Teh sisa yang kau tinggalkan di meja kerjaku semalam, kini saya teguk. Sebelum bibirku, bibir manyunmu pernah meminumnya.
Terima kasih jauh-jauh sengaja datang ke sini, untuk nonton film bersama, dan jujur pada saya, bahwa kedatanganmu, bukan semata sebab film itu, namun mau ketemu saya.
Terima kasih jauh-jauh sengaja datang ke sini, untuk nonton film bersama, dan jujur pada saya, bahwa kedatanganmu, bukan semata sebab film itu, namun mau ketemu saya.
Meski kamu tolak habis-habisan, bahwa itu bercanda, dan punya orientasi lain selain saya, tujuan nonton film misalnya, atau bertemu dengan idolamu, dari pada penulis yang sudah sukses, namun saya tetap, akan menangkapnya serius, sebagai atensi darimu, bahwa bagimu, saya begitu berharga, bahwa tujuanmu datang ke sini, memang benar ingin bertemu saya.
Oh ya, saat turun tangga di hyper mall, sambil bersandar ke pegangan, penuh berdiri gaya, meski entah gaya atau tidak, entah kamu mengerti atau tidak maksud saya atau tidak, saya katakan, jika saat kamu curhatkan segala kebahagiaanmu pada saya...jika saat kamu ungkapkan teriakan bahagiamu penuh perasaan, bahwa sekarang kamu sudah mendapatkan kehidupan yang kamu mimpikan, di mana menulis membacamu dihargai orang...sebetulnya, ungkapanmu itu ungkapan saya. Itulah yang ingin saya ungkapkan sekarang. Sekarang, telah saya dapatkan kehidupan yang selama ini saya mimpina: kerja sesuai dengan kesukaan saya. Ini kerja sangat menyenangkan. Bayangkan saja, selama ini, saya selalu mencuri-curi waktu, kadang sampai melalaikan kerja, Selama ini, kegiatan menulis saya, ngepost blog saya, menuliskan tentang buku dan membacanya, dianggap sebagai gangguan, pekerjaan tidak berguna, dan tidak dihargai. Sedangkan sekarang, di sini, di tempat ini, semua ini menjadi tugas saya. Sekarang, ngepost blog saya, membuat tulisan di blog saya, menjadi sesuatu yang dihargai, bahkan menjadi pendapatan. Bayangkan, bagaimana saya tidak bahagia.
Ah, tapi kamu kok reaksinya gitu sih. Pake mencandai segala, "Tunggu..,tunggu.,,tunggu,,,biar saya bayangkan dulu." kata kamu sambil berdiri mematung, diam.
Kenapa sih?
Kok kamu begitu sih?
Apa kek. Kamu berkata gini kek, "Iya Pak Dana, makanya, jangan pernah takut memimpikan sesuatu. Kita memang tidak mampu. Tapi kepada kekuasaan Allah, Pak Dana jangan pernah ragu!"
Nah, itu baru mantap.
Jangan malah dibercandain!
Sekeluar dari Hyper Mall, kita keluar, dan pulang menuju rumah tempat saya biasanya menginap. Kamu dan adikmu mengikuti, dan susah saya lupakan, kebaikan yang kamu berikan di sana.Yaitu saat saya khawatir kamu belum makan. Maka, saya inisiatif cuci mejikom, ambil beras buat menanak nasi. Saya lakukan itu di dapur, dan kamu dengan trang-treng-trong suara peralatan beradu dan air yang jatuh ke wadah. Mungkin sekilas kamu lihat, lalu kamu tanya, "Pa Dana mau apa?"
"Menanak nasi."
"Sini biar aku yang nanak."
"Nih," saya sih oke-oke saja. Ada orang mau bantu malah syukur. Dan memang benar, kamu beranjak dari komputer, menggantikan saya mencuci beras. Sementara kamu menanak nasi, saya pergi cari lauk-pauk, ke warung nasi. Tapi warung nasi tak ada. Mencari ke warung biasa, mungkin ada mie. Juga tidak ada. Saya cari juga gorengan, dan tukang gorengan pun sudah tutup. Ada juga di pinggir jalan tukang cilok, masa sih kita makan dengan cilok. Untungnya saya ingat, di belakang Hotel Santika, ada pasar cukup luas. Pasar sayuran, dan saat saya ke sana, ternyata, menyenangkan, orang masih ramai, padahal sudah tengah malam. Dan mungkin, memang tengah malam ini saatnya ramai. Saya masuk ke sana, cari sesuatu, yang mungkin saya beli, dan bisa saya masak dengan mudah. Saat saya lihat penjaja tahu, saya beli tahu, sekalian dengan minyaknya. Namun penjual katakan, minyak tidak tersedia. Saya cari ke kios lain, berlika-liku pasar bau dan becek itu saya masuki, dan saya dapatkan minyak dalam kemasan gelas plastik.
Dua bungkus tahu, dan segelas minyak, itu yang saya bawa pulang, kembali ke pertokoan, naik ke lantai 3, tempat di mana kamu, sedang duduk menulis.
Datang ke ruangan, saya lihat, kamu sudah kembali duduk di depna komputer. Sedang menulis. Saya rasakan, saya sendiri, jika sedang menulis, paling malas diganggu orang disuruh ini itu. Kecuali karena memang sangat terpaksa, atau karena orang itu sangat penting bagi saya, biasanya saya lakukan. Tapi terus terang, dengan hati yang berat, karena mau saya, inginnya menulis terus-menerus, tanpa henti. Dan saya kira, kamu pun begitu, tidak mau diganggu. Dan saya pun, tidak tega mengganggu. Itulah sebabnya, saya kerjakan saja sendiri.
Tahu itu saya hancurkan ke sebuah wadah, ditaburi bumbu, kemudian, menyalakan kompor listrik. Jujur ini pertama kalinya saya memakai kompor listri. Biar di sini sudah beberapa hari, namun berani memakainya baru sekarang. Ini pun sebenarnya, memberani-beranikan diri. Saking khawatirnya malam ini kamu tidak makan. Syukurlah, menyala juga. Biar beberapa kali memijitnya hanya coba-coba, namun minyak itu akhirnya mendidih juga. Saya masukkan tahu yang telah dihancurkan dan dicampuri bumbu itu, kemudian sesendok demi sesendok saya masukkan ke minyak panas. Harapan saya sendokan-sendokan tahu itu akan matang kemudian kering dalam bentuk bulat. Namun tidak, saya balik-balik, bukannya bagus, malah ancur.
Aku bingung, jalan bolak-balik tak jelas. Akhirnya, kompor listrik saya matikan, namun cesss suara tahu digoreng masih terdengar. Saat itulah kamu nanya, sedang apa. Saya jawab, sedang menggoreng tahu. Kamu berkata, sini biar saya yang goreng. Jawab saya, tak mengapa saya saja. Tapi kamu maksa, dan berkata, rasanya tidak enak, sementara Kang Dana kerja, masa aku duduk-duduk saja. Dan masakan kursi itu kamu tinggalkan, berdiri berjalan ke arahmu untuk membantu. Kamu bertanya, ini mau dibagaimanakan. Jawab saya, mau digoreng tapi gagal. Katamu, waduh, terus bagaimana kalau sudah begini. Jawab saya, tak mengapa, biar besok saya masak ulang. Sekarang, tahu ini akan saya angkat, kemudian, kalau memang kamu mau membantu, itu ada tahu sebungkus lagi. Silakan goreng, dan nanti bumbunya itu, bumbu buat nasi goreng.
Kamu setuju. Saya tinggalkan. Entah buat mengerjakan apa, saya lupa lagi. Oh ya saya ingat, saat itu mau shalat. Karena air bak atas habis, saya turun ke lantai dua, berwudlu di sana, kemudian naik kembali ke lantai 3 buat shalat. Saat itulah hidung saya mencium sesuatu yang aneh. Seperti bau hangus. Mengapa sampai hangus. Rasa-rasanya jarang masakan tahu sampai hangus. Terlalu lama digoreng biasanya tahu mengering. Tapi, mengapa hangus?
Setadinya ingin saya biarkan. Namun tak tahan, lidah ingin memberitahu. Namun, saya dahului dengan bertanya, "Kamu menggoreng dengan bumbunya?"
"Iya"
"Bumbunya itu banyak mengandung gula. Jadi ke tahunya cepat hangus kan?"
"Iya, tapi enak lho."
"Iya enak. Tahu bakar."
"Beneran enak lho. Sini coba saja sendiri!"
Saya coba makan, dan benar saja. Enak. Kalaulah tak malu, ingin saya mengambilnya berkali-kali. Tapi orang lain, masih belum makan. Saya sisakan! Tiba-tiba, seorang pria berrambut gondrong yang bernama Wasi, naik ke lantai 3, hendak makan, dia katakan, "Aku habiskan ya!"
Masakanmu dinikmati orang, itu artinya apa?
Itu pertanda jelas masakanmu enak.
Mengapa masakanmu enak?
Bumbunya enak
Itu bumbu memang bumbu racik buat nasi goreng...haha, memangnya enak sebab kamu pintar masak?
Kok kamu begitu sih?
Apa kek. Kamu berkata gini kek, "Iya Pak Dana, makanya, jangan pernah takut memimpikan sesuatu. Kita memang tidak mampu. Tapi kepada kekuasaan Allah, Pak Dana jangan pernah ragu!"
Nah, itu baru mantap.
Jangan malah dibercandain!
Sekeluar dari Hyper Mall, kita keluar, dan pulang menuju rumah tempat saya biasanya menginap. Kamu dan adikmu mengikuti, dan susah saya lupakan, kebaikan yang kamu berikan di sana.Yaitu saat saya khawatir kamu belum makan. Maka, saya inisiatif cuci mejikom, ambil beras buat menanak nasi. Saya lakukan itu di dapur, dan kamu dengan trang-treng-trong suara peralatan beradu dan air yang jatuh ke wadah. Mungkin sekilas kamu lihat, lalu kamu tanya, "Pa Dana mau apa?"
"Menanak nasi."
"Sini biar aku yang nanak."
"Nih," saya sih oke-oke saja. Ada orang mau bantu malah syukur. Dan memang benar, kamu beranjak dari komputer, menggantikan saya mencuci beras. Sementara kamu menanak nasi, saya pergi cari lauk-pauk, ke warung nasi. Tapi warung nasi tak ada. Mencari ke warung biasa, mungkin ada mie. Juga tidak ada. Saya cari juga gorengan, dan tukang gorengan pun sudah tutup. Ada juga di pinggir jalan tukang cilok, masa sih kita makan dengan cilok. Untungnya saya ingat, di belakang Hotel Santika, ada pasar cukup luas. Pasar sayuran, dan saat saya ke sana, ternyata, menyenangkan, orang masih ramai, padahal sudah tengah malam. Dan mungkin, memang tengah malam ini saatnya ramai. Saya masuk ke sana, cari sesuatu, yang mungkin saya beli, dan bisa saya masak dengan mudah. Saat saya lihat penjaja tahu, saya beli tahu, sekalian dengan minyaknya. Namun penjual katakan, minyak tidak tersedia. Saya cari ke kios lain, berlika-liku pasar bau dan becek itu saya masuki, dan saya dapatkan minyak dalam kemasan gelas plastik.
Dua bungkus tahu, dan segelas minyak, itu yang saya bawa pulang, kembali ke pertokoan, naik ke lantai 3, tempat di mana kamu, sedang duduk menulis.
Datang ke ruangan, saya lihat, kamu sudah kembali duduk di depna komputer. Sedang menulis. Saya rasakan, saya sendiri, jika sedang menulis, paling malas diganggu orang disuruh ini itu. Kecuali karena memang sangat terpaksa, atau karena orang itu sangat penting bagi saya, biasanya saya lakukan. Tapi terus terang, dengan hati yang berat, karena mau saya, inginnya menulis terus-menerus, tanpa henti. Dan saya kira, kamu pun begitu, tidak mau diganggu. Dan saya pun, tidak tega mengganggu. Itulah sebabnya, saya kerjakan saja sendiri.
Tahu itu saya hancurkan ke sebuah wadah, ditaburi bumbu, kemudian, menyalakan kompor listrik. Jujur ini pertama kalinya saya memakai kompor listri. Biar di sini sudah beberapa hari, namun berani memakainya baru sekarang. Ini pun sebenarnya, memberani-beranikan diri. Saking khawatirnya malam ini kamu tidak makan. Syukurlah, menyala juga. Biar beberapa kali memijitnya hanya coba-coba, namun minyak itu akhirnya mendidih juga. Saya masukkan tahu yang telah dihancurkan dan dicampuri bumbu itu, kemudian sesendok demi sesendok saya masukkan ke minyak panas. Harapan saya sendokan-sendokan tahu itu akan matang kemudian kering dalam bentuk bulat. Namun tidak, saya balik-balik, bukannya bagus, malah ancur.
Aku bingung, jalan bolak-balik tak jelas. Akhirnya, kompor listrik saya matikan, namun cesss suara tahu digoreng masih terdengar. Saat itulah kamu nanya, sedang apa. Saya jawab, sedang menggoreng tahu. Kamu berkata, sini biar saya yang goreng. Jawab saya, tak mengapa saya saja. Tapi kamu maksa, dan berkata, rasanya tidak enak, sementara Kang Dana kerja, masa aku duduk-duduk saja. Dan masakan kursi itu kamu tinggalkan, berdiri berjalan ke arahmu untuk membantu. Kamu bertanya, ini mau dibagaimanakan. Jawab saya, mau digoreng tapi gagal. Katamu, waduh, terus bagaimana kalau sudah begini. Jawab saya, tak mengapa, biar besok saya masak ulang. Sekarang, tahu ini akan saya angkat, kemudian, kalau memang kamu mau membantu, itu ada tahu sebungkus lagi. Silakan goreng, dan nanti bumbunya itu, bumbu buat nasi goreng.
Kamu setuju. Saya tinggalkan. Entah buat mengerjakan apa, saya lupa lagi. Oh ya saya ingat, saat itu mau shalat. Karena air bak atas habis, saya turun ke lantai dua, berwudlu di sana, kemudian naik kembali ke lantai 3 buat shalat. Saat itulah hidung saya mencium sesuatu yang aneh. Seperti bau hangus. Mengapa sampai hangus. Rasa-rasanya jarang masakan tahu sampai hangus. Terlalu lama digoreng biasanya tahu mengering. Tapi, mengapa hangus?
Setadinya ingin saya biarkan. Namun tak tahan, lidah ingin memberitahu. Namun, saya dahului dengan bertanya, "Kamu menggoreng dengan bumbunya?"
"Iya"
"Bumbunya itu banyak mengandung gula. Jadi ke tahunya cepat hangus kan?"
"Iya, tapi enak lho."
"Iya enak. Tahu bakar."
"Beneran enak lho. Sini coba saja sendiri!"
Saya coba makan, dan benar saja. Enak. Kalaulah tak malu, ingin saya mengambilnya berkali-kali. Tapi orang lain, masih belum makan. Saya sisakan! Tiba-tiba, seorang pria berrambut gondrong yang bernama Wasi, naik ke lantai 3, hendak makan, dia katakan, "Aku habiskan ya!"
Masakanmu dinikmati orang, itu artinya apa?
Itu pertanda jelas masakanmu enak.
Mengapa masakanmu enak?
Bumbunya enak
Itu bumbu memang bumbu racik buat nasi goreng...haha, memangnya enak sebab kamu pintar masak?
0 Response to "Tahu Bakar"
Post a Comment