Namaku Nia, bulan Oktober tahun ini usiaku tiga puluh sembilan tahun. Malam ini seharusnya aku berada di villa kawasan puncak menikmati liburan tahun baru bersama keluarga. Acara yang sudah dijadwalkan seminggu yang lalu bersama Bang Firman, suamiku, beserta anak-anak kami, Tio dan Nanda.
Tetapi, ternyata Tuhan berkata lain. Malam ini yang terjadi bukanlah sukaria bercengkrama dengan keluarga seperti yang direncanakan. Aku sendirian di stasiun kereta api, berjalan tak tahu arah tujuan. Sebentar berjalan, sebentar berhenti lalu duduk di kursi yang berderet di ruang tunggu stasiun. Sudah dua jam aku berada di sini tapi belum kuputuskan ke mana tujuanku.
Empat jam yang lalu aku seorang perempuan yang punya segalanya. Kehormatan, suami yang mapan dengan posisi di kantor cukup bagus tentu saja dengan penghasilan yang lumayan besar menurut ukuranku, anak-anak yang lucu dan pintar serta penyayang, rumah mewah di kawasan bergengsi dan beberapa kendaraan siap menemani ke mana pun pergi.
Tapi saat ini, aku hanyalah perempuan hina yang harus lenyap dari mulkabumi. Berbekal sebuah koper dan beberapa lembar uang di dompet aku hanyalah seonggok raga dan jiwa kotor yang setiap saat pantas diludahi.
Aku merasa Tuhan marah sehingga Dia menghukumku untuk menebus semua kesalahan yang kulakukan.
CINTA LAMA KEMBALI MENYAPA
Semua berawal dari pertemuan dengan teman sekolah di Facebook. Tertera di notifikasi ada seorang yang ingin menjalin pertemanan. Tiba-tiba jantung berdetak cepat dan wajahku pun menjadi panas memerah membaca nama akun facebook tersebut.
Darma?!
Aku berdiam sejenak sambil terus menatap nama yang tertera di layar monitor. Gejolak di dalam dada semakin kendang ketika aku klik nama tersebut. Sebuah foto laki-laki dewasa tegap dan tampan terbuka. Aku perhatikan wajahnya banyak berubah, tapi masih bisa dikenali kalau itu Darma teman sekolah dulu, ketua OSIS yang menjadi pembicaraan teman-teman sekelasku karena kecerdasan dan ketampanannya.
Sejak dulu aku mengaguminya, debaran hati yang spontan muncul persis seperti yang kurasakan saat berpapasan di sekolah. Aku merasakan ada kebahagiaan yang sangat walaupun hanya memandangnya di foto.
"Hah? Dia masih ingat aku," bisikku di antara bahagia yang membuncah. Padahal semasa sekolah dulu aku tidak pernah berani mendekat karena dia selalu dikerumuni cewek-cewek cantik. Aku hanya bisa memandang dari jauh dan bermimpi menjadi kekasihnya. Sampai lulus sekolah aku cuma bisa menggenggam mimpi-mimpiku saja.
Kini, setelah dua puluh tahun lebih tidak bertemu dan enam belas tahun pernikahanku dengan Bang Firman, Darma datang lagi menghiasi hari-hariku. Cinta monyet masa remaja kembali tumbuh, siang dan malam bayangannya selalu hadir. Aku jatuh cinta lagi.
Kali ini Darma menyambut cintaku. Betapa bahagianya, karena mimpiku sejak dulu menjadi kekasihnya sekarang terwujud. Aku merasa hari-hari sangat indah, ada bahagia sekaligus tersiksa ketika tidak bisa bertemu Darma. Pertemuan demi pertemuan kami jalani bersama, tentu saja tanpa sepengetahuan Bang Firman dan anak-anak.
DI ANTARA DUA PILIHAN
Empat bulan lamanya aku berhubungan dengan Darma tanpa ada hambatan yang berarti karena suami selalu tugas ke luar kota. Bang Firman pulang setiap Jum'at sore, Minggu sore sudah pergi lagi ke luar kota. Hal ini sudah berjalan hampir setahun dan membuatku lebih leluasa. Sampai suatu saat, Darma mengajakku menikah.
"Nia, kamu harus bercerai. Kita saling mencintai dan kita harus menikah."
Aku tersentak, bagaimana dengan anak-anak? Aku tidak mungkin berpisah dengan mereka, dan Bang Firman juga tidak mungkin memberikan hak asuh mereka padaku jika terjadi perceraian.
"Bagaimana? Kamu setuju, kan?" aku terdiam, rasanya sulit untuk menjawab.
"Bagaimana dengan istrimu?Anak-anakmu?" aku balik bertanya.
"Nia, kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu. Perkawinananku tidak bahagia." Darma mencoba meyakinkanku, "Ayom Nia. Jujurlah pada diri sendiri. Kamu juga tidak bahagia, kan?"
Lagi-lagi aku terdiam.
SEMAKIN JELAS
Empat bulan mengenal Darma cukup banyak aku ketahui mengenai dia. Kami sering berbincang dari hal yang lucu sampai serius. Hingga suatu saat aku berhasil mengorek keterangan kalau dia sudah dua kali menikah. Dari istri pertama punya anak satu tapi sudah dua tahun berpisah tanpa status yang jelas. Maksudnya Darma mengabaikan permintaan cerai istri pertamanya, tapi dia pin tidak menafkahinya.
Dari istri kedua, Darma tidak memperoleh anak dan dia resmi bercerai di Pengadilan Agama. Dan yang membuatku kaget ternyata dia punya anak yang masih kecil dengan seorang perempuan yang tidak dinikahinya. Astaghfirullah. Tiba-tiba aku sadar, pantaskah Darma kuharapkan sebagai pendamping kelak? Dan masuk akalkah aku mengorbankan keluarga yang sudah kubangun dengan penuh perjuangan selama dua puluh tahun lebih? Semakin jelas, kini kalau aku harus menjauhi laki-laki yang tidak bisa diharapkan mampu memimpin keluarga ini.
Sejak itu aku tidak mau bertemu Darma. Aku berusaha menghindar. Bahkan telepon dari Darma pun selalu kuabaikan.
Sampai suatu hari kulihat ada pesan pendek masuk melalui telepon seluler, Kalau kamu tidak angkat telepon, aku akan ke rumahmu sekarang juga.
Jantungku berdetak kencang....
* * *
Dari bari ke baris, aku terus dibawa penasaran, bagaimanakah nasib Nia berikutnya? Penulis pandai sekali merangkai cerita. Nama penanya "Yayah Siti". Namun pastinya, mengapa tulisan ini kian memikat, karena terbit setelah melewati jari Asma Nadia. Kisah ini, cuma satu dari sakian banyak kisah yang Asma Nadia sajikan dalam bukunya, JANGAN BERCERAI BUNDA. Itu kisah cuma sepotong saja. Jika ingin lebih lengkapnya, tinggal baca langsung saja bukunya. Satu lagi karya apik nan cantik, dari salah seorang tokoh perubahan versi Koran Republika.
0 Response to "Wajahku Layak Diludahi"
Post a Comment