program beritas.
"Lekaslah tidur, bukankah besok awak harus berkosentrasi dengan tes itu," Andit menegur.
"Ya, sebentar lagi," sahut Alin.
"Jangan lupakan mati lampu belakang kalau awak hendak tidur!" kata Andit kemudian meninggalkan adiknya itu.
Setelah beberapa kali meruubah saluran, namun sepertinya tidak ada program yang menarik perhatiannya, tangannya menekan tombol panah sebelah bawah pada remote, suara telivisi itu menghilang. Berikutnya pemuda itu mematikan telivisi abangnya itu, sebelum naik ke lantai dua tidak lupa Alin memtikan lampu belakang dan ruang tamu.
Letih rupanya membawa kantuk datang lebih cepat, sehingga anak bungsu dari delapan bersaudara itu larut dalam buaian malam.
***
Dua pekan sudah berlalu, setelah mengikuti tes itu Alin tidak mempunyai kesibukan bearti, oleh bibi bungsunya meminta Alin membantunya menjaga warung bersama Untung, putranya. Bibinya yang kerepotan biasanya dibantu oleh abang Alin, tapi abang Alin yang biasa membantu bibinya itu belum pulang dari kampung. Pagi itu Alin meminta pada sepupunya, Untung untuk mengantarkannya pulang ketempat abangnya, malam sebelum dia tidur abangnya meminta untuk pulang membantu abangnya menguras parit belakang rumah.
Setelah membereskan warung sembako itu, Alin diantar sepepunya dengan motor bebek milik sepupunya itu. Motor itu baru saja dibelikan bibinya untuk Untung yang akan masuk keperguruan tinggi di Pontianak, juga merupakan hadiah setelah Untung berhasil menamatkan Sekolah Menengah Atas dengan nilai yang sangat memuaskan, sepupunya itu memang memiliki otak diatas rata-rata.
"Lin, lihat mereka melambaikan tangan," ujar Untung tanpa menghilangkan konsentrasinya pada jalan.
"Bukankah itu tadi Satria dan Yayan?" tanya Alin meyakinkan penglihatannya.
Sepupunya itu mengangguk, membenarkan kata-kata Alin.
Sementara Alin bertanya dalam benak, tidak biasanya kedua temannya itu melambaikan tangan dengan wajah semeringah. Ingin rasanya menyuruh sepupunya memutar balik menuju rumah temannya itu, tapi Alin mengurungkan niatnya, rumah abangnya sudah tidak terlalu jauh lagi, apalagi sepupunya itu harus segera pulang untuk menjaga warung.
Keheranan Alin semakin memuncak, rumah abangnya yang sudah terlihat nampak begitu ramai. Sepupunya yang lain yang memang tinggal di daerah itu juga berada di sana, tidak hanya itu beberapa tetangga yang memang dekat dengan keluarga abangnya pun berada di halaman rumah abangnya.
Alin mulai menebak, terlintas pikiran buruk menyerang. Wajahnya terlihat cemas, apalagi tiba-tiba saja dari belakang kedua temannya menyusul. Namun satu hal yang janggal, terlihat senyum mereka begitu tulus, jika memang terjadi sesuatu yang buruk tentu wajah kedua temannya itu tidak menampakan kebahagian.
Motor yang di tumpangi terus mendekati kediaman abangnya, keduanya temannya pun masih berada di belakang.
Orang-orang yang berada di rumah abangnya melihat kedatangan Alin, dah hal ini yang membuat Alin semakin keheranan. Belumlah dia turun dari motor bebek yang di tumpanginya, orang-orang itu menghampirinya dengan mengucapkan kata selamat.
Wajah Alin memucat, pemuda itu menatap abangnya dengan penuh tanda tanya.
Andit, abang ketiganya itu tersenyum pada Alin. Lelaki dengan dua anak itu menepuk pundak Alin.
"Kenapa dengan wajah awak?" tanya Andit.
"Wajahku, ada apa dengan wajahku?" sahut Alin dalam kebingungan.
"Sepertinya dia belum tahu," sela Akbar, sepupun dua kalinya itu.
"Tolonglah jangan buat aku dalam kebingungan," Alin meminta penjelasan.
Andit kembali tersenyum, mengalihkan pandangannya pada Akbar.
"Akbar yang lihatnya lansung, Andeng hanya mendengar kabar itu dari Akbar," ucap Andit.
Andeng adalah nama panggilan untuk dirinya. Pada keluarga Alin untuk panggilan abang dan kakak mempunyai panggilan khusus, begitulah adat dalam keluarga Alin. Untuk anak pertama dipanggil dengan sebutan Ulak, yang kedua Alu, ketiga Andeng, keempat Angah, kelima Ayon, keenam Apit, ketujuh Ojok dan Alin sendiri karena anak terakhir sering dipanggil Usu atau Ocon.
Begitu pula dengan keluarga-keluarga yang tinggal di sekitar daerah bekas kerajaan Landak itu. Adat istiadat masih mereka junjung.
"Selamat ya!, awak lulus Lin," Akbar menjelaskan.
Alin menatap Akbar dengan rasa tidak percaya, tubuhnya terasa hangat dingin. Rasa kebahagian menghampiri seluruh persendiannya.
"Maksud awak, aku lulus ke Bandung?" Alin meminta keyakinan dengan penjelasan Akbar.
Akbar mengangguk tersenyum.
"Benar Lin," sebuah suara menyela,"aku juga sudah lihat, pada daftar kelulusan itu nama awak tertera."
Alin menoleh pada suara itu, Satria dan Yayan berdiri tersenyum menatapnya.
"Marilah aku antarkan, agar awak yakin bahwa awak benar-benar lulus," ajak Akbar sambil menghidupkan motor bebeknya.
Alin bergegas naik ke atas motor bebek Akbar, mereka yang berada di halaman rumah Andit tersenyum melihat kegugupan Alin. Berikutnya Alin bersama Akbar dan disusul keduan temannya meninggalkan pekarangan rumah Andit.
Seperti tidak percaya, dengan matanya sendiri Alin melihat namanya tertera di papan pengumumuan. Di kantor dinas pendidikan itu sudah berjubel mereka yang mengikuti tes melihat hasil pengumuman, di sana pun juga telah hadir ketiga temannya yang juga dinyatakan lulus, mereka adalah Iwan, Ahmad dan Hedi. Tentu saja wajah kegembiraan meliputi mereka.
Tidak sedikit dari mereka yang datang dengan kesedihan, nama mereka tidak tertera pada papan pengumuman dan itu bearti bahwa mereka dinyatakan gagal. Bahkan di sudut kantor itu seorang gadis terseguk bermandikan air mata. Beberapa temannya menghibur gadis itu.
Program beasiswa untuk pendidikan perguruan tinggi itu diikuti oleh beberapa ratus siswa tamatan SMA, perguruan tinggi yang di tuju tidak hanya kota Bandung, kota Yogyakarta, Bogor, dan Malang pun adalah tempat-tempat yang telah menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten.
Kelak bagi mereka yang menyelesaikan pendidikannya akan menempati sekolah-sekolah yang tersebar di Kabupaten untuk menjadi tenaga pengajar, dan Alin bersama ketiga temannya memilih kota Bandung tentu dengan jurusan yang berbeda namun mereka tetap berada di fakultas yang sama, Fakultas Teknik. Jika kelak mereka berhasil menyelesaikan pendidikan, akan kembali ke Kabupaten dan menjadi tenaga pengajar di SMK yang baru-baru ini dibangun di sekuruh daerah kabupaten Landak.
Awalnya Alin tidak mengira dirinya dapat lulus, melihat persaingan yang begitu ketat membuatnya tidak berkeyakinan akan lulus, apalagi mereka yang terkenal memiliki otak encer ikut pula tes itu, tapi ironinya beberapa dari mereka malah dinyatakan gagal.
Dari papan pengumuman itu Alin mengetahui mereka yang lulus ke Bandung berjumlah 70 orang termasuk dirinya bersama ketiga temannya. Pada papan pengumuman itu juga tertera bahwa seminggu setelah pengumuman diwajibkan mereka yang dinyatakan lulus untuk kembali berkumpul ke kantor Dinas bersama orang tua atau wali.
Berita bahagia itu menyebar pada keluarga besar Alin, saat itu Alin benar-benar menjadi buah bibir, disetiap kesempatan nama Alin selalu disebut dan disanjung. Mereka menganggap Alin adalah orang yang beruntung, mempunyai nasib yang baik, bahkan oleh paman dan bibinya, Alin dijadikan contoh setiap kali memberikan wejangan pada putra dan putri mereka.
"Apa awak tak berkaca, lihatlah Alin," kata pamannya, Pak Rubai menasehati putrinya yang seing malas kesekolah,"kedua orang tuanya bukanlah orang mampu, namun tidak bearti dia harus menyerah. Dia tahu Uwak awak itu tidak akan mampu membiayainya ke perguruan tinggi, sebab itulah dia menempuh jalur lain."
Lain pamannya, bibi bungsunya memberikan nasehat pada putrinya namun tetapi Alin sebagai acuannya.
"Belajar yang rajin ya nak," lembut bibi Alin memandang putri mungilnya,"nanti kalau awak sudah besar ikutilah jejak abang awak, Usu Alin. Bersekolah ke negeri Jawa sana."
Begitulah, nama Alin benar-benar menjadi tauladan, dengan keterbatasan ekonominya Alin dapat meraih mimpinya, yaitu bersekolah ke perguruan tinggi, begitulah menurut keluarga besarnya.
Beberapa hari setelah kelulusan, Abdul abang Alin yang paling dekat dengannya telah kembali dari desa Tenguwe, desa kelahiran Alin. Jarak umur Alin dengan Abdul pun tidak terpaut jauh, hanya dua tahun, bahkan sewaktu masuk sekolah mereka bersamaan, dari SD hingga SMA mereka satu sekolah, Abdul yang sewaktu masih bayi hingga menginjak usia enam tahun sering sakit-sakitan, terpaksa memulai sekolah bersamaan dengan adiknya, Alin.
Alin tersenyum melihat kedatangan abangnya itu, selama ini mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Tentu saja kedekatan mereka begitu kental, layaknya dua orang sahabat, bahkan ada yang mengira mereka saudara kembar.
"Lin, ini ambilah!" Abdul menyodorkan telepon gengam miliknya.
Alin mengerutkan dahi, dia tahu benar telepon gengam model polyponik itu adalah barang kesayangan abangnya. Sudah lama Alin menginginkan telepon genggam milik abangnya itu, namun Abdul bersikeras tidak memberikan, paling hanya meminjamkan beberapa hari pada Alin, setelah itu pasti akan diambilnya kembali.
Anehnya kali ini Abdul dengan begitu saja menyerahkan telepon genggam miliknya, padahal biasanya perlu berkali-kali Alin meminta, barulah diberikan itupun sebatas meminjam, dan saat ini Alin tidak meminta barang itu.
"Kenapa diam, ambilah!" Abdul menyadarkan Alin, "kali ini awak tak perlu mengembalikannya, ambilah dan simpan dengan baik."
Alin meraih telepon itu dari tangan Abdul dan menimang-nimangnya, kembali matanya menatap wajah Abdul seperti tidak percaya.
"Lalu bagaimana dengan awak, bukankah ini barang kesayangan awak, Jok?" Tanya Alin.
Abdul tersenyum,"aku tidak membutuhkannya, awaklah yang membutuhkannya."
"Aku masih tidak mengerti," Alin kebingungan.
"Berita itu juga sudah sampai di sana,"Abdul berkata sambil menatap ilalang yang dipermainkan angin,"dua pekan lagi Bapak dan Emak akan hilir."
Alin sudah menduga abangnya itu pastilah sudah mendengar kabar kelulusannya, tentu saja mulut para pedagang yang sering hilir mudik dari kampunglah yang mengabarkan pada orang kampung, termasuk bapak dan emaknya.
Lanjut Abdul,"untuk itulah, awak lebih memerlukan barang itu daripada aku."
Alin menatap wajah Abdul, walaupun senyuman abangnya itu tulus namun kesenduan terlihat dari pancaran mata abangnya. Alin mengerti dengan perasaan Abdul.
Sebenarnya abangnya itu pun ingin pula bersekolah ke perguruan tinggi, namun dirinya menyadari bahwa ekonomi keluarganya tidak mendukung. Setelah tamat dari bangku SMA sebulan yang lalu, Abdul pun menyatakan keinginannya itu pada Alin.
"Suatu saat aku akan bersekolah ke perguruan tinggi," kata Abdul kala itu,"aku akan bekerja kemudian duitnya aku tabung untuk biaya masuk ke perguruan tinggi."
Saat ini pun Abdul sudah bekerja, walaupun bekerja di warung bibinya sendiri, bibinya pun berjanji akan memberikan upah setiap bulannya asalkan Abdul bekerja dengan serius.
Bahagia sekaligus hampa, begitulah perasaan Abdul mendengar kabar kelulusan Alin. Sebagai seorang abang tentu dirinya senang melihat adiknya meraih impiannya untuk bersekolah hingga ke perguruan tinggi, namun sebagai diri pribadi, orang yang lebih tua serasa dirinya dikalahkan oleh adiknya sendiri. Bahkan dalam keluarganya, sepupu-sepupu yang sepantaran pasti akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Paman dan bibinya orang yang cukup berada tentu dapat menyekolahkan anak-anak mereka.
Sudah pasti, hanya dirinya yang tidak melanjutkan. Entah bagaimana masa depannya kelak, disaat adik dan sepupunya meraih kesuksesan mungkin dirinya hanya menjadi penonton dan meneguk liur yang tentu pahit terasa.
"Lebih baik awak simpan saja telepon ini," Alin menyodorkan kembali telepon genggam milik abangnya itu.
"Ah, awak ini," Abdul tersenyum,"seperti awak mampu saja beli telepon. Ulak, Andeng atau pun Apit tidak akan membekali awak telepon, lalu kelak bagaimana jika awak rindu dengan Emak."
Sejenak Abdul terdiam, matanya tidak melepaskan pandangannya pada Alin.
"Simpanlah, anggap saja kenang-kenangan dariku," lanjut Abdul.
Alin menunduk dalam menatap bumi,"baiklah, terimakasih Jok. Sudah pasti akan aku jaga barang dari awak ini."
"Aku pulang dulu," Abdul berdiri,"kalau sempat, nanti malam aku akan kesini."
Alin mengangguk, mengantarkan abangnya itu sampai ke teras. Tidak lama kemudian, Abdul melaju dengan motor bebek milik bibinya.
Abdul memang sudah lama tinggal di tempat bibinya atau iyangnya. Iyang adalah sebutan untuk adik ibu atau adik ayah yang perempuan sedangkan untuk sebutan paman akan dipanggil pak disusul urutan dalam keluarga. Misal pak Ojok, itu bearti paman yang ketujuh.
Malam sudah larut, bulan sepotong nampak menggantung di langit biru. Alin masih duduk di teras kediaman abang ketiganya itu, lampu teras sudah lama dimatikan. Baru saja Akbar berkunjung ketempatnya, abangnya, Abdul tidak dapat menemuinya malam itu, pekerjaan di warung memaksa abangnya itu bekerja hingga larut, selain sembako warung bibinya juga menyediakan tempat biliyar dan game playstation, sehingga Abdul harus melayani para pelanggan, apalagi jika pelanggan meminta minuman dan mie rebus, tentunya membuat Abdul tidak dapat meninggalkan warung bibinya.
Dua gelas kopi masih tergeletak di atas meja, bahkan asbak di sampingnya masih terlihat asap mengepul bekas puntungan rokok sepupunya itu.
Alin pun sudah lama menghisap asap beracun itu, pergaulannya mengenalkan Alin pada tembakau. Ibu dan Ayahnya seringkali menegur ataas kebiasaan buruk Alin, hanya abangnya yang paling tua yang tidak mengetahui kebiasaan Alin. Mereka sengaja menutupi kebiasaan buruk Alin pada abangnya yang tertua, emosi abangnya yang sering kali meledak-ledak memaksa mereka menutupi kebiasaan Alin, yang bisa mereka lakukan hanya mengingatkan Alin bahwa selain merusak kesehatan, tembakau itu juga membuat keungan menjadi buruk.
Alin sepertinya sudah kecanduan, walaupun sudah diperingatkan namun tetap saja bibirnya menghisap asap beracun itu, menurutnya tembakau itu dapat menenangkan perasaan dn pikirannya.
"Alasan saja," kata ibunya ketika Alin memberikan alasannya menghisap tembakau itu,"kalau ingin tenang harusnya awak itu sholat, dekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa!"
"Tidur Lin!" Terdengar suara kakak iparnya dari dalam.
"Iya Kak, sebentar lagi," sahut Alin.
"Besok jam berapa pertemuan itu?" tanya kakak iparnya, wanita berprofesi bidan itu sudah berdiri di mulut pintu rumahnya.
"Jam sembilan Kak," Alin menoleh pada kakak iparnya.
Kembali kakak iparnya itu bertanya,"sudah awak kabarkan pada Andeng?"
Alin mengangguk tersenyum.
"Ya sudah sana tidurlah, jaga kesehatan awak itu!" kakak ipar Alin itu kembali masuk.
Setelah puas menatap langit malam, Alin beranjak meninggalkan teras. Tangan kanannya menjinjing dua gelas bekas kopi dan tangan kirinya membawa asbak yang isinya sudah dibuang ke tempat sampah depan teras.
Sampai di tempat tidur, mata Alin belum terpejam, angannya melayang pada gadis desa kelahirannya. Gadis itu masih belia, umurnya jauh dibawah. Sebenarnya gadis itu masih mempunyai tali kekerabatan dengannya namun gadis inilah yang ternyata telah memikat hati anak muda itu.
Sebagai seorang remaja Alin tentu mempunyai ketertarikan dengan gadis-gadis yang berparas elok, selama ini Alin belum pernah sama sekali pun menjalin hubungan dengan gadis-gadis. Beberapa gadis yang berparas elok selama ini hanya dikagumi tanpa dapat berbuat banyak. Pemuda yang beranjak dewasa itu mempunyai kepribadian pemalu, ekonomi keluarganya yang pas-pasan membuatnya minder untuk mendekati gadis-gadis yang dikaguminya.
Menurut Alin, kasihan jika gadis-gadis itu bersamanya. Tentu gadis-gadis yang dekat dengannya tidak akan bahagia, paling tidak memberikan rasa nyaman. Bagaimana bisa nyaman jika bersamanya, kendaraan saja Alin tidak punya, selama ini Alin meminjam punya abang-abangnya jika harus berpergian, itupun kalau abangnya sedang tidak memakai sepeda motor itu. Nah jika berhubungan dengan gadis di kota itu paling tidak harus punya kendaraan sendiri untuk berpergian, sedangkan kendaraan umun sangatlah minim, atau boleh dibilang jarang ada.
Selain itu Alin pun tidak mempunyai cukup uang saku jika berjalan dengan gadis-gadis, Alin tahu gadis-gadis yang berada di kota kecil itu tentu mengharapaakan lelaki yang mampu mencukupi kebutuhannya sebagai seorang kekasih. Dengan alasan itulah selama ini Alin tidak pernah berani mendekati gadis-gadis, baik di sekolahnya maupun di sekitar lingkungan tempatnya tinggalnya.
Sebenarnya wajah Alin cukup elok dipandang mata, walaupun hidungnya tidak terlalu mancung namun pipi kanannya yang berhiasakan lesung pipit menambah daya tarik atas dirinya, serta dagu yang berbelah membuat wajahnya mempunyai keistimewaan tersendiri. Bukannya tidak ada gadis-gadis yang kepincut dengan pemuda itu, hanya saja gadis-gadis merasa tidak sopan jika harus mendekati pemuda itu terlebih dahulu, pemikiran Alin yang sempit membuatnya membatasi dirinya dengan gadis-gadis.
Beberapa pekan yang lalu, keika Alin kembali ke Tenguwe, desa kelahirannya untuk menghadiri pernikahan abangnya yang kelima. Ayon Udang begitulah dia memanggil abangnya itu. Seluruh keluarga besarnya pun menghadiri pernikahan abangnya, neneknya yang sudah berusia lanjut pun diboyong ke desa asal muasal keluarga Alin, hanya beberapa sepupunya saja yang tidak ikut, beberapa dari mereka sedang mendaftarkan diri ke perguruan tinggi.
Satu minggu sebelum pernikahan abangnya, di kampungnya itu juga diadakan pernikahan paman mudanya, yang dipanggilnya dengan sebutan Pak Bas. Namanya yang sebenarnya adalah Bastami, beliau adalah putra dari adik almahrum kakek Alin, sehingga boleh disebut Bastami ini adalah paman sepupunya.
Pada malam persandingan paman sepupunya, Alin berkumpul bersama teman-temannya yang memang sudah lama tidak bertemu. Alin yang bersekolah ke kota membuatnya harus berpisah dengan teman-temannya yang memilih bekerja, dengan kata lain mereka tidak melanjutkan sekolah mereka. Waktu itu acara resmi sudah lewat, hanya acara anak muda saja yang tersisa, biasanya anak muda di kampung itu mengadakan acara joged yang diringi musik disco, sehingga lebih populer mereka menyebutnya ngedis. Acara itu memang banyak mendapatkan pertentangan, terlebih para tetua kampung, mereka menganggap acara tersebut acara yang menyesatkan dan melanggar norma adat istiadat kampung.
Bahkan pada pernikahan kakak Alin yang perempuan beberapa tahun silam, acara tersebut ditiadakan dan ditentang keras oleh paman Alin yang kala itu menjabat sebagai penghulu kampung, atau imam mesjid kampung. Hal ini pulalah yang membuat pamannya terusir dari kampung setelah dikecam sebagian warga yang menganggap paman Alin berpikiran kuno dan merusak kreativitas anak muda kampung.
"Awak tidak ikut ngedis, Lin?" Tanya Pardi, temannya.
Alin tersenyum kemudian menjawab,"aku tidak biasa ngedis, lagian aku malu."
"Ah, malu dengan siapa?" Celoteh Pardi,"mungkin awak takut kalau-kalau Pak Bujang Sumbing melihat awak dan menyeret awak dari sini."
Alin tersenyum, pemuda itu diam memilih tidak untuk menjawab. Alin bukannya tersenyum dengan oceha temannya itu, namun sebutan Pardi pada paman ketiganya yang sering dipanggilnya Pak Andeng. Paman Alin itu dulunya ketika masih menjadi pemuda memang mempunyai kelainan yang dibawa dari lahir hingga beranjak remaja, bibirnya sumbing. Syukurlah kemudian kesepakatan keluarga membawa pamannya itu kerumah sakit di kota dan menjalani penjahitan, bekasnya memang masih terlihat tapi kini bibirnya tidak lagi sumbing dan bicaranya pun tidak lagi gagu seperti dahulu.
"Wah. lihat Abdul lagi goyangin cewek!" Seru Gepeng, temannya yang lain sambil menunjuk ke arah tarub dimana terlihat Abdul asik berjoged dengan gadis kampung itu.
"Bukankah itu Oli?" tanya Pardi meyakinkan penglihatannya.
"Siapa lagi, kalau Abdul kan seleranya tinggi," sahut Gepeng mengiyakan.
Oli adalah kembang desa, gadis itu menjadi pusat perhatian para pemuda kampung. Tubuhnya yang semampai dengan badan yang berisi dan selaras dengan wajahnya yang bulat telur, serta kulitnya yang bersih putih menbuat gadis itu menjadi pujaan pemuda kampung. Bahkan tidak hanya kampung Tenguwe, pemuda kampung sebelah yang berdekatan dengan kampung Tenguwe pun memuja gadis itu, namun tentu mereka tidak berani menampakan secara terang-terangan, mereka menghormati pemuda Tenguwe yang merupakan desa induk di sekitar kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung Tenguwe.
"Ocon Alin," sebuah suara lembut menyapa,"kapan datang?"
Alin menoleh pada suara itu, tepat di sampingnya berdiri gadis berparas ayu. Gadis itu pun salah satu gadis yang menjadi pujaan pemuda kampung, walaupun kalah tenar dari Oli yang memang sering bergaul dengan pemuda-pemuda kampung.
"Eh, Yuli!" kata Gepeng balik menyapa.
Yuli, begitulah gadis belia itu dipanggil. Yuli masih mempunyai tali kekerabatan dengan Alin. Rumah mereka pun sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja belakangan ini Yuli menginap di rumah mempelai karena membantu menghiasi mempelai perempuan, sehingga tidak mengetahui kedatangan Alin dari kota.
"Kemarin Yul," sahut Alin,"kemana saja, kemarin aku ke tempat Nek Noor tapi awaknya tidak berada di rumah."
Sehari sebelumnya Alin memang ke tempat Yuli, mengantarkan kain yang akan dijahit untuk dikenakan abangnya dihari pernikahan. Nek Noor adalah nenek Yuli, beliau adalah istri dari adiknya almahrum kakek Alin, dan orang kampung sering meminta Nek Noor menjahit kain yang akan dipakai mempelai lelaki.
Yuli tersenyum, semakin nampak keayuan gadis itu sehingga menyihir Gepeng dan Pardi yang terpana dengan senyuman Yuli.
"Iya beberapa hari ini aku jarang pulang, membantu mendandani dan menyiapkan keperluan mempelai wanita," terang Yuli.
"Sini duduklah bersama kami!" Alin mempersilakan.
Yuli yang tadinya bersama ketiga temannya memisahkan diri, dan menempatkan diri untuk duduk di samping Alin. Kursi kayu yang mereka duduki cukup panjang sehingga cukuplah untuk berlima atau berenam orang.
"Aku sebenarnya sudah tahu pasti Ocon sudah datang," ucap Yuli masih tersenyum.
"Ah,bagaimana awak bisa tahu?" Alin keheranan,"mungkin aromaku telah disampaikan angin pada awak sehingga awak mencium kehadiranku."
Yuli terkekeh mendengar perkataan Alin, baginya Alin memang pandai berkata-kata.
"Itu yang membuat aku tahu kalau Ocon sudah tiba di Kampung," tunjuk Yuli kearah tarub.
Alin mengikuti arah jari lentik Yuli, namun yang dilihatnya hanya orang-orang yang asik bernari ria.
"Apanya?" tanya Alin kebingungan.
Yuli kembali terkekeh, dia merasa senang melihat Alin kebingungan.
"Itu Ojok Abdul yang lagi berjoged," terang Yuli setelah puas dengan tawanya.
"Lalu apa hubungannya?" kejar Alin.
"Ah, masih tidak mengerti juga rupanya," sahut Yuli,"kalau Ojok sudah berada di kampung ini pastinya Ocon juga sudah berada di kampung ini."
Alin mengangguk kecil, barulah pemuda itu paham maksud gadis itu, gadis yang cerdas pikirnya.
"Makanya tadi aku keluar dari ruang dalam," kembali suara lembut Yuli terdengar,"sewaktu aku lihat mereka yang bernari ternyata di sana juga ada Ojok, jadi aku putuskan kehalaman mencari Ocon."
"Kenapa yakin di halaman?" Alin menatap Yuli,"bisa saja aku tidak datang di sini atau berada di tarub itu pula."
"Perasaan aku kuat kalau ocon pasti datang pula di sini, dan benarkan?" Yuli tersenyum puas,"pastinya Ocon tidak akan ke tarub itu, mana pernah ocon berjoged seperti Ojok."
"Ya lah, aku kalah," Alin tersenyum.
"Selama ini aku kan selalu menang," balas Yuli ikut tersenyum.
"Hei, bukankah itu Nova dan Eli?" tunjuk Gepeng ke arah depan, sekitar tiga meter dari tempat mereka duduk.
"Amboi, sekarang kampung kita dipenuhi gadis-gadis cantik," Pardi menatap dengan kagum kepada kedua gadis di depannya.
Nova dan Eli adalah kakak beradik, mereka juga bersekolah di kota, saat ini Nova duduk di bangku SMA, sedangkan Eli baru saja menerima kelulusan dan akan melanjutkan ke SMA seperti kakaknya, Nova.
Kalu Nova, Alin sering bertemu dengan gadis itu di sekolah, Nova yang kala itu adik kelas Alin sering saling sapa, apalagi Nova bergaul akrab dengan Nia sepupu Alin. Bahkan di luar sekolah Alin kerap bertemu dengan Nova, namun tidak dengan Eli, terakhir Alin melihat gadis itu ketika masih SD, Alin yang sedang pulang libur beberapa tahun silam melihat Eli hanya bocah yang masih kental dengan sikap kekanakan.
Cukup lama Alin terpaku menatap gadis remaja itu, gadis yang baru saja tumbuh menyatakan keelokan rupanya, menyatakan keindahan fisiknya seperti mawar yang baru mekar walau masih malu-malu. Tiba-tiba saja Alin merasa lengannya seperti digigit semut, gigitan kecil tapi terasa sakit dan menyadarkannya.
Alin meringis kesakitan, rupanya lengan pemuda itu dicubit Yuli. Alin menatap gadis itu, meminta penjelasan atas perbuatannya.
"Apa yang awak lakukan, sakit!" Alin meringis.
"Makanya , kalau orang ngomong didengar," sahut Yuli ketus.
"Memangnya awak ngomong apa? perasaan dari tadi kita ngomong dan aku dengar," Alin membela diri.
"Iya sebelumnya," sahut Yuli masih dengan ketus,"sebelum Ocon lihat mereka."
"Lihat apa?" tanya Alin bingung.
"Ah, sudahlah. Malam sudah larut aku ingin tidur," jawab Yuli hendak berdiri.
Alin meraih lengan Yuli, menahan gadis itu yang hendak meninggalkannya.
"Aduh ada yang merajuk," ledek gepeng tersenyum melihat tingkah Yuli.
"Siapa yang merajuk," hardik yuli," lepaskan tanganku!"
"Sudahlah jangan dibahas lagi," Alin menengahi,"kita kan baru saja ketemu, marilah kita berbincang-bincang lebih lama lagi."
"Seleraku sudah hilang," sahut Yuli dengan menundukan wajah ayunya,"lagian aku sudah mengantuk."
Gepeng kemudian menyela,"biasanya juga sampai ayam berkokok baru awak pulang."
"Cukup Peng, jangan memanasinya lagi!" kata Alin pada Gepeng.
Gepeng tersenyum, menahan geli dalam hatinya.
Sementara Yuli, gadis belia itu masih menunduk dalam. Wajahnya terasa memerah, cukup lama gadis itu menenangkan perasaanya, setelah merasa tenang gadis ayau itu mengangkat wajahnya.
"Makanya kalau aku ngomong dengarkan," suara Yuli terdengar manja.
Alin tersenyum menatap gadis itu,"iya, maafkan aku ya!"
Mereka kembali tenggelam dalam obrolan, berbagai hal yang mereka bahas. Salah satunya kembali mengenang kepulangan Alin beberapa tahun silam, bersama dengan Yuli dan adik gadis itu pergi ke hutan mencari berbagai buah hutan, termasuk menunggu buah durian yang akan jatuh ketika angin ribut datang.
Sela-sela itu mata Alin seperti mencari sesuatu, namun matanya tidak dapat menemukan yang dicarinya, kedua gadis kakak beradik itu sudah menghilang dari tempatnyanya semula, mungkin sudah kembali atau pergi ke tempat lain.
Semenjak malam itu Alin selalu mengajak Yuli pergi bersama setiap keluar, atau sekedar berjalan-jalan mengitari desa kelahirannya, diantaranya ikut pula membantu persiapan resepsi pernikahan abang Alin di kesiaman memepelai wanita. Mereka begitu akrab, dimana Alinn berada, maka Yuli pun berada di sisinya, hingga riak-riak suara sampai pula di telinganya. Beberapa pemuda atau pemudi di kampung itu menyatakan bahwa Alin menjalin hubungan istimewa dengan Yuli, namun baik Alin maupun Yuli tidak mengubris riak-riak itu, mereka menjalani hari mereka seperti semula, kedekatan mereka lebih berharga dari pada harus mendengar prasangka orang kampung.
Hari pernikahan abang Alin pun sudah dekat, sehari sebelum hari besar pernikahan abangnya itu, sebuah adat harus harus dilewati terlebih dahulu. Orang kampung menyebutnya dengan majang. Pada hari itu pun disediakan perjamuan namun hanya orang-orang tertentu saja yang diundang, para tetua kampung adalah orang-orang yang wajib diundang.
Majang harus diadakan ditempat resepsi, bearti acara itu dilaksanakan di kediaman mempelai wanita sebagai pemangku hajat, acara itu dilaksanakan pada waktu wayah pasar temawon kata orang jawa, atau dimulai sekitar pukul delapan. Adat yang harus dilalui adalah para undangan melakukan ritual di banjar atau tarub, tetua kampung membacakan kidung memuji Nabi akhir zaman, kemudian memotong beberapa helai rambut mempelai wanita, setelah itu oleh indung pengentin, gigi mempelai wanita bagian depannya diratakan dengan menggunakan kikir. Acara majang dianggap selesai diakhiri dengan makan-makan.
Pada hari majang, teknik penyajian makanan tidak boleh secara persmanan kecuali hari puncak besok. Penyajian yang wajib dilakukan mereka namakan saprah, penyajian dengan cara saprah mempunyai teknik yang sedikit unik, seorang lelaki paruh baya ditunjuk sebagai kepala saprah. Orang ini bertugas menggelar kain panjang sepanjang tarub sehingga para tamu saling berhadapan. Setelah itu anak buahnya bertugas mengantarkan nampan yang berisikan lauk pauk yang disimpan dalam mangkuk, pada satu nampan terdapat satu bakul nasi dan empat piring, ini bearti untuk satu nampan boleh disantap empat orang. Setelah penghulu membacakan doa, sang pemilik hajat mempersilakan tamu untuk menimati hidangan, barulah para undangan menikmati jamuan itu.
Lain halnya dengan kesibukan di rumah mempelai laki-laki, atau di rumah orang tua Alin. Mereka menyiapkan acara ijab kabul pernikahan yang di selenggarakan di kediaman mempelai lelaki. Para tetangga ikut menyibukan diri membantu persiapan di rumah abang Alin, di sana pun Yuli bersama teman sebayanya ikut pula meyibukan diri dengan urusan dapur. Memang tidak ada makanan berat yang disediakan, mereka menyiapkan kue basah atau baulu yang dikenal oleh mereka dengan sebutan kue besar.
Matahari mulai turun ketika kesibukan di rumah orang tua Alin nampak sedikit surut, mereka yang berada di dapur hanya menggiris kue basah itu menjadi potongan kecil yang kelak akan dihidangkan pada tamu. Alin yang tidak mempunyai kesibukan mengajak Yuli menonton pertandingan sepak bola di lapangan dekat sekolah dasarnya dulu, namun gadis itu menolak karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, Yuli berjanji jika masih punya waktu dia akan menyusul Alin ke lapangan besar tempat pertandingan sepak bola itu berlansung.
Bersama Gepeng dan Pardi, Alin menyusuri jalan utama kampungnya menuju lapangan besar, jarak rumahnya dengan lapangan itu tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima menit mereka telah sampai di tepi lapangan itu. Dari kejauhan Alin dapat melihat pemuda-pemuda kampung asik memainkan kulit bundar itu, jual beli serangan pun terjadi, tidak ketinggalan Pardi dan Gepeng pun ikut dalam permainan itu menggantikan pemain yang nampak keletihan.
Suara riuh terdengar, ketika sebuah gol tercipta. Rupanya Abdul, abangnya Alin memasukan sebiji gol ke gawang lawan. Abdul memang gemar memainkan kulit bundar itu, teknik yang dimainkannya pun cukup baik, bahkan Abdul sering ikut mewakili desa jika turnamen tujuh belasan di kecamatan, dulu sekali ketika abang Alin itu masih aktif di kampung pernah membawa nama harum di kecamatan, tim Tenguwe pulang dengan status juara.
Di tepi lapangan tidak hanya mereka kaum adam yang menonton, para gadis pun ikut menyaksikan pertandingan itu. Pandangan Alin terhenti pada kedua gadis yang berada di kaki tangga bangunan SD, diantaranya juga beberapa gadis sibuk bertepuk tangan memberi semangat pada pemuda-pemuda kampung. Dengan sedikit ragu Alin melangkah mendekati kedua gadis itu, pada akhirnya pemuda itu sudah berdiri di depan keduanya.
"Eh, Kak Alin," sapa gadis yang dikenal Alin dengan baik.
Nova yang juga teman akrab sepepunya itu memang memanggil Alin dengan berbeda, tidak seperti warga kampung. Mungkin karena terbiasa dengan adik-adik sepupu Alin yang memanggilnya dengan kakak.
"Sudah lama di sini Va?" tanya Alin, kemudian duduk di samping gadis itu.
"Sejak pertandingan dimulai," sahut Nova tersenyum.
Mereka kembali fokus pada pertandingan, suara riuh pun terdengar setelah Gepeng yang bertindak sebagai penjaga gawang mampu memblok tendangan keras Abdul.
"Kak Abdul mainnya bagus ya Kak," ucap Nova tanpa mengalihkan pandangannya ke lapangan.
"Ya, begitulah. Ojok memang sudah lama bermain bola, dari SD malahan," jawab Alin.
"Kak Alin kenapa tidak ikut main?" tanya Nova tersenyum, kali ini gadis itu menatap Alin,"tidak suka sama bola ya?"
Alin tersenyum,"kalau masalah suka jangan ditanya, tentu aku menyukai sepak bola, tapi hanya sebatas menonoton dan melihat perkembangannya," jawab pemuda yang menggilai club ibu kota Spanyol, Real Madrid.
Nova hanya mengangguk tersenyum dan kembali menepukan tangannya, memberi semangat pada seorang striker yang melaju dengan kencang, namun sayang tendangan pemuda itu melenceng sebelah kiri. Gadis yang baru saja naik ke kelas sebelas itu mengentikan tepukannya, dan kembali menoleh pada Alin yang serius melihat jalannya pertandingan, suara Nova segera mengalihkan pandangannya pemuda itu.
"Kak Alin masih ingat denga Cici?" tanya Nova.
Sejenak Alin mengerutkan dahinya, berikutnya kerutan di dahinya mengurai pertanda dia mengingat nama yang di sebutkan Nova.
"Gadis yang sering bersama kalian di sekolah?" Alin meyakinkan ingatannya.
Nova mengangguk, membenarkan pertanyaan Alin.
"Dia masih sering meminta aku atau sama Kak Nia menyampaikan salamnya pada Kakak," ujar Nova.
"Oh ya, terus apalagi?" sahut Alin.
"Padahal dia kan cantik Ka, tapi sayngnya Kak Alin tidak meresponnya makanya aku sama Kak Nia jadi malas meyampaikan salamnya," celoteh Nova.
Alin tersenyum, dia bukannya tidak merespon atau mengulurkan salamnya pula namun rasa mindernya mengalahkan niat hatinya untuk mendekati gadis-gadis, karena itulah Alin lebih menghindar dan menjawab sekenanya saja jika Nova atau adiknya sepupunya menyampaikan salam gadis yang dimaksud Nova.
"Kak, aku kebelakang sebentar ya," ucap Nova seraya berdiri,"oh ya, jagakan adiku tapi awas jangan nakal soalnya dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis."
Nova tersenyum, kemudian beranjak menuju kamar kecil SD kampungnya itu.
Sementara gadis yang berada di sebelah Alin tersipu malu, wajahnya memerah. Gadis itu menyesalkan ucapan kakaknya, ingin rasanya dia mencubit kakaknya itu. Yang bisa dilakukannya hanya menunduk dalam.
"Yang baru menjadi gadis ini ternyata pendiam," goda Alin menatap gadis di sampingnya," sedari tadi hanya diam, bertepuk tangan pun tidak."
Gadis yang bernama Ely itu tidak menjawab, dia masih menunduk sambil memainkan sepotong ranting, entah gambar apa saja yang dilukisanya di tanah, bisa jadi gambaran hatinya yang tidak menentu. Ingin rasanya dia meninggalkan kaki tangga itu dan menceburkan wajahnya pada air yang dingin, terasa panas wajahnya menahan malu.
Selang berikutnya Ely bersyukur, kakaknya sudah kembali dari kamar kecil. Namun mendadak wajahnya kembali memerah setelah mendengar perkataan ayahnya.
"Hei, Kak Alin berbuat apa sampai adiku yang manis ini bermerah muka," ucap Nova mengelus pundak adiknya itu.
Alin terkekeh, pemuda itu pun ikut memandang Eli, namun Alin tidak berhasil menatap wajah Eli yang menunduk semakin dalam.
Alin seperti mendapatkan mainan baru, pandangannya dialihkan pada Nova.
"Va, kelak kalu sudah di rumah, sampaikan salamku pada adik awak yang kini sudah gadis," kata Alin setengah berbisik, namun dia yakin Eli pun mendengar perkataanya.
Nova seperti mengerti maksud Alin, ikut pula tertawa.
"Ini orangnya Kak, hanya dia adiku yang sudah menjadi seorang gadis," kata nova,"yang lainnya masih balita."
Eli yang tertunduk diam semakin kesal dengan ulah kakaknya itu, ingin rasanya dia mencubit lengan kakaknya itu dengan sekuat-kuatnya, tapi tentu saja tidak dapat dilakukannya sekarang, pastilah dirinya akan menjadi bahan olokan yang sangat empuk kalau sampai dilakukan.
"Sudah Kak," kata Nova menghentikan tawanya,"kasian adikku kalau Kak Alin serius datang dan sampaikan lansung padanya."
"Oh ya,"sahut Alin,"jadi kakaknya memberikan ijin?"
"Asalkan serius," jawab Nova sekenanya.
Sementara itu Eli masih menahan malu, seluruh permukaan wajahnya benar-benar terasa panas, gadis itu berharap malam segera datang dan permainan sepak bola yang sudah lama tidak diperhatikannya lagi itu segera berakhir, tangannya masih mengais tanah dengan ranting yang kini semakin pendek setelah beberapa kali patah oleh tangannya yang menekan ranting itu semakin kuat.
Harapan Eli benar-benar tercapai, permainan di depannya pun sudah berhenti. Langit sebelah barat kini semakin meredup, perlahan penerang bumi itu semakin menenggelamkan dirinya menuju belahan bumi yang lain.
Alin pun berpamitan, dan bergegas meninggalkan kaki tangga SD itu, bersama Gepeng dan Pardi yang keletihan, mereka berbalik menuju kediaman Alin.
Tidak ada yan tahu, di pojok sekolah paling kanan seorang gadis menatap tubuh Alin yang menghilang pada pertikungan jalan, sorot matanya menunjukan rasa kecewa, matanya pun berpaling pada kedua gadis yang dikenalnya kakak beradik bergandeng tangan meninggalkan kaki tangga itu pula, serasa dadanya sesak. Sebuah rasa asing yang selama ini belum pernah dikenalinya.
Malam kini benar-benar sudah datang, bulan sabit menyembul diantara bintang yang tersenyum manis menatap keindahan malam. Suara malam pun bersahutanmenyambut kedatangan malam yang tentu mereka dambakan. Di tanah yang tergenang air suara katak bersiul renda saling sapa, mungkin sudah tiba musimnya perkawinan, sehingga katak jantan nampak lebih beragresif memilih betinanya.
Begitu pula dengan kehidupan manusia, tepatnya di desa kelahiran Alin. Desa Tenguwe yang terletak di daerah perbukitan, desa itu cukup unik, desa induk itu merupakan satu-satunya desa yang bersuku kan Melayu, sedang di sekitarannya adalah kampung suku Dayak. Kehidupan warganya yang mayoritas bertani itu terlihat akur dengan desa lainnya, mereka orang Dayak menyebut orang Tenguwe dengan sebutan orang laut, sedangkan orang Tenguwe menyebut mereka orang darat. Mereka hidup seperti saudara, apalagi orang Dayak menyebut orang-orang kampung tenguwe sabagai saudara muda mereka.
Warga desa Tenguwe memilih bulan-bulan ini masa menyelenggarakan hari besar, seperti menyelenggarakan resepsi pernikahan, Musim banyi atau panen baru saja usai, sehingga tabungan beras warga melimpah, bertepan pula dengan musim libur sekolah sehingga beberapa putra-putri desa Tenguwe yang bersekolah di kota kembali ke desa untuk berlibur, begitu pula dengan warga Tenguwe yang sudah menetap di kota dapat ,eluangkan waktunya untuk menghadiri pernikahan sanak kerabatnya.
Tidak hanya abang Alin yang menyelenggarakan hari besarnya, beberapa pekan sebelumnya sudah tiga pasang yang meresmikan ikatan suci, termasuk paman mudanya. Bahkan selang beberapa pekan kemudian dua pasang sudah siap menanti hari bahagia mereka.
Selepas Isya, para tamu undangan sudah memenuhi rumah kediaman orang tua Alin, nampak paman dan bibi Alin yang berada di mulut pintu memberikan penyambutan pada tamu yang sudah datang. Suara anak kecil pun ikut memeriahkan malam itu, dengan diterangi lampu dengan mesin genset acara akad nikah itu siap dilaksanakan.
Dengan setelan pakaian kebesaran bak seorang raja yang akan naik tahta, abang Alin yang sering dipanggil Ayon Udang itu duduk bersila di hadapan penghulu. Acara pun dimulai dengan untaian ayat suci yang mengalun indah dari bibir paman ketiganya, Pak Andeng Bujang. Suara lelaki paruh baya itu memang sangat indah, bahkan suara katak yang tadinya bergemuruh, kini senyap seperti ikut mendengarkan untaian kalimat Tuhan itu.
Ijab kabul pun terdengar lantang dari bibir Ayon Udang, hanya dengan satu kali hisapan nafas Ayon Udang kini resmi menyandang suami dari gadis pilihan hatinya.
Setelah janju suci itu terlaksana, seorang bilal membaca doa meminta harapan pada Tuhan baik untuk kebahagian mempelai maupun seluruh tamu yang datang di acara itu. Berikutnya para tamu di persilakan menyicipi kue basah yang telah di sajikan oleh keluarga bedar Alin.
Setengah jam setelahnya, para tamu akan di sibukan untuk mengiringi mempelai lelaki menuju kediaman mempelai wanita, orang kampung menyebutnya dengan arak-arakan. Ayon Udang akan menaiki tandu, yang dipikul delapan orang, masing-masing emapat orang baik di belakang maupun di depan. Kediaman orang tua Alin dan mempelai wanita cukup jauh, sekitar satu kilometer apalagi dengan beban dan iringan yang ramai tentu membuat perjalanan menjadi lamban. Dengan memuji nama Tuhan, iringan itu terus bergerak mendekati kediaman mempelai wanita yang sudah siap menunggu kedatangan suaminya.
Sementara itu kediaman mempelai wanita telah berkumpul warga menyaksikan raja dan ratu sehari semalam itu. Mereka berdesakan menunggu keduanya di sandingkan. Suara letupan terdengar keras, bukanlah ketakutan yang menyelimuti para warga namun sebaliknya, wajah mereka semeringah menandakan penantian mereka telah usai dan saatnya menyaksikan yang di tunggu-tunggu.
Suara itu berasal dari senapan lantak, yang biasanya warga gunakan untuk berburu kijang atau rusa di hutan. Suara itu menandakan bahwa pengantin lelaki sudah dekat, memberi petunjuk kepada mempelai untuk segera duduk di pelaminan menunggu kedatangan suaminya.
Demikianlah, ayah dari mempelai wanita kemudian membopong putrinya dan mendudukan anaknya itu di kursi pelaminan. Sang mempelai wanita pun duduk dengan anggun menunggu kedatangan suaminya. pakain kebesaran bak seorang ratu nampak serasi dengan tubuhnya yang semampai.
Di sekitaran perkarangan terdengar suara gendang berirama dengan senandung memuji kebesaran Tuhan. Itulah pertanda bahwa mempelai lelaki sudah benar-benar datang. Sang juru penyambut iringan membungkuk hormat pada pemimpin arak-arakan itu, setelah saling sapa dan mengangkat air yang mereka kenal air arak-arakan itu sang mempelai lelaki dipersilakan bersanding bersama istrinya.
Inilah yang ditunggu-tunggu warga desa, momen yang membuat mereka menahan nafas dengan sunggingan senyuman, bagi mereka yang tealh berusia akan mengenangkan kembali saat-saat di pelaminan, bagi yang muda-muda berharap akan melakukan hal yang sama jika kelak menemukan pujaan hati.
Ayon Udang tersenyum tersenyum menatap wanita yang kini sah menjadi istrinya, hampir satu purnama lamanya Ayon Udang tidak melihat wanita kekasih hatinya, rasa rindunya sudah menggunung, seperti lahar yang siap menumpahkan kerinduannya. Begitulah adat di Kampung Alin, mempelai wanita harus berada di dalam rumah untuk menjalani berbagai ritual, termasuk mempercantik diri. Mempelai wanita tidak diperkenankan keluar rumah, apalagi berjumpa dengan calon suaminya.
Sang mempelai wanita tersenyum menyambut kedatngan suaminya, rona merah meliputi wajahnya yang berhiaskan manik-manik. Tangannya lembut meraih tangn suaminya dan mencium tangan kekar suaminya itu. Ayon Udang pun kemudian kening istrinya, maka terdengarlah suara riuh dan tepuk tangan hingga keduanya duduk di kursi pelaminan menatap warga yang menyaksikan di luar tarub.
Alin yang bertugas, mengambil gambar sibuk memotret kedua mempelai dari luar banjar, suara tetua yang memuji kebesaran Tuhan terus menggem, di iringi adat yang kembali dilalui kedua pengantin. Satu persatu tetua yang dianggap sesepuh kampung menyuapkan nasi ketan yang di simpan dalam wadah yang disebut Puan. Pada Puan itu terdapat sembilan butir telur rebus yang ditusuk dengan bilah bambu di potong kecil-kecil, biasanya ketika Alin masih anak-anak akan berebut mengambil telur itu bersama anak-anak lainnya, momen-momen seperti itulah diabadikan Alin pada kameranya.
Setelah acara adat itu yang memakan waktu hamipr satu jam lamanya, barulah diadakan acara pertunjukan kesenian sambil menikmati kue basah dan minuman. Anak-anak kampung sebelumnya mengikuti pelatihan tarian khas adat melayu, tarian itu mereka namai Japin. Kemudian oleh tetua, anak-anak yang dianggap sudah mahir akan mempertunjukan kemampuannya pada acara besar kampung, termasuk di malam resepsi pernikahan.
Semasa dulu Alin bersama abangnya, Abdul pun mengikuti pula pelatihan tarian Japin, beberapa kali sebelm melanjutkan sekolahnya di kota Alin mengisi acara sisetiap warga yang menyelenggarakan resepsi pernikahan. Di sela-sela menyaksikan tarian itu Alin mengedarkan pandangannya, mencari gadis ayu yang sedari tadi belum dijumpainya. Alin bahkan sudah mampir terlebih dahulu di kediaman Yuli, menurut adiknya, kakaknya itu sudah meninggalkan rumah selepas magrib.
Alin pun menanyakan keberadaan gadis itu pada Pardi dan Gepeng, tapi keduanya pun menggeleng, oleh Alin keduanya diminta mencari keberadaan Yuli dan segera memberikan kabar jika melihat keberadaanya.
Di dalam tarub pertunjukan tarian Japin pun sudah usai. Tiga bentuk jenis tarian dipertunjukan, yang pertama langkah bunga seribu, kemudian tongkat berlawanan dan terakhir sarang laba-laba. Biasanya sarang laba-laba itulah yang menarik perhatian warga, tujuh anak menari di depan pengantin yang diiringi alat musik yaitu gambus dan taar, langkah mereka sesuai dengan alunan musik itu bersama syair pantun yang disenandungkan tetua. Ketujuhnya bergerak dengan tali rupia di tangan hingga tali temali itu membentuk sarang laba-laba.
Acara malam itu belumlah usai, sepasang pengantin itu kemudian dimanjakan dengan pertunjukan silat yang juga diiringi musik dan syair pantun. Mulai dari satu orang hingga pasangan-pasangan pergelaran seni itu di perlihatkan.
Malam sudah melewati puncaknya, embun pun mulai berjatuhan di daerah perbukitan itu. Acara pertunjukan seni pun usai, jam tua yang menggantung di ruang dalam menunjukan pukul dua belas lewat. Namun keramaian belumlah usai, terlebih anak muda yang terlihat berlalu lalang si sekitar tarub resepsi. Acara fhoto keluarga adalah sesi berikutnya, di sertai salam-salam dari kerabat mengucapkan selamat pada kedua mempelai, mereka pun menyelipkan amplop yang berisi duit seikhlasnya dan di simpan dalam tempayan berukuran sedang yang sudah dihiasi. Tempayan itu di letakan di sisi mempelai, baik mempelai lelaki maupun wanita.
Acara itu tidaklah terlalu lama, panitia hanya membatasi tiga puluh menit saja, acara fhoto dan pengucapan salam selamat dapat dilanjutkan besok siangnya. Maka selesailah acara malam pelaminan, berikutnya anak muda melanjutkan tradisi mereka, yaitu berjoged dengan diiringi musik disco, tidak hanya pemuda-pemuda kampung, para gadis remaja pun larut dalam musik nan erotis.
Sementara itu Alin duduk-duduk bersama adik sepupunya, Nanda. Mereka bersantai ria sambil menikmati kue basah dan minuman manis. Nova dan Eli juga hadir bersama Alin, kakak beradik itu adalah sepupu Nanda, sehingga Nova dan adiknya itu mempunyai ikatan tali kekerabatan dengan Alin. Ibunya Nova adalah kakak dari ibunya Nanda, sedangkan ibunya Nanda adalah istri paman Alin yang ketujuh atau yang sering dipanggilnya Pak Ojok Rubai.
Memang begitulah kebiasaan warga kampung Tenguwe, semua warga mempunyai hubungan kekerabatan, bahkan untuk semakin mengikat kekerabatan lebih erat tidak jarang antara sepupu saling menikah, yang penting tidak melanggar hukum agama. Mereka lebih memilih menikahi pemuda atau pemudi kampung jika orang luar datang meminang, menurut mereka orang luar belumlah tahu bebet, bobot dan asal muasal keluarganya, sedangkan orang kampung sendiri, tentu mereka mengetahui tabiat dan kelakuan terlebih lagi asal muasalnya.
***
awak= kamu.
"Lalu bagaimana dengan awak, bukankah ini barang kesayangan awak, Jok?" Tanya Alin.
Abdul tersenyum,"aku tidak membutuhkannya, awaklah yang membutuhkannya."
"Aku masih tidak mengerti," Alin kebingungan.
"Berita itu juga sudah sampai di sana,"Abdul berkata sambil menatap ilalang yang dipermainkan angin,"dua pekan lagi Bapak dan Emak akan hilir."
Alin sudah menduga abangnya itu pastilah sudah mendengar kabar kelulusannya, tentu saja mulut para pedagang yang sering hilir mudik dari kampunglah yang mengabarkan pada orang kampung, termasuk bapak dan emaknya.
Lanjut Abdul,"untuk itulah, awak lebih memerlukan barang itu daripada aku."
Alin menatap wajah Abdul, walaupun senyuman abangnya itu tulus namun kesenduan terlihat dari pancaran mata abangnya. Alin mengerti dengan perasaan Abdul.
Sebenarnya abangnya itu pun ingin pula bersekolah ke perguruan tinggi, namun dirinya menyadari bahwa ekonomi keluarganya tidak mendukung. Setelah tamat dari bangku SMA sebulan yang lalu, Abdul pun menyatakan keinginannya itu pada Alin.
"Suatu saat aku akan bersekolah ke perguruan tinggi," kata Abdul kala itu,"aku akan bekerja kemudian duitnya aku tabung untuk biaya masuk ke perguruan tinggi."
Saat ini pun Abdul sudah bekerja, walaupun bekerja di warung bibinya sendiri, bibinya pun berjanji akan memberikan upah setiap bulannya asalkan Abdul bekerja dengan serius.
Bahagia sekaligus hampa, begitulah perasaan Abdul mendengar kabar kelulusan Alin. Sebagai seorang abang tentu dirinya senang melihat adiknya meraih impiannya untuk bersekolah hingga ke perguruan tinggi, namun sebagai diri pribadi, orang yang lebih tua serasa dirinya dikalahkan oleh adiknya sendiri. Bahkan dalam keluarganya, sepupu-sepupu yang sepantaran pasti akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Paman dan bibinya orang yang cukup berada tentu dapat menyekolahkan anak-anak mereka.
Sudah pasti, hanya dirinya yang tidak melanjutkan. Entah bagaimana masa depannya kelak, disaat adik dan sepupunya meraih kesuksesan mungkin dirinya hanya menjadi penonton dan meneguk liur yang tentu pahit terasa.
"Lebih baik awak simpan saja telepon ini," Alin menyodorkan kembali telepon genggam milik abangnya itu.
"Ah, awak ini," Abdul tersenyum,"seperti awak mampu saja beli telepon. Ulak, Andeng atau pun Apit tidak akan membekali awak telepon, lalu kelak bagaimana jika awak rindu dengan Emak."
Sejenak Abdul terdiam, matanya tidak melepaskan pandangannya pada Alin.
"Simpanlah, anggap saja kenang-kenangan dariku," lanjut Abdul.
Alin menunduk dalam menatap bumi,"baiklah, terimakasih Jok. Sudah pasti akan aku jaga barang dari awak ini."
"Aku pulang dulu," Abdul berdiri,"kalau sempat, nanti malam aku akan kesini."
Alin mengangguk, mengantarkan abangnya itu sampai ke teras. Tidak lama kemudian, Abdul melaju dengan motor bebek milik bibinya.
Abdul memang sudah lama tinggal di tempat bibinya atau iyangnya. Iyang adalah sebutan untuk adik ibu atau adik ayah yang perempuan sedangkan untuk sebutan paman akan dipanggil pak disusul urutan dalam keluarga. Misal pak Ojok, itu bearti paman yang ketujuh.
Malam sudah larut, bulan sepotong nampak menggantung di langit biru. Alin masih duduk di teras kediaman abang ketiganya itu, lampu teras sudah lama dimatikan. Baru saja Akbar berkunjung ketempatnya, abangnya, Abdul tidak dapat menemuinya malam itu, pekerjaan di warung memaksa abangnya itu bekerja hingga larut, selain sembako warung bibinya juga menyediakan tempat biliyar dan game playstation, sehingga Abdul harus melayani para pelanggan, apalagi jika pelanggan meminta minuman dan mie rebus, tentunya membuat Abdul tidak dapat meninggalkan warung bibinya.
Dua gelas kopi masih tergeletak di atas meja, bahkan asbak di sampingnya masih terlihat asap mengepul bekas puntungan rokok sepupunya itu.
Alin pun sudah lama menghisap asap beracun itu, pergaulannya mengenalkan Alin pada tembakau. Ibu dan Ayahnya seringkali menegur ataas kebiasaan buruk Alin, hanya abangnya yang paling tua yang tidak mengetahui kebiasaan Alin. Mereka sengaja menutupi kebiasaan buruk Alin pada abangnya yang tertua, emosi abangnya yang sering kali meledak-ledak memaksa mereka menutupi kebiasaan Alin, yang bisa mereka lakukan hanya mengingatkan Alin bahwa selain merusak kesehatan, tembakau itu juga membuat keungan menjadi buruk.
Alin sepertinya sudah kecanduan, walaupun sudah diperingatkan namun tetap saja bibirnya menghisap asap beracun itu, menurutnya tembakau itu dapat menenangkan perasaan dn pikirannya.
"Alasan saja," kata ibunya ketika Alin memberikan alasannya menghisap tembakau itu,"kalau ingin tenang harusnya awak itu sholat, dekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa!"
"Tidur Lin!" Terdengar suara kakak iparnya dari dalam.
"Iya Kak, sebentar lagi," sahut Alin.
"Besok jam berapa pertemuan itu?" tanya kakak iparnya, wanita berprofesi bidan itu sudah berdiri di mulut pintu rumahnya.
"Jam sembilan Kak," Alin menoleh pada kakak iparnya.
Kembali kakak iparnya itu bertanya,"sudah awak kabarkan pada Andeng?"
Alin mengangguk tersenyum.
"Ya sudah sana tidurlah, jaga kesehatan awak itu!" kakak ipar Alin itu kembali masuk.
Setelah puas menatap langit malam, Alin beranjak meninggalkan teras. Tangan kanannya menjinjing dua gelas bekas kopi dan tangan kirinya membawa asbak yang isinya sudah dibuang ke tempat sampah depan teras.
Sampai di tempat tidur, mata Alin belum terpejam, angannya melayang pada gadis desa kelahirannya. Gadis itu masih belia, umurnya jauh dibawah. Sebenarnya gadis itu masih mempunyai tali kekerabatan dengannya namun gadis inilah yang ternyata telah memikat hati anak muda itu.
Sebagai seorang remaja Alin tentu mempunyai ketertarikan dengan gadis-gadis yang berparas elok, selama ini Alin belum pernah sama sekali pun menjalin hubungan dengan gadis-gadis. Beberapa gadis yang berparas elok selama ini hanya dikagumi tanpa dapat berbuat banyak. Pemuda yang beranjak dewasa itu mempunyai kepribadian pemalu, ekonomi keluarganya yang pas-pasan membuatnya minder untuk mendekati gadis-gadis yang dikaguminya.
Menurut Alin, kasihan jika gadis-gadis itu bersamanya. Tentu gadis-gadis yang dekat dengannya tidak akan bahagia, paling tidak memberikan rasa nyaman. Bagaimana bisa nyaman jika bersamanya, kendaraan saja Alin tidak punya, selama ini Alin meminjam punya abang-abangnya jika harus berpergian, itupun kalau abangnya sedang tidak memakai sepeda motor itu. Nah jika berhubungan dengan gadis di kota itu paling tidak harus punya kendaraan sendiri untuk berpergian, sedangkan kendaraan umun sangatlah minim, atau boleh dibilang jarang ada.
Selain itu Alin pun tidak mempunyai cukup uang saku jika berjalan dengan gadis-gadis, Alin tahu gadis-gadis yang berada di kota kecil itu tentu mengharapaakan lelaki yang mampu mencukupi kebutuhannya sebagai seorang kekasih. Dengan alasan itulah selama ini Alin tidak pernah berani mendekati gadis-gadis, baik di sekolahnya maupun di sekitar lingkungan tempatnya tinggalnya.
Sebenarnya wajah Alin cukup elok dipandang mata, walaupun hidungnya tidak terlalu mancung namun pipi kanannya yang berhiasakan lesung pipit menambah daya tarik atas dirinya, serta dagu yang berbelah membuat wajahnya mempunyai keistimewaan tersendiri. Bukannya tidak ada gadis-gadis yang kepincut dengan pemuda itu, hanya saja gadis-gadis merasa tidak sopan jika harus mendekati pemuda itu terlebih dahulu, pemikiran Alin yang sempit membuatnya membatasi dirinya dengan gadis-gadis.
Beberapa pekan yang lalu, keika Alin kembali ke Tenguwe, desa kelahirannya untuk menghadiri pernikahan abangnya yang kelima. Ayon Udang begitulah dia memanggil abangnya itu. Seluruh keluarga besarnya pun menghadiri pernikahan abangnya, neneknya yang sudah berusia lanjut pun diboyong ke desa asal muasal keluarga Alin, hanya beberapa sepupunya saja yang tidak ikut, beberapa dari mereka sedang mendaftarkan diri ke perguruan tinggi.
Satu minggu sebelum pernikahan abangnya, di kampungnya itu juga diadakan pernikahan paman mudanya, yang dipanggilnya dengan sebutan Pak Bas. Namanya yang sebenarnya adalah Bastami, beliau adalah putra dari adik almahrum kakek Alin, sehingga boleh disebut Bastami ini adalah paman sepupunya.
Pada malam persandingan paman sepupunya, Alin berkumpul bersama teman-temannya yang memang sudah lama tidak bertemu. Alin yang bersekolah ke kota membuatnya harus berpisah dengan teman-temannya yang memilih bekerja, dengan kata lain mereka tidak melanjutkan sekolah mereka. Waktu itu acara resmi sudah lewat, hanya acara anak muda saja yang tersisa, biasanya anak muda di kampung itu mengadakan acara joged yang diringi musik disco, sehingga lebih populer mereka menyebutnya ngedis. Acara itu memang banyak mendapatkan pertentangan, terlebih para tetua kampung, mereka menganggap acara tersebut acara yang menyesatkan dan melanggar norma adat istiadat kampung.
Bahkan pada pernikahan kakak Alin yang perempuan beberapa tahun silam, acara tersebut ditiadakan dan ditentang keras oleh paman Alin yang kala itu menjabat sebagai penghulu kampung, atau imam mesjid kampung. Hal ini pulalah yang membuat pamannya terusir dari kampung setelah dikecam sebagian warga yang menganggap paman Alin berpikiran kuno dan merusak kreativitas anak muda kampung.
"Awak tidak ikut ngedis, Lin?" Tanya Pardi, temannya.
Alin tersenyum kemudian menjawab,"aku tidak biasa ngedis, lagian aku malu."
"Ah, malu dengan siapa?" Celoteh Pardi,"mungkin awak takut kalau-kalau Pak Bujang Sumbing melihat awak dan menyeret awak dari sini."
Alin tersenyum, pemuda itu diam memilih tidak untuk menjawab. Alin bukannya tersenyum dengan oceha temannya itu, namun sebutan Pardi pada paman ketiganya yang sering dipanggilnya Pak Andeng. Paman Alin itu dulunya ketika masih menjadi pemuda memang mempunyai kelainan yang dibawa dari lahir hingga beranjak remaja, bibirnya sumbing. Syukurlah kemudian kesepakatan keluarga membawa pamannya itu kerumah sakit di kota dan menjalani penjahitan, bekasnya memang masih terlihat tapi kini bibirnya tidak lagi sumbing dan bicaranya pun tidak lagi gagu seperti dahulu.
"Wah. lihat Abdul lagi goyangin cewek!" Seru Gepeng, temannya yang lain sambil menunjuk ke arah tarub dimana terlihat Abdul asik berjoged dengan gadis kampung itu.
"Bukankah itu Oli?" tanya Pardi meyakinkan penglihatannya.
"Siapa lagi, kalau Abdul kan seleranya tinggi," sahut Gepeng mengiyakan.
Oli adalah kembang desa, gadis itu menjadi pusat perhatian para pemuda kampung. Tubuhnya yang semampai dengan badan yang berisi dan selaras dengan wajahnya yang bulat telur, serta kulitnya yang bersih putih menbuat gadis itu menjadi pujaan pemuda kampung. Bahkan tidak hanya kampung Tenguwe, pemuda kampung sebelah yang berdekatan dengan kampung Tenguwe pun memuja gadis itu, namun tentu mereka tidak berani menampakan secara terang-terangan, mereka menghormati pemuda Tenguwe yang merupakan desa induk di sekitar kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung Tenguwe.
"Ocon Alin," sebuah suara lembut menyapa,"kapan datang?"
Alin menoleh pada suara itu, tepat di sampingnya berdiri gadis berparas ayu. Gadis itu pun salah satu gadis yang menjadi pujaan pemuda kampung, walaupun kalah tenar dari Oli yang memang sering bergaul dengan pemuda-pemuda kampung.
"Eh, Yuli!" kata Gepeng balik menyapa.
Yuli, begitulah gadis belia itu dipanggil. Yuli masih mempunyai tali kekerabatan dengan Alin. Rumah mereka pun sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja belakangan ini Yuli menginap di rumah mempelai karena membantu menghiasi mempelai perempuan, sehingga tidak mengetahui kedatangan Alin dari kota.
"Kemarin Yul," sahut Alin,"kemana saja, kemarin aku ke tempat Nek Noor tapi awaknya tidak berada di rumah."
Sehari sebelumnya Alin memang ke tempat Yuli, mengantarkan kain yang akan dijahit untuk dikenakan abangnya dihari pernikahan. Nek Noor adalah nenek Yuli, beliau adalah istri dari adiknya almahrum kakek Alin, dan orang kampung sering meminta Nek Noor menjahit kain yang akan dipakai mempelai lelaki.
Yuli tersenyum, semakin nampak keayuan gadis itu sehingga menyihir Gepeng dan Pardi yang terpana dengan senyuman Yuli.
"Iya beberapa hari ini aku jarang pulang, membantu mendandani dan menyiapkan keperluan mempelai wanita," terang Yuli.
"Sini duduklah bersama kami!" Alin mempersilakan.
Yuli yang tadinya bersama ketiga temannya memisahkan diri, dan menempatkan diri untuk duduk di samping Alin. Kursi kayu yang mereka duduki cukup panjang sehingga cukuplah untuk berlima atau berenam orang.
"Aku sebenarnya sudah tahu pasti Ocon sudah datang," ucap Yuli masih tersenyum.
"Ah,bagaimana awak bisa tahu?" Alin keheranan,"mungkin aromaku telah disampaikan angin pada awak sehingga awak mencium kehadiranku."
Yuli terkekeh mendengar perkataan Alin, baginya Alin memang pandai berkata-kata.
"Itu yang membuat aku tahu kalau Ocon sudah tiba di Kampung," tunjuk Yuli kearah tarub.
Alin mengikuti arah jari lentik Yuli, namun yang dilihatnya hanya orang-orang yang asik bernari ria.
"Apanya?" tanya Alin kebingungan.
Yuli kembali terkekeh, dia merasa senang melihat Alin kebingungan.
"Itu Ojok Abdul yang lagi berjoged," terang Yuli setelah puas dengan tawanya.
"Lalu apa hubungannya?" kejar Alin.
"Ah, masih tidak mengerti juga rupanya," sahut Yuli,"kalau Ojok sudah berada di kampung ini pastinya Ocon juga sudah berada di kampung ini."
Alin mengangguk kecil, barulah pemuda itu paham maksud gadis itu, gadis yang cerdas pikirnya.
"Makanya tadi aku keluar dari ruang dalam," kembali suara lembut Yuli terdengar,"sewaktu aku lihat mereka yang bernari ternyata di sana juga ada Ojok, jadi aku putuskan kehalaman mencari Ocon."
"Kenapa yakin di halaman?" Alin menatap Yuli,"bisa saja aku tidak datang di sini atau berada di tarub itu pula."
"Perasaan aku kuat kalau ocon pasti datang pula di sini, dan benarkan?" Yuli tersenyum puas,"pastinya Ocon tidak akan ke tarub itu, mana pernah ocon berjoged seperti Ojok."
"Ya lah, aku kalah," Alin tersenyum.
"Selama ini aku kan selalu menang," balas Yuli ikut tersenyum.
"Hei, bukankah itu Nova dan Eli?" tunjuk Gepeng ke arah depan, sekitar tiga meter dari tempat mereka duduk.
"Amboi, sekarang kampung kita dipenuhi gadis-gadis cantik," Pardi menatap dengan kagum kepada kedua gadis di depannya.
Nova dan Eli adalah kakak beradik, mereka juga bersekolah di kota, saat ini Nova duduk di bangku SMA, sedangkan Eli baru saja menerima kelulusan dan akan melanjutkan ke SMA seperti kakaknya, Nova.
Kalu Nova, Alin sering bertemu dengan gadis itu di sekolah, Nova yang kala itu adik kelas Alin sering saling sapa, apalagi Nova bergaul akrab dengan Nia sepupu Alin. Bahkan di luar sekolah Alin kerap bertemu dengan Nova, namun tidak dengan Eli, terakhir Alin melihat gadis itu ketika masih SD, Alin yang sedang pulang libur beberapa tahun silam melihat Eli hanya bocah yang masih kental dengan sikap kekanakan.
Cukup lama Alin terpaku menatap gadis remaja itu, gadis yang baru saja tumbuh menyatakan keelokan rupanya, menyatakan keindahan fisiknya seperti mawar yang baru mekar walau masih malu-malu. Tiba-tiba saja Alin merasa lengannya seperti digigit semut, gigitan kecil tapi terasa sakit dan menyadarkannya.
Alin meringis kesakitan, rupanya lengan pemuda itu dicubit Yuli. Alin menatap gadis itu, meminta penjelasan atas perbuatannya.
"Apa yang awak lakukan, sakit!" Alin meringis.
"Makanya , kalau orang ngomong didengar," sahut Yuli ketus.
"Memangnya awak ngomong apa? perasaan dari tadi kita ngomong dan aku dengar," Alin membela diri.
"Iya sebelumnya," sahut Yuli masih dengan ketus,"sebelum Ocon lihat mereka."
"Lihat apa?" tanya Alin bingung.
"Ah, sudahlah. Malam sudah larut aku ingin tidur," jawab Yuli hendak berdiri.
Alin meraih lengan Yuli, menahan gadis itu yang hendak meninggalkannya.
"Aduh ada yang merajuk," ledek gepeng tersenyum melihat tingkah Yuli.
"Siapa yang merajuk," hardik yuli," lepaskan tanganku!"
"Sudahlah jangan dibahas lagi," Alin menengahi,"kita kan baru saja ketemu, marilah kita berbincang-bincang lebih lama lagi."
"Seleraku sudah hilang," sahut Yuli dengan menundukan wajah ayunya,"lagian aku sudah mengantuk."
Gepeng kemudian menyela,"biasanya juga sampai ayam berkokok baru awak pulang."
"Cukup Peng, jangan memanasinya lagi!" kata Alin pada Gepeng.
Gepeng tersenyum, menahan geli dalam hatinya.
Sementara Yuli, gadis belia itu masih menunduk dalam. Wajahnya terasa memerah, cukup lama gadis itu menenangkan perasaanya, setelah merasa tenang gadis ayau itu mengangkat wajahnya.
"Makanya kalau aku ngomong dengarkan," suara Yuli terdengar manja.
Alin tersenyum menatap gadis itu,"iya, maafkan aku ya!"
Mereka kembali tenggelam dalam obrolan, berbagai hal yang mereka bahas. Salah satunya kembali mengenang kepulangan Alin beberapa tahun silam, bersama dengan Yuli dan adik gadis itu pergi ke hutan mencari berbagai buah hutan, termasuk menunggu buah durian yang akan jatuh ketika angin ribut datang.
Sela-sela itu mata Alin seperti mencari sesuatu, namun matanya tidak dapat menemukan yang dicarinya, kedua gadis kakak beradik itu sudah menghilang dari tempatnyanya semula, mungkin sudah kembali atau pergi ke tempat lain.
Semenjak malam itu Alin selalu mengajak Yuli pergi bersama setiap keluar, atau sekedar berjalan-jalan mengitari desa kelahirannya, diantaranya ikut pula membantu persiapan resepsi pernikahan abang Alin di kesiaman memepelai wanita. Mereka begitu akrab, dimana Alinn berada, maka Yuli pun berada di sisinya, hingga riak-riak suara sampai pula di telinganya. Beberapa pemuda atau pemudi di kampung itu menyatakan bahwa Alin menjalin hubungan istimewa dengan Yuli, namun baik Alin maupun Yuli tidak mengubris riak-riak itu, mereka menjalani hari mereka seperti semula, kedekatan mereka lebih berharga dari pada harus mendengar prasangka orang kampung.
Hari pernikahan abang Alin pun sudah dekat, sehari sebelum hari besar pernikahan abangnya itu, sebuah adat harus harus dilewati terlebih dahulu. Orang kampung menyebutnya dengan majang. Pada hari itu pun disediakan perjamuan namun hanya orang-orang tertentu saja yang diundang, para tetua kampung adalah orang-orang yang wajib diundang.
Majang harus diadakan ditempat resepsi, bearti acara itu dilaksanakan di kediaman mempelai wanita sebagai pemangku hajat, acara itu dilaksanakan pada waktu wayah pasar temawon kata orang jawa, atau dimulai sekitar pukul delapan. Adat yang harus dilalui adalah para undangan melakukan ritual di banjar atau tarub, tetua kampung membacakan kidung memuji Nabi akhir zaman, kemudian memotong beberapa helai rambut mempelai wanita, setelah itu oleh indung pengentin, gigi mempelai wanita bagian depannya diratakan dengan menggunakan kikir. Acara majang dianggap selesai diakhiri dengan makan-makan.
Pada hari majang, teknik penyajian makanan tidak boleh secara persmanan kecuali hari puncak besok. Penyajian yang wajib dilakukan mereka namakan saprah, penyajian dengan cara saprah mempunyai teknik yang sedikit unik, seorang lelaki paruh baya ditunjuk sebagai kepala saprah. Orang ini bertugas menggelar kain panjang sepanjang tarub sehingga para tamu saling berhadapan. Setelah itu anak buahnya bertugas mengantarkan nampan yang berisikan lauk pauk yang disimpan dalam mangkuk, pada satu nampan terdapat satu bakul nasi dan empat piring, ini bearti untuk satu nampan boleh disantap empat orang. Setelah penghulu membacakan doa, sang pemilik hajat mempersilakan tamu untuk menimati hidangan, barulah para undangan menikmati jamuan itu.
Lain halnya dengan kesibukan di rumah mempelai laki-laki, atau di rumah orang tua Alin. Mereka menyiapkan acara ijab kabul pernikahan yang di selenggarakan di kediaman mempelai lelaki. Para tetangga ikut menyibukan diri membantu persiapan di rumah abang Alin, di sana pun Yuli bersama teman sebayanya ikut pula meyibukan diri dengan urusan dapur. Memang tidak ada makanan berat yang disediakan, mereka menyiapkan kue basah atau baulu yang dikenal oleh mereka dengan sebutan kue besar.
Matahari mulai turun ketika kesibukan di rumah orang tua Alin nampak sedikit surut, mereka yang berada di dapur hanya menggiris kue basah itu menjadi potongan kecil yang kelak akan dihidangkan pada tamu. Alin yang tidak mempunyai kesibukan mengajak Yuli menonton pertandingan sepak bola di lapangan dekat sekolah dasarnya dulu, namun gadis itu menolak karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, Yuli berjanji jika masih punya waktu dia akan menyusul Alin ke lapangan besar tempat pertandingan sepak bola itu berlansung.
Bersama Gepeng dan Pardi, Alin menyusuri jalan utama kampungnya menuju lapangan besar, jarak rumahnya dengan lapangan itu tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima menit mereka telah sampai di tepi lapangan itu. Dari kejauhan Alin dapat melihat pemuda-pemuda kampung asik memainkan kulit bundar itu, jual beli serangan pun terjadi, tidak ketinggalan Pardi dan Gepeng pun ikut dalam permainan itu menggantikan pemain yang nampak keletihan.
Suara riuh terdengar, ketika sebuah gol tercipta. Rupanya Abdul, abangnya Alin memasukan sebiji gol ke gawang lawan. Abdul memang gemar memainkan kulit bundar itu, teknik yang dimainkannya pun cukup baik, bahkan Abdul sering ikut mewakili desa jika turnamen tujuh belasan di kecamatan, dulu sekali ketika abang Alin itu masih aktif di kampung pernah membawa nama harum di kecamatan, tim Tenguwe pulang dengan status juara.
Di tepi lapangan tidak hanya mereka kaum adam yang menonton, para gadis pun ikut menyaksikan pertandingan itu. Pandangan Alin terhenti pada kedua gadis yang berada di kaki tangga bangunan SD, diantaranya juga beberapa gadis sibuk bertepuk tangan memberi semangat pada pemuda-pemuda kampung. Dengan sedikit ragu Alin melangkah mendekati kedua gadis itu, pada akhirnya pemuda itu sudah berdiri di depan keduanya.
"Eh, Kak Alin," sapa gadis yang dikenal Alin dengan baik.
Nova yang juga teman akrab sepepunya itu memang memanggil Alin dengan berbeda, tidak seperti warga kampung. Mungkin karena terbiasa dengan adik-adik sepupu Alin yang memanggilnya dengan kakak.
"Sudah lama di sini Va?" tanya Alin, kemudian duduk di samping gadis itu.
"Sejak pertandingan dimulai," sahut Nova tersenyum.
Mereka kembali fokus pada pertandingan, suara riuh pun terdengar setelah Gepeng yang bertindak sebagai penjaga gawang mampu memblok tendangan keras Abdul.
"Kak Abdul mainnya bagus ya Kak," ucap Nova tanpa mengalihkan pandangannya ke lapangan.
"Ya, begitulah. Ojok memang sudah lama bermain bola, dari SD malahan," jawab Alin.
"Kak Alin kenapa tidak ikut main?" tanya Nova tersenyum, kali ini gadis itu menatap Alin,"tidak suka sama bola ya?"
Alin tersenyum,"kalau masalah suka jangan ditanya, tentu aku menyukai sepak bola, tapi hanya sebatas menonoton dan melihat perkembangannya," jawab pemuda yang menggilai club ibu kota Spanyol, Real Madrid.
Nova hanya mengangguk tersenyum dan kembali menepukan tangannya, memberi semangat pada seorang striker yang melaju dengan kencang, namun sayang tendangan pemuda itu melenceng sebelah kiri. Gadis yang baru saja naik ke kelas sebelas itu mengentikan tepukannya, dan kembali menoleh pada Alin yang serius melihat jalannya pertandingan, suara Nova segera mengalihkan pandangannya pemuda itu.
"Kak Alin masih ingat denga Cici?" tanya Nova.
Sejenak Alin mengerutkan dahinya, berikutnya kerutan di dahinya mengurai pertanda dia mengingat nama yang di sebutkan Nova.
"Gadis yang sering bersama kalian di sekolah?" Alin meyakinkan ingatannya.
Nova mengangguk, membenarkan pertanyaan Alin.
"Dia masih sering meminta aku atau sama Kak Nia menyampaikan salamnya pada Kakak," ujar Nova.
"Oh ya, terus apalagi?" sahut Alin.
"Padahal dia kan cantik Ka, tapi sayngnya Kak Alin tidak meresponnya makanya aku sama Kak Nia jadi malas meyampaikan salamnya," celoteh Nova.
Alin tersenyum, dia bukannya tidak merespon atau mengulurkan salamnya pula namun rasa mindernya mengalahkan niat hatinya untuk mendekati gadis-gadis, karena itulah Alin lebih menghindar dan menjawab sekenanya saja jika Nova atau adiknya sepupunya menyampaikan salam gadis yang dimaksud Nova.
"Kak, aku kebelakang sebentar ya," ucap Nova seraya berdiri,"oh ya, jagakan adiku tapi awas jangan nakal soalnya dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis."
Nova tersenyum, kemudian beranjak menuju kamar kecil SD kampungnya itu.
Sementara gadis yang berada di sebelah Alin tersipu malu, wajahnya memerah. Gadis itu menyesalkan ucapan kakaknya, ingin rasanya dia mencubit kakaknya itu. Yang bisa dilakukannya hanya menunduk dalam.
"Yang baru menjadi gadis ini ternyata pendiam," goda Alin menatap gadis di sampingnya," sedari tadi hanya diam, bertepuk tangan pun tidak."
Gadis yang bernama Ely itu tidak menjawab, dia masih menunduk sambil memainkan sepotong ranting, entah gambar apa saja yang dilukisanya di tanah, bisa jadi gambaran hatinya yang tidak menentu. Ingin rasanya dia meninggalkan kaki tangga itu dan menceburkan wajahnya pada air yang dingin, terasa panas wajahnya menahan malu.
Selang berikutnya Ely bersyukur, kakaknya sudah kembali dari kamar kecil. Namun mendadak wajahnya kembali memerah setelah mendengar perkataan ayahnya.
"Hei, Kak Alin berbuat apa sampai adiku yang manis ini bermerah muka," ucap Nova mengelus pundak adiknya itu.
Alin terkekeh, pemuda itu pun ikut memandang Eli, namun Alin tidak berhasil menatap wajah Eli yang menunduk semakin dalam.
Alin seperti mendapatkan mainan baru, pandangannya dialihkan pada Nova.
"Va, kelak kalu sudah di rumah, sampaikan salamku pada adik awak yang kini sudah gadis," kata Alin setengah berbisik, namun dia yakin Eli pun mendengar perkataanya.
Nova seperti mengerti maksud Alin, ikut pula tertawa.
"Ini orangnya Kak, hanya dia adiku yang sudah menjadi seorang gadis," kata nova,"yang lainnya masih balita."
Eli yang tertunduk diam semakin kesal dengan ulah kakaknya itu, ingin rasanya dia mencubit lengan kakaknya itu dengan sekuat-kuatnya, tapi tentu saja tidak dapat dilakukannya sekarang, pastilah dirinya akan menjadi bahan olokan yang sangat empuk kalau sampai dilakukan.
"Sudah Kak," kata Nova menghentikan tawanya,"kasian adikku kalau Kak Alin serius datang dan sampaikan lansung padanya."
"Oh ya,"sahut Alin,"jadi kakaknya memberikan ijin?"
"Asalkan serius," jawab Nova sekenanya.
Sementara itu Eli masih menahan malu, seluruh permukaan wajahnya benar-benar terasa panas, gadis itu berharap malam segera datang dan permainan sepak bola yang sudah lama tidak diperhatikannya lagi itu segera berakhir, tangannya masih mengais tanah dengan ranting yang kini semakin pendek setelah beberapa kali patah oleh tangannya yang menekan ranting itu semakin kuat.
Harapan Eli benar-benar tercapai, permainan di depannya pun sudah berhenti. Langit sebelah barat kini semakin meredup, perlahan penerang bumi itu semakin menenggelamkan dirinya menuju belahan bumi yang lain.
Alin pun berpamitan, dan bergegas meninggalkan kaki tangga SD itu, bersama Gepeng dan Pardi yang keletihan, mereka berbalik menuju kediaman Alin.
Tidak ada yan tahu, di pojok sekolah paling kanan seorang gadis menatap tubuh Alin yang menghilang pada pertikungan jalan, sorot matanya menunjukan rasa kecewa, matanya pun berpaling pada kedua gadis yang dikenalnya kakak beradik bergandeng tangan meninggalkan kaki tangga itu pula, serasa dadanya sesak. Sebuah rasa asing yang selama ini belum pernah dikenalinya.
Malam kini benar-benar sudah datang, bulan sabit menyembul diantara bintang yang tersenyum manis menatap keindahan malam. Suara malam pun bersahutanmenyambut kedatangan malam yang tentu mereka dambakan. Di tanah yang tergenang air suara katak bersiul renda saling sapa, mungkin sudah tiba musimnya perkawinan, sehingga katak jantan nampak lebih beragresif memilih betinanya.
Begitu pula dengan kehidupan manusia, tepatnya di desa kelahiran Alin. Desa Tenguwe yang terletak di daerah perbukitan, desa itu cukup unik, desa induk itu merupakan satu-satunya desa yang bersuku kan Melayu, sedang di sekitarannya adalah kampung suku Dayak. Kehidupan warganya yang mayoritas bertani itu terlihat akur dengan desa lainnya, mereka orang Dayak menyebut orang Tenguwe dengan sebutan orang laut, sedangkan orang Tenguwe menyebut mereka orang darat. Mereka hidup seperti saudara, apalagi orang Dayak menyebut orang-orang kampung tenguwe sabagai saudara muda mereka.
Warga desa Tenguwe memilih bulan-bulan ini masa menyelenggarakan hari besar, seperti menyelenggarakan resepsi pernikahan, Musim banyi atau panen baru saja usai, sehingga tabungan beras warga melimpah, bertepan pula dengan musim libur sekolah sehingga beberapa putra-putri desa Tenguwe yang bersekolah di kota kembali ke desa untuk berlibur, begitu pula dengan warga Tenguwe yang sudah menetap di kota dapat ,eluangkan waktunya untuk menghadiri pernikahan sanak kerabatnya.
Tidak hanya abang Alin yang menyelenggarakan hari besarnya, beberapa pekan sebelumnya sudah tiga pasang yang meresmikan ikatan suci, termasuk paman mudanya. Bahkan selang beberapa pekan kemudian dua pasang sudah siap menanti hari bahagia mereka.
Selepas Isya, para tamu undangan sudah memenuhi rumah kediaman orang tua Alin, nampak paman dan bibi Alin yang berada di mulut pintu memberikan penyambutan pada tamu yang sudah datang. Suara anak kecil pun ikut memeriahkan malam itu, dengan diterangi lampu dengan mesin genset acara akad nikah itu siap dilaksanakan.
Dengan setelan pakaian kebesaran bak seorang raja yang akan naik tahta, abang Alin yang sering dipanggil Ayon Udang itu duduk bersila di hadapan penghulu. Acara pun dimulai dengan untaian ayat suci yang mengalun indah dari bibir paman ketiganya, Pak Andeng Bujang. Suara lelaki paruh baya itu memang sangat indah, bahkan suara katak yang tadinya bergemuruh, kini senyap seperti ikut mendengarkan untaian kalimat Tuhan itu.
Ijab kabul pun terdengar lantang dari bibir Ayon Udang, hanya dengan satu kali hisapan nafas Ayon Udang kini resmi menyandang suami dari gadis pilihan hatinya.
Setelah janju suci itu terlaksana, seorang bilal membaca doa meminta harapan pada Tuhan baik untuk kebahagian mempelai maupun seluruh tamu yang datang di acara itu. Berikutnya para tamu di persilakan menyicipi kue basah yang telah di sajikan oleh keluarga bedar Alin.
Setengah jam setelahnya, para tamu akan di sibukan untuk mengiringi mempelai lelaki menuju kediaman mempelai wanita, orang kampung menyebutnya dengan arak-arakan. Ayon Udang akan menaiki tandu, yang dipikul delapan orang, masing-masing emapat orang baik di belakang maupun di depan. Kediaman orang tua Alin dan mempelai wanita cukup jauh, sekitar satu kilometer apalagi dengan beban dan iringan yang ramai tentu membuat perjalanan menjadi lamban. Dengan memuji nama Tuhan, iringan itu terus bergerak mendekati kediaman mempelai wanita yang sudah siap menunggu kedatangan suaminya.
Sementara itu kediaman mempelai wanita telah berkumpul warga menyaksikan raja dan ratu sehari semalam itu. Mereka berdesakan menunggu keduanya di sandingkan. Suara letupan terdengar keras, bukanlah ketakutan yang menyelimuti para warga namun sebaliknya, wajah mereka semeringah menandakan penantian mereka telah usai dan saatnya menyaksikan yang di tunggu-tunggu.
Suara itu berasal dari senapan lantak, yang biasanya warga gunakan untuk berburu kijang atau rusa di hutan. Suara itu menandakan bahwa pengantin lelaki sudah dekat, memberi petunjuk kepada mempelai untuk segera duduk di pelaminan menunggu kedatangan suaminya.
Demikianlah, ayah dari mempelai wanita kemudian membopong putrinya dan mendudukan anaknya itu di kursi pelaminan. Sang mempelai wanita pun duduk dengan anggun menunggu kedatangan suaminya. pakain kebesaran bak seorang ratu nampak serasi dengan tubuhnya yang semampai.
Di sekitaran perkarangan terdengar suara gendang berirama dengan senandung memuji kebesaran Tuhan. Itulah pertanda bahwa mempelai lelaki sudah benar-benar datang. Sang juru penyambut iringan membungkuk hormat pada pemimpin arak-arakan itu, setelah saling sapa dan mengangkat air yang mereka kenal air arak-arakan itu sang mempelai lelaki dipersilakan bersanding bersama istrinya.
Inilah yang ditunggu-tunggu warga desa, momen yang membuat mereka menahan nafas dengan sunggingan senyuman, bagi mereka yang tealh berusia akan mengenangkan kembali saat-saat di pelaminan, bagi yang muda-muda berharap akan melakukan hal yang sama jika kelak menemukan pujaan hati.
Ayon Udang tersenyum tersenyum menatap wanita yang kini sah menjadi istrinya, hampir satu purnama lamanya Ayon Udang tidak melihat wanita kekasih hatinya, rasa rindunya sudah menggunung, seperti lahar yang siap menumpahkan kerinduannya. Begitulah adat di Kampung Alin, mempelai wanita harus berada di dalam rumah untuk menjalani berbagai ritual, termasuk mempercantik diri. Mempelai wanita tidak diperkenankan keluar rumah, apalagi berjumpa dengan calon suaminya.
Sang mempelai wanita tersenyum menyambut kedatngan suaminya, rona merah meliputi wajahnya yang berhiaskan manik-manik. Tangannya lembut meraih tangn suaminya dan mencium tangan kekar suaminya itu. Ayon Udang pun kemudian kening istrinya, maka terdengarlah suara riuh dan tepuk tangan hingga keduanya duduk di kursi pelaminan menatap warga yang menyaksikan di luar tarub.
Alin yang bertugas, mengambil gambar sibuk memotret kedua mempelai dari luar banjar, suara tetua yang memuji kebesaran Tuhan terus menggem, di iringi adat yang kembali dilalui kedua pengantin. Satu persatu tetua yang dianggap sesepuh kampung menyuapkan nasi ketan yang di simpan dalam wadah yang disebut Puan. Pada Puan itu terdapat sembilan butir telur rebus yang ditusuk dengan bilah bambu di potong kecil-kecil, biasanya ketika Alin masih anak-anak akan berebut mengambil telur itu bersama anak-anak lainnya, momen-momen seperti itulah diabadikan Alin pada kameranya.
Setelah acara adat itu yang memakan waktu hamipr satu jam lamanya, barulah diadakan acara pertunjukan kesenian sambil menikmati kue basah dan minuman. Anak-anak kampung sebelumnya mengikuti pelatihan tarian khas adat melayu, tarian itu mereka namai Japin. Kemudian oleh tetua, anak-anak yang dianggap sudah mahir akan mempertunjukan kemampuannya pada acara besar kampung, termasuk di malam resepsi pernikahan.
Semasa dulu Alin bersama abangnya, Abdul pun mengikuti pula pelatihan tarian Japin, beberapa kali sebelm melanjutkan sekolahnya di kota Alin mengisi acara sisetiap warga yang menyelenggarakan resepsi pernikahan. Di sela-sela menyaksikan tarian itu Alin mengedarkan pandangannya, mencari gadis ayu yang sedari tadi belum dijumpainya. Alin bahkan sudah mampir terlebih dahulu di kediaman Yuli, menurut adiknya, kakaknya itu sudah meninggalkan rumah selepas magrib.
Alin pun menanyakan keberadaan gadis itu pada Pardi dan Gepeng, tapi keduanya pun menggeleng, oleh Alin keduanya diminta mencari keberadaan Yuli dan segera memberikan kabar jika melihat keberadaanya.
Di dalam tarub pertunjukan tarian Japin pun sudah usai. Tiga bentuk jenis tarian dipertunjukan, yang pertama langkah bunga seribu, kemudian tongkat berlawanan dan terakhir sarang laba-laba. Biasanya sarang laba-laba itulah yang menarik perhatian warga, tujuh anak menari di depan pengantin yang diiringi alat musik yaitu gambus dan taar, langkah mereka sesuai dengan alunan musik itu bersama syair pantun yang disenandungkan tetua. Ketujuhnya bergerak dengan tali rupia di tangan hingga tali temali itu membentuk sarang laba-laba.
Acara malam itu belumlah usai, sepasang pengantin itu kemudian dimanjakan dengan pertunjukan silat yang juga diiringi musik dan syair pantun. Mulai dari satu orang hingga pasangan-pasangan pergelaran seni itu di perlihatkan.
Malam sudah melewati puncaknya, embun pun mulai berjatuhan di daerah perbukitan itu. Acara pertunjukan seni pun usai, jam tua yang menggantung di ruang dalam menunjukan pukul dua belas lewat. Namun keramaian belumlah usai, terlebih anak muda yang terlihat berlalu lalang si sekitar tarub resepsi. Acara fhoto keluarga adalah sesi berikutnya, di sertai salam-salam dari kerabat mengucapkan selamat pada kedua mempelai, mereka pun menyelipkan amplop yang berisi duit seikhlasnya dan di simpan dalam tempayan berukuran sedang yang sudah dihiasi. Tempayan itu di letakan di sisi mempelai, baik mempelai lelaki maupun wanita.
Acara itu tidaklah terlalu lama, panitia hanya membatasi tiga puluh menit saja, acara fhoto dan pengucapan salam selamat dapat dilanjutkan besok siangnya. Maka selesailah acara malam pelaminan, berikutnya anak muda melanjutkan tradisi mereka, yaitu berjoged dengan diiringi musik disco, tidak hanya pemuda-pemuda kampung, para gadis remaja pun larut dalam musik nan erotis.
Sementara itu Alin duduk-duduk bersama adik sepupunya, Nanda. Mereka bersantai ria sambil menikmati kue basah dan minuman manis. Nova dan Eli juga hadir bersama Alin, kakak beradik itu adalah sepupu Nanda, sehingga Nova dan adiknya itu mempunyai ikatan tali kekerabatan dengan Alin. Ibunya Nova adalah kakak dari ibunya Nanda, sedangkan ibunya Nanda adalah istri paman Alin yang ketujuh atau yang sering dipanggilnya Pak Ojok Rubai.
Memang begitulah kebiasaan warga kampung Tenguwe, semua warga mempunyai hubungan kekerabatan, bahkan untuk semakin mengikat kekerabatan lebih erat tidak jarang antara sepupu saling menikah, yang penting tidak melanggar hukum agama. Mereka lebih memilih menikahi pemuda atau pemudi kampung jika orang luar datang meminang, menurut mereka orang luar belumlah tahu bebet, bobot dan asal muasal keluarganya, sedangkan orang kampung sendiri, tentu mereka mengetahui tabiat dan kelakuan terlebih lagi asal muasalnya.
***
awak= kamu.
0 Response to "Kerikil Di Ujung Mimpi 'Bagian Satu'"
Post a Comment