Kerikil Di Ujung Mimpi
Prolog
"Masihkah kau bermakna bagi dunia yang semakin renta?" bibirnya berucap lirih.
Lirik lagu itu membuatkan pertanyaan untuk dirinya, seperti mengintip ke dalam dirinya sendiri. Sadar atau tidak lirik itu peringatan untuknya.
Sebelum terlalu jauh mari kita kenali lelaki yang terbaring dengan selimutnya usang ini, yang masih tenggelam bersama untaian bait syair sebuah lagu.
Alin, begitulah nama yang sering orang-orang sebut, tentu bagi mereka yang mengenal lelaki yang umurnya hampir seperempat abad itu. Kalo kalian gak tau seperempat abad, mari kita hitung dalam angka. Satu abad sama dengan seratus tahun, jika seperempat maka seratus dibagi empat dan tentu hasilnya dapat kalian ketahui, ya dua puluh lima tahun begitulah usianya. Usia yang boleh dibilang tidak lagi muda namun belumlah tua.
Urai Rumalin, nama lengkap yang diberikan kedua orang tuanya seperempat abad yang lalu, Urai bukanlah sebuah nama. Menurut ayahnya yang juga terdapat nama yang sama didepan namanya adalah nama keturunan, dengan kata lain berasal dari darah bangsawan yang akan melekat baik mereka yang lelaki maupun wanita, hanya saja bedanya jika wanita yang mempunyai keturunan Urai dan menikah dengan lelaki yang tidak mempunyai keturunan Urai maka anak-anaknya tidak lagi menyandang Urai, sedangkan bagi putra lelaki anak-anaknya akan selalu menyandang nama Urai didepan.
"Darah biru pun percuma jika di dompetnya kosong." Kata ibu Alin jika ayahnya dengan bersemangat menceritakan silsilah keturunan Urai.
Kehidupan keluarga Alin jika di pandang secara ekonomis memang pas-pasan, pas untuk makan, pas untuk menjalani hidup secara sederhana. Kedua orang tuanya hidup di sebuah desa yang sederhana pula, desa Tenguwe. Bahkan di desa tersebut jarang anak-anaknya bersekolah, jika pun ada maka cukup sampai sekolah dasar, sedangkan mereka yang sampai pada menengah atas adalah orang-orang yang beruntung.
"Ah, sama saja sekolah semangkuk tidak sekolah pun semangkuk." Kata orang-orang kampung, mereka memberikan alasan jika anak-anak mereka memilih bekerja daripada melanjutkan sekolahnya.
Rupanya pemikiran kedua orang tua Rumalin sedikit berbeda, mungkin dipengaruhi keluarga besar yang memang tidak lagi menetap di desa. Keluarga besar menganggap pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting, menurut bibinya yang menjadi tenaga pengajar, sekolah itu bukan hanya mencari duit tapi merubah pola pikiran, mengembangkan bakat, dan dengan sendirinya duit itu dapat di peroleh.
Demikianlah, abang dan kakak Rumalin bersekolah di kota, malahan di antaranya abang yang tertua sampai ke perguruan tinggi dan kini menjadi tenaga pengajar. Tentu saja kedua orang tua Rumalin sangat bangga akan keberhasilan anak tertuanya, yang menjadi panutan bagi adik-adiknya. Karena lebih mementingkan pendidikan anak-anaknya, orang tua Alin tidak mengumpulkan uang untuk keperluan rumah tangga, alhasil rumah mereka pun nampak sederhana dari rumah orang kampung yang lain, bahkan mereka tidak mempunyai televisi. Jangankan televisi, penerang saja mereka tidak punya, tetap menggunakan obor jika malam telah datang.
Keadaan desa Tenguwe yang memang jauh dari kota membuat desa Tenguwe belum tersentuh listrik negara, jika warga ingin mempunyai penerang maka mereka harus membeli sendiri mesin atau yang lebih mereka kenal dengan genset.
Satu lagi, transportasi yang mereka gunakan adalah transportasi air. Dengan sebuah kapal motor kecil memanfaatkan sungai sebagai tranportasi untuk pergi ke kota atau menjual hasil bumi, perjalanan itu tidaklah dekat. Mereka harus bermalam di sungai dan ke esokannya baru dapat sampai di kota Kabupaten.
Alin masih ingat ketika pulang libur dari sekolahya dia harus ikut membantu orang yang mempunyai kapal, mengangkut barang-barang yang nantinya akan dijual di kampung, belum lagi dari kampung jika liburya telah usai dia harus tidur diatas tumpukam karet basah yang tentu dapat di bayangkan bagaimana aroma dari karet basah itu.
Belakangan ini beberapa perusahan perkebunan sawit membuka lahan, sehingga mereka membuka pula jalan agar dapat menempuh lahan, walaupun jalannya masih jalan tanah namun warga dapat bersykur bisa menggunakan kendaraan darat untuk dapat membawa hasil bumi di kota Kabupaten.
Syukurlah perjalanan waktu membawa kearah yang lebih baik, kedua orang tuanya memutuskan tidak lagi menetap di kampung. Abang-abang Alin yang hidupnya lumayan sukses memboyong kedua orang tuanya ke kota, walaupun pada dasarnya mereka meminta bantuan orang tuanya untuk menjaga anak-anak mereka, pekerjaan yang mereka geluti memaksa waktu mereka lebih banyak di luar rumah.
Dengan keadaan demikian kedua orang tua Alin tidak dapat lagi bekerja, abang-abang Alin pun menjanjikan mereka bertanggung jawab terhadap biaya pendidikan Alin, namun mereka hanya mampu sebatas sekolah menengah atas, mau tidak mau kedua orang tua Alin yang memang sudah renta hanya bisa mengangguk.
Alin sendiri mempunyai pemikiran berbeda, tubuhnya yang mungil tidak akan dapat melakukan pekerjaan kasar, satu-satu caranya agar dapat melepaskan diri dari pekerjaan kasar harus mencapai pendidikan perguruan tinggi, namun masalah yang dihadapi adalah keterbatasan biaya dari abang-abangnya yang mempunyai tanggung jawab terhadap istri dan anak mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terima kasih sudah menulis langsung kisah ini...
ReplyDeleteTulisan Anda hasil copas maaf saya harus, khawatir terdeteks google dan dianggap melanggar hal cipta, meski tulisan itu hasil karya Anda sendiri
Maaf Kang, untuk berikutnya saya tulis lansung.
ReplyDeleteSip Mas, terima kasih atas kehadirannya
DeleteDitunggu tulisan tulisan hebat lainnya!
Nama tokohnya bagus dan unik
DeleteUrai Rumalin...
Makasih mas, ditunggu saran dan masukannya. he.
ReplyDelete