Bagian Dua
Alunan musik keras masih terdengar menghentak, membuat pemuda-pemuda yang larut dalam buaian musik semakin lincah menggerakan seluruh anggota tubuh mereka, wajah mereka begitu menikmati setiap hentakan musik erotis itu.
Ironis memang, ditengah keayuan desa kelahiran Alin itu, kebiasaan pemuda-pemuda kini sudah jauh meninggalkan adat istiadat, inilah yang sebenarnya ditakutkan para tetua termasuk paman Alin yang ketiga, namun mereka hanyalah tetua yang jumlah tidak lagi banyak, mereka yang menentang kebijakan paman Alin lebih dari separuh warga kampung, hingga keyakinan paman Alin membuatnya harus meninggalkan desa kelahirannya, menjadi orang buangan.
Alin yang bercengkrama bersama adik sepupunya dan bebarapa gadis di kursi kayu panjang menampakan wajah tegangnya, seorang pemuda yang nampaknya mabuk berat menghampirinya dengan celoteh yang tidak menentu. Suaranya terdengar keras, dia menghardik Alin. Tubuhnya yang tegap dengan lengan berotot memandang sinis pada Alin.
Tentu saja jika Alin harus melawan dengan kekerasan maka tubuh Alin yang mungil akan menjadi bulan-bulanan pemuda itu, walaupun dalam keadaan mabuk akibat minuman keras di tangannya, dia masih sanggup meremukan tubuh mungil Alin.
Semantara itu wajah Nanda,Nova, Eli dan beberapa gadis yang berada di kursi kayu panjang itu memucat, bahkan tubuh Eli bergetar, dirinya sering di tunjuk-tunjuk pemuda di depannya.
"Aku tahu awak dari kota, Lin!" pemuda yang bernama Ijup itu menunjuk wajah Alin,"tapi janganlah kau bersikap lancang dengan kami orang kampung ini!"
"Jup, marilah kita duduk-duduk dulu," ajak Alin,"kita bicarakan baik-baik duduk perkaranya."
Ijup tertawa keras, bahkan air liurnya nampak meleleh disela-sela bibir coklatnya. Sebenarnya Ijup dulu adalah salah satu teman SD Alin, mereka satu angkatan hanya saja Ijup memilih berhenti ketika naik ke kelas lima, ayahnya yang meninggal kala itu membuatnya harus menjadi tulang punggung keluarga. Ijup juga salah satu temannya ketika bersama-sama mendalami ilmu agarma di langgar desa, bersama mereka belajar ayat-ayat Tuhan dan ajaran keagamaan.
"Kalau aku bicara dengan awak tentu saja aku kalah," ijup menghentikan gelak tawanya,"awak yang datang dari kota tentu pandai bersilat lidah, sama saja dengan aku menyerahkan leherku pada awak."
Alin menghela nafas, mencari cara agar Ijup dapat diajak bicara dengan baik, apalagi Alin melihat ketakutan pada wajah adik sepupunya dan gadis-gadis di sekitarnya.
"Jup, aku tidak seperti yang awak kira," Alin mencoba mencari kata-kata yang dapat melunakan hati sahabatnya itu.
Lanjutnya,"aku sama sekali tidak mengetahui duduk perkaranya, awak bukanlah tidak mengenaliku. Walaupun kita jarang bertatap muka namun kita sudah lama saling mengenal, dan saling melihat tabiat pula."
Ijup mendengus, sejenak pemuda itu terpaku mendengarkan perkataan Alin, rupanya alkohol yang menguasainya sudah merusak nalar budinya.
"Nah apa kataku," wajah Ijup semakin memerah,"kata-kata awak memang elok, sanggup merobohkan gunung yang tinggi, sanggup memadamkan api yang membara. Tapi awak jangan salah duga, aku bukanlah kerbau yang dapat awak tarik ulur dengan peribahasa awak."
Alin kini berada dalam kebingungan, pemuda itu sudah habis kata untuk melunakan hati Ijup, semakin dia berlemah lembut maka semakin besar prasangka Ijup terhadap dirinya.
Ijup kembali berkata, suaranya meninggi seirama dengan suara musik yang semakin kencang.
"Awak habiskan perawan di kampung ini untuk awak sendiri, awak giring mereka dalam perangkap awak, dan awak nimmati sendiri madu-madu mereka."
Mata Ijup melotot, sembari melanjutkan ucapannya,"aku bukan tidak melihat tabiat awak, seorang gadis pun telah awak lukai hati dan perasaannya, dia tersedu di atas kesenangan awak, dia merintih di atas kegembiraan dan gelak tawa awak."
Alin semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan itu, namun hati pemuda itu bergidik mendengar setiap ocehannya, siapa yang dimaksud sahabat lamanya itu, puas Alin memilah nama namun belum ada jawaban yang menuntunnya dalam penerangan atas ocehan Ijup.
"Setelah awak buat dia menelan kesedihan, kini awak pun mengincar gadis itu sebagai korban berikutnya," tunjuk Ijup pada Eli.
Eli yang mendapat tunjukan itu semakin ketakutan, serasa lemah persendiannya. Wajahnya memucat penuh kecemasan.
"Aku pun tahu awak tidak akan puas, mungkin setelah dia maka kakaknya atau pun sepupu awak sendiri akan awak makan menjadi santapan malam awak," oceh Ijup, lelaki itu berjalan dengan sedikit terhuyung semakin mendekati Alin.
"Cukup Jup!" bentak sebuah suara di belakang Alin.
Alin bernafas lega, Pardi dan Gepeng mendekati Ijup, memegang lengan lelaki bertubuh tegap itu.
Gepeng kemudian mendekati Alin dan berbisik pada pemuda itu,"tenang sajalah awak, dia akan aku urus. Sebaiknya awak antarkan sepupumu itu pulang, malam pun sudah semakin larut."
Alin mengangguk sambil menghembuskan nafas beratnya.
"Setelah awak antarkan mereka, awak lansung istirahat," kata Gepeng sebelum Alin beranjak meninggalkan perkarangan kediaman mempelai.
Alin kembali mengangguk, kemudian mengamit lengan Nanda, adik sepupunya.
"Pardi, temanilah Alin mengantarkan gadis-gadis itu!" perintah Gepeng pada Pardi,"biarkan aku dan anak-anak yang akan mengurus manusia plin-plan itu."
Pardi kemudian beranjak meninggalkan Gepeng dan berlari kecil menyususl Alin.
Sesampai di persimpangan Nova menghentikan langkahnya.
"Sebaiknya kita berbagi saja, aku dan Bang Pardi mengantar mereka," kata Nova sambil menatap Alin meminta pendapat pemuda itu,"Kak Alin antarkan Kak Nanda pulang kerumah Akeng(Kakek)."
"Sepertinya itu lebih baik," jawab Alin
"Li, awak bersama Kaka ya," pinta Nanada pada Eli,"selepas itu Kak Alin akan mengantarkan awak pulang."
Eli menatap wajah kakaknya,Nova. Gadis itu meminta saran kakaknya, rupanya perasaan bingung membuat pemikirannya menjadi kacau.
Nova mengangguk, tanda setuju dengan permintaan Nanda, sepupunya.
Dengan ragu-ragu Eli melingkari tangannya pada lengan Nanda, ketiga kemudian meninggalkan Pardi dan Nova bersama beberapa gadis yang berjalan berlawanan arah.
Mereka menyusuri jalan utama, kemudian berbelok di jalan yang sedikit sempit. Tidak banyak pembicaraan yang keluar, hanya sesekali Nanda bertanya dengan abangnya sepupunya itu. Tidak beberapa lama kemudian Nanda sudah sampai pada pada sebuah rumah yang cukup besar, itulah kediaman kakek Nanda dan Eli. Kakek Nanda memang orang yang cukup berada, ternak sapi yang selama ini dikembang biakannya memenuhi segala kebutuhan keluarga, bahkan kakeknya juga membuka cabang petrenakan sapi di kampung sebelah.
"Di sini saja Kak, rupanya orang rumah juga belum tidur," ujar Nanda pada Alin.
Alin mengamati sekelilinnya, serasa cukup aman Alin pun mengangguk.
"Tolong antarkan Eli ya Kak," Nanda tersenyum menatap Eli.
"Iya, sudah sana lekaslah awak masuk!" sahut Alin.
Nanda kemudian berbalik dan meninggalkan Alin bersama Eli. Alin tidak segera beranjak, matanya terus mengawasi adik sepupunya itu sampai pintu rumah kakeknya itu terbuka dan menghilangnya tubuh Nanda.
"Marilah Li, aku antarkan awak pulang," ajak Alin.
Keduanya berjalan beriringan, tidak ada suara yang keluar. Eli yang nampak guup tidak tahu harus bersikap, kakinya mengikuti langkah Alin berjalan pelan menyusuri jalan sempit hingga sampai di jalan utama desa.
"Li kita lewat jalan semen ya," lembut suara Alin ketika sampai pada jalan persimpangan.
Gadis remaja itu mengerutkan dahinya, walaupun gelapnya malam tidak menampakan wajah bingung Eli, rupanya Alin mengerti dengan langkah Eli yang belum juga beranjak di persimpangan itu.
"Walaupun jalannya sedikit jauh, tapi jalan ini berlawanan dengan pemuda-pemuda yang berkumpul di tarub." terang Alin.
ELi mengerti maksud Alin, gadis itu pun melangkahkan kakinya. Alin bukanlah takut sehingga menghindari pemuda-pemuda itu, hanya Alin merasa tidak pantas jika harus ribut dengan teman sekampung, apalagi masalah yang sama sekali tidak dimengertinya.
"Awak masih takut, Li?" tanya Alin menatap wajah gadis itu, cahaya bulan yang sepotong cukup memberikan penerang pada mata Alin.
"Iya sedikit," jawab gadis itu polos.
Rambut ikalnya di selepangkan di bahu kiri. Keelokan rupa gadis itu memang tidak dapat disangkal, siapa pun pasti akan setuju jika gadis itu sedang mekar dengan wajah merona dan ranum pipi menghiasi. Jangankan tertawa, disaat berbicara saja kedua lesung pipinya nampak menguncup sehingga begitu elok dipandang Mata.
Alin meraih tangan gadis itu, menggengam lembut jemarinya. Entah kekuatan apa yang memberanikan pemuda itu memegang jemari seorang gadis dengan lembut, perasaanya hanya ingin memberikan ketenangan pada gadis itu, tangan gadis itu terasa dingin.
Eli terkejut dengan perlakuan Alin, namun perasaan aneh menjalari lubuk pekanya, pikirannya menolak dengan perlakuan Alin, namun hati dan perasannya merasa nyaman dalaam genggaman tangan Alin. Hingga tak kuasa tangannya yang lembut menepis tangan Alin. Nafasnya naik turun, cukup lama kedua insan itu terpaku berdiri berhadapan,wajah Eli terunduk dalam, gadis itu tidak mempunyai cukup keberanian untuk menatap pemuda di depannya.
Dengan saling menggenggam jemari, Alin dan Eli kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalan semen kampungnya. Jalan itu bukanlah jalan utama desa Tenguwe, namun hanya jalan itulah satu-satunya jalan yang di semen oleh warga. Beberapa tahun yang lalu, ketika Alin masih duduk di bangku SD pengerjaan jalan itu dimulai, dengan bantuan dana yang Alin pun tidak tahu entah darimana. Rencananya seluruh jalan di kampung akan di lapisi semen pula, tapi itu hanya tinggal cerita, rencana tinggal rencana, dana bantuan raib entah kemana.
Alin menarik lengan Eli, di depan mereka segerombolan pemuda nampak berjalan dengan derai tawa yang tiada henti.
"Kita tunggu mereka lewat, aku tidak ingin mereka salah sangka dengan kita," ucap Alin lirih.
Eli memilih tidak bersuara, matanya pun menatap pemuda-pemuda yang berjalan di depan mereka, menyusuri jalan semen itu pula.
Tanpa melepaskan gengamannya, Alin membawa Eli duduk pada tumpukan balok kayu Bengkirai. Kayu itu tersusun dengan rapi, mungkin pemiliknya hendak menjual kayu yang dikenal kayu nomor dua itu. Walaupun tidak sekeras kayu Ulin atau kayu Borneo, kayu Bengkirai pun dikenal mempunyai serat yang kuat dan lama pula mengalami pelapukan, bahkan sifatnya hampir sama dengan kayu Borneo, semakin lama terendam air maka kayu itu pun semakin kokoh.
"Matikan saja lampu telepon awak," bisik Alin tanpa mengalihkan pandangannya pada pemuda-pemuda yang semakin lama semakin menjauh.
Eli pun segera mematikan senter yang keluar dari ujung telepon genggamnya. Gadis itu pun tidak ingin cahaya senter teleponnya menarik perhatian pemuda-pemuda yang masih bergelak tawa. Beberapa saat lamanya Alin menunggu, setelah dirasa pemuda-pemuda itu menjauh, Alin kembali mengajak Eli melanjutkan perjalanan.
"Awak ingat nomor telepon awak?" tanya Alin.
"Ingat," jawab Eli.
"Boleh aku minta nomor awak?" tanya pemuda itu lagi.
Eli kebingungan menjawab, sementara itu tangannya terasa hangat berada dalam genggaman Alin, membuat gadis itu merasakan suatu ketenangan, embun yang mulai berjatuhan memang menusuk hingga ke sumsum.
"Kenapa awak diam?" kembali suara Alin terdengar,"tapi kalau awak memang keberatan, sebaiknya lupakan saja."
Eli gugup, gadis itu menghentikan langkahnya,"bukan seperti itu, tapi bagaimana Kakak akan menyimpannya?"
Alin menatap Eli, pemuda yang baru saja menamatkan sekolah menengah atasnya itu tersenyum.
"Awak tenang saja, ingatanku cukup kuat."
Dengan ragu-ragu kemudian Eli menyebut setiap digit angka nomor telepon genggamnya, sementara Alin mengulang pula angka yang disebut Eli.
"Kakak bisa mengingatnya?" tanya Eli ragu, setelah dua kali dia menyebut nomor teleponnya.
Alin menjawab dengan kembali mengulang angka-angka tersebut dengan tepat.
"Nanti kalau sudah di kota aku akan menghubungi awak," janji Alin.
Eli hanya mengangguk, dirinya pun tidak yakin jika di kota Alin akan menghubunginya, jangankan menghubungi mengingat nomornya saja dia belum yakin. Kalau di kampung memang telepon genggam tidak bisa digunakan, hanya tempat-tempat tertentu saja telepon itu bisa digunakan, itupun harus berada di daerah yang berbukit.
Langkah mereka terus mendekati persimpangan jalan utama, di ujung jalan itulah rumah Eli berada. Rupanya rumah Eli masih terlihat lampu minyak yang menyala, seorang gadis menunggu di sana.
Eli menarik tangannya dari genggaman Alin, dengan wajah merona gadis itu melangkahkan kakinya mendekati kaki tangga rumahnya.
"Eli!" sapa gadis di teras rumahnya, orang itu adalah kakaknya yang menunggu.
Eli tersenyum pada Nova, dia mengerti kakaknya itu pasti mengkhawatirkannya.
"Terimakasih ya Kak," ucap Nova tulus pada Alin.
"Sudah menjadi kewajibanku," sahut Alin tersenyum,"masuklah, aku pun akan segera istirahat."
"Kakak hendak pulang ke mana?" tanya Eli khawatir.
Gadis itu khawatir jika Alin pulang sendirian, jarak rumahnya dengan rumah Alin lumayan jauh, paling tidak memakan waktu hingga setengah jam baru akan sampai.
"Aku menginap di rumah pengentin," jawab Alin,"kalau pulang ke rumah sekarang pastilah tidak ada orang, kunci rumah pun tidak bersamaku."
"Masuklah, dan selamat beristirahat," Alin tersenyum memandang adik-kakak itu.
Eli tersenyum lega, gadis itu kemudian menaiki tangga dan masuk ke dalam menyusul kakaknya.
Alin berbalik, perlahan pemuda itu kemabali menyusuri jalan utama menuju temppat resepsi. Jarak rumah pengantin dengan rumah Eli memang tidak terlalu jauh, saat berikutnya Alin telah sampai. Di atas tarub sudah tidak ada lagi aktivitas lagi, pemuda-pemuda terlihat keletihan setelah berjoged penuh semangat, lagu yang di putar pun sudah berganti dengan lagu-lagu musik derah melayu. Di sudut tarub, Pardi dan dan Gepeng meringkuk kedinginan, kedua pemuda itu sudah tertidur nyenyak.
Jam di dinding sudah menunjukan pukul empat kurang, pemuda itu masuk lewat pintu samping, rupanya kamar pengantin masih terang benderang. Bahkan suara tawa masih terdengar dari luar. memang begitulah adat pernikahan di Tenguwe, untuk malam resepsi kamar pengantin tidak boleh digelapkan dan keduanya harus ditemani, biasanya pemuda-pemudai yang akan menemani kedua mempelai.
"Dek," sapa Udang, abang Alin melihat kedatangan Adiknya itu.
Alin tersenyum, berdiri di mulut pintu kamar pengantin.
Seorang gadis yang duduk membelakangi segera menoleh dan menghambur mendekati Alin.
"Ocon tidak apa-apakan, Ocon baik-baik saja kan?" cercanya.
Alin mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan gadis itu.
"Harusnya aku yang bertanya demikian, awak kemana saja tadi?" balas Alin.
"Aku bersama Ojok," tunjuknya pada Abdul yang mendekur di sudut kamar.
"Semenjak dari rumah?" tanya Alin meyakinkan.
Gadis itu menggeleng, kemudian menundukan wajahnya.
"Lantas?" kembali Alin bertanya.
Gadis itu tidak menjawab, dia berbalik dan duduk di tengah-tengah kedua mempelai.
"Sini Dek!" pinta Udang,"awak belum bergambar dengan kami."
Alin kemudian melangkah mendekati kedua mempelai, seorang juru kamera mengambil gambar mereka berempat.
"Tidurlah Dek, kalau awak sudah mengantuk," kata Udang menyodorkan bantal.
Alin mengangguk dan mengambil bantal itu, kemudian mendekati Yuli yang bersandarkan dinding.
"Boleh tidur di sini?" ijin Alin menunjuk pangku gadis itu.
Gadis itu tidak menjawab, tidak pula mengangguk. Matanya memandang Alin.
"Kenapa?" tanya Alin.
Yuli menggelen, gadis berparas Ayu itu hanya membetulkan posisinya dan berselonjor di hadapan kedua mempelai.
Dengan isyarat itu Alin mengerti, Yuli sudah memberikan pangkuannya untuk menjadi bantal. Pemuda itu pun kemudian merebahkan tubuh mungilnya, sebelum mentup matanya dia tersenyum pada Yuli, sementara gadis itu hanya menunduk.
Berikutnya Alin sudah lelap dalam tidurnya, pemuda itu sudah tidak ingat lagi lakon manusia yang masih terjaga di kamar yang luas itu.
Kesibukan di kediaman mempelai tidaklah berhenti, semenjak dini hari tadi beberapa lelaki paruh baya memasak nasi dengan wajan besar atau biasa mereka menyebutnya kawah, tiga tungku berukuran besar menjadi pondasi wajan itu, dengan menggunakan kayu yang dibelah-belah maka menyalalah api itu membakar wajan yang penuh dengan beras. Biasanya mereka menanak nasi itu di pinggir sungai, berderet empat wajan yang dibakar di pinggir sungai, selepas subuh nasi itu telah matang, dengan bergotong royong pemuda-pemuda yang bertugas di pinggiran sungai membawa nasi itu dengan menggunkan kantong yang terbuat dari rotan, dan di dalamnya di alasi daun pisang, oleh warga menyebutnya engge.
Smentara di dapur ibu-ibu juga telah terbagun, setelah kokok ayam pertama atau sekitar pukul dua dini hari mereka sudah menyiapkan bumbu-bumbu, kemudian mulai mengolah daging, ayam maupun ikan menjadi menu untuk tamu undangan. Daging yang tersedia bukan hanya daging sapi, tapi juga terdapat daging kijang dan daging rusa, seminggu sebelum hari hajat sekelompok pemuda yang dipimpin tetua berburu rusa tau kijang, dua sampai tiga hari mereka bermalam di sekitaran kaki bukit yang belum berpenghuni untuk mencari hewab buruan, selain itu mereka juga mencari ikan di sungai baik dengan tuba urat maupun dengan jala tay pukat untuk menangkap ikan.
Untunglah pada pesta pernikahan abang Alin, hasil buruan lumayan banyak, selain rusa mereka juga memperoleh dua ekor kijang dan tiga ekor pelanduk atau kancil, begitu pula dengan ikan, empat ember besar yang mereka bawa dipenuhi ikan-ikan sungai. Ketika sinar mentari sudah menyembul di ufuk timur semua pekerjaan dapur sudah selsai dan siap dihidangkan pada tamu-tamu.
Siang ini adalah gari besar hajatan, seluruh tamu dan seluruh warga dari anak-anak sampai kakek-nenek diperkenankan hadir dan menyicipi hidangan yang telah disiapkan. Sebelum makan-makan mereka akan menyaksikan adat terakhir yang sudah turun-temurun dan wajib dilaksanakan, warga kampung menyebutnya mandi arak-arakan. Sekitar pukul delapan kedua mempelai dengan mengenakan kain sedada akan dimandikan dengan air yang dibawa bersamaan iringan mempelai laki-laki tadi malam. Air yang ditaburi kembang tujuh rupa itu di simpan dalam tempayan besar kemudian dihisap menggunakan bambu yang dibuat seperti tabung jarum sunting, kedua pengantin duduk di atas tikar yang dinamakan kelasah. Pada empat penjuru didirikan bambu untuk memasang kain putih tipis berwarna putih.
Selama mempelai dimandikan para tetua yang berada di tarub akan melafalkan kidung memuji kebesaran Tuhan. Setelah selesai dimandikan pengantin lelaki akan menggendong mempelai wanita untuk kembali ke dalam kamar. Warga yang menyaksikan akan beriuh rendah dengan tepuk tangan sampai mempelai lelaki hilang dari pandangan mereka.
Setelah pengantin mandi, maka gantian warga yang akan mandi atau sekedar mencuci wajah dengan air arak-arakan, menurut mereka mengambil berkah dari air itu, karena semalaman air itu di tunggui oleh tetua sambil melafalkan kebesarann Tuahan dan Nabi-Nya. Sedangkan tamu yang memang khusus berada di ruang dalam dan tarub akan menyantap hidangan yang digelar secara saprah.
Alin yang baru bangun ketika pengantin mandi air arak-arakan segera keluar dari pintu belakang, pemuda itu tidak lagi melihat Yuli, mungkin gadis itu sibuk melayani pengantin wanita karena memang begitulah tugas Yuli, selalu mendampingi pengantin wanita menyiapkan keperluannya. Alin segera menemui Pardi meminjam sepeda motor sahabatnya itu untuk pulang kerumahnya berganti pakaian.
Motor yang dinaiki Alin segera melaju, menaiki jalan yang sedikit berbukit, jalan tanah itu dipenuhi debu saat ban cangkul itu menggilas tanah kuning, setelah menempuh jarak yang kurang lebih sepuluh menit, pemuda itu memarkirkan motor di halaman rumahnya.
Seorang lelaki berumur kepala tiga duduk di atas balok kayu yang biasa dijadikan tempat santai oleh ayah Alin, lelaki itu adalah abangnya yang tertua, Ulak Banjar, begitulah namanya sering disebut. Selama bersekolah abangnya inilah yang membiayai Alin, sedangkan Abdul dibiayai abang ketiganya, Andeng Andit.
"Tidur di mana Awak?" tanya Banjar.
Alin mendekati lelaki dua anak itu,"di kamar pengantin." jawab Alin.
"Abdul mana?" tanya Banjar lagi.
"Tadi aku bangun, dia sudah tidak ada dikamar," jawab Alin,"aku kira dia sudah pulang."
"Pasti kalian tidur subuh," Banjar berdiri merapikan celana panjangnya,"kami berangkat duluan, nanti jangan lupa awak kunci rumah."
Alin mengangguk, sejurus kemudian istri dan kedua anak abangnya itu keluar rumah. Anak abangnya yang tertua masih SD, sedangkan yang kecil baru tahun ini masuk TK. Abang Alin memang jarang pulang ke desa, waktunya tersita dengan pekerjaan di kota.
Rumah yang terbuat dari kayu milik ayah Alin itu lengang, pastilah seluruh keluarganya sekarang berada di rumah mempelai. Ayah dan Ibunya tidur di rumah mempelai, sedangkan nenek, bibi ketiga dan bibi bungsunya menginap di tempat bibi kelimanya, dan kedua pamannya menginap di rumah Kakek Nanda, yang merupakan mertua dari paman ketujuhnya, Ojok Rubai.
Rumah ayah Alin kini diurus oleh kakak keempatnya, satu-satunya anak perempuan ibunya. Alin memanggil kakaknya itu dengan sebutan Ngah Leli, kakaknya itu menikah dengan pemuda kampung sebelah dan kini mempunyai seorang putra yang masih balita.
Alin kemudian mengambil tempat peralatan mandi, handuknya dililitkan sebatas pinggang. Di kampung itu memang jarang warga yang mempunyai WC, hanya rumah tertentu saja itu pun rumah mereka yang sudah menggunakan beton. Hampir seluruh warga mandi di sungai termasuk buang air besar.
Alin menuruni tebing yang sudah dibuatkan pangkalan, atau tanah yang dibuat semacam anak tangga. Beberapa saat kemudian Alin sudah sampai di tebing sungai, mereka menyebut sungai itu sungai Pade. Pemuda itu kemudian membuka handuknya dan di selampirkan pada pokok kayu dekat jamban. Alin selalu tidak puas kalau hanya sekali saja menyelam di sungai itu, airnya yang jernih membuat Alin betah berlama-lama di sungai, dulu ketika masih sering pulang ke kampung, waktu senggang digunakan Alin untuk mencari ikan dengan menilim. Menilim ini menggunakan teknik khusus, harus mampu berlama-lama dalam air, dengan wajah yang ditutpi kaca. Sedangkan lengan kanan memegang alat yang dinamakan petik, alat ini berbentuk senapan laras pendek, di dalamnya terdapat besi yang telah diruncingkan, dan pada lengan kiri memegang senter untuk penerang di dalam air.
"Lin!" sebuah suara memanggil.
Alin yang menyelam dapat mendengar walau samar, pemuda itu kemudian menyembul dari dalam air.
Rupanya Abdul, abangnya yang juga akan mandi. Abdul pun ikut menyebur ke dalam air, menyelam cukup lama. Abdul memang lihai kalau menyelam, pandai mengatur pernafasannya, setiap Abdul menilim pasti selalu banyak mendapatkan ikan, bahkan Abdul mampu melawan dingin, berjam-jam abang Alin itu berada di sungai. Kalau Alin setengah jam saja dia sudah tidak tahan, dan harus menghangatkan diri dengan perapian.
"Tadi malam aku dengar awak berselisih paham dengan Ijup," kata Abdul sambil menggosok tubuhnya dengan sabun.
"Entahlah, aku pun tidak mengerti pangkal sebabnya," jawab Alin ikut menggosok tubuhnya.
"Sebelum aku pulang dia menemuiku, katanya dia ingin minta maaf pada awak," kata Abdul kembali menyelam ke sungai.
Alin harus menunggu beberapa lama sampai Abdul kembali timbul di permukaan. Sebelum Alin berbicara, abangnya itu mendahuluinya.
"Temui saja dia dulu, katanya tadi malam dia dalam pengaruh alkohol."
Alin mengangguk, kemudian ikut masuk ke dalam air dan membersihkan sabun di sekujur tubuhnya.
"Nanti kita berangkat bersama,'' kata Abdul lagi yang sudah berada di atas Jamban mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
"Tadi awak pulang pakai apa?" tanya Alin
"Diantar Gepeng," sahut Abdul cepat.
"Terus di mana dia?" mata Alin mencari sesuatu di atas tebing.
"Dia hanya mengantar saja dan lansung pulang," jawab Abdul yang siap-siap kembali ke rumah.
Alin hanya mengangguk dan menatap punggung abangnya yang semakin menjauh menaiki tebing.
***
Acara adat sudah selesai ketika Alin dan Abdul sampai di kediaman mempelai, tamu yang datang pun tidak lagi banyak, kedua pengantin yang berada di ruang dalam nampak sibuk melayani tamu yang mengucapkan salam dan minta fhoto bersama. Abdul pun sudah membaur bersama-sama temannya, sedangkan Alin lansung menuju tarub, perutnya sudah keroncongan. Setelah nasinya dipenuhi lauk, pemuda itu mencari kursi yang terletak di bagian belakang.
Rupanya di sana Yuli dan ketiga temannya baru saja selesai makan, Alin pun memilih duduk di samping gadis itu.
"Yul, mau ikut ke belakang?" tanya salah satu temannya.
"Yuli di sini dulu, nemani aku makan," Alin yang menjawab.
Ketiga temannya menatap Yuli, menunggu jawaban gadis itu.
Yuli mengangguk dan tersenyum kepada ketiga temannya, mereka pun meningglkan Yuli bersama Alin, mereka memang tidak bisa berlama-lama, tenaga mereka diperlukan untuk membantu ibu-ibu di belakang mencuci piring.
Tidak ada suara, gadis itu diam. Dia hanya bangun sebentar mengambilkan Alin air putih ketika pemuda itu tersedak. Setelah kembali membisu, pandangannya kosong.
Alin mengeringkan bibirnya dengan tisu, lama pemuda itu menatap Yuli. Bukanlah hal yang biasa jika Yuli banyak berdiam diri, Yuli yang dikenalinya ialah gadis yang ceria, dan biasanya jarang berdiam diri selalu saja tertawa serta menceritakan hal-hal yang lucu.
"Selepas bangun, awak kemana?" Alin mencoba mencari bahan untuk berbicara dengan gadis itu.
"Tidak ke mana-mana," jawab Yuli singkat.
"Awak sedang menghadapi masalah?" Alin mengerutkan dahinya.
Yuli menggeleng.
"Ah, ini bukanlah awak yang biasanya," kejar Alin,"bicaralah!"
"Ocon sudah selesai?" Yuli berdiri,"aku kebelakang ya!"
"Tunggu dulu!" Alin menarik lengan gadis itu,"awak harus ikut bersamaku!"
Alin menyeret gadis itu keluar, gadis itu tidak dapat menolak. Kalau meronta pastilah dirinya menjadi pusat perhatian.
Alin kemudian membawa Yuli ke depan, tempat di mana ia menyimpan motor sahabatnya, Pardi. Pemuda itu kemudian menghidupkan kendaraan roda dua itu.
"Naik!" perintah Alin.
Kembali Yuli tidak dapat menolak, apalagi suara Alin terdengar meninggi, gadis itu kemudian duduk di jok motor.
Motor itu pun kemudian melaju kencang ke arah bawah, menyusuri jalan semen. Tidak beberapa lama mereka telah sampai pada jembatan gantung yang menghubungkan dusun yang terletak di sebrang sungai Pade.
Alin mematikan mesin motor, pemuda itu tidak segera turun. Dengan berlindung di bawah pohon jambu air, pohon itu sudah cukup tua, sedari Alin masih SD sampai sekarang pohon itu masih di tempatnya, warga pun sepertinya tidak ingin menganggu keberadaanya, apalagi setiap tahun buahnya selalu lebat dan dapat melegakan tenggorokan selagi berteduh di bawahnya.
Yuli yang sudah turun duduk pada akar pohon itu, tangannya memainkan ranting pohon yang sudah mengering dimakan panasnya matahari.
"Aku merasa awak menghindariku," Alin bersuara setelah cukup lama terdiam.
"Menghidar bagaiamana?" Yuli membela diri.
"Petama tadi malam awak menhindariku, padahal kemarin kita sudah berjanji berangkat bersama." Alin menatap gadis itu mencari sesuatu di sana.
Baru saja gadis itu menjawab, suara pemuda itu memotongnya.
"Aku mencari awak ke mana-mana, tapi setelah kita bertemu di kamar mempelai awak pun tidak banyak bicara, bahkan sampai sekarang."
"Aku letih, pekerjaanku banyak!" suara Yuli meninggi.
Alin mendekati gadis itu, dengan seksama di tatapinya wajah ayu Yuli.
Yuli gagap mendapat perlakuan Alin, mata Alin seperti menusuk ke dalam tubuhnya sehingga wajah gadis itu menunduk menatap bumi.
"Ini bukan tabiat awak, Yul," cerca Alin,"aku mengenali awak sedari kecil, dan aku tahu sekarang awak sedang berbohong."
"Aku," kata Yuli terputus.
"Sesuatu telah awak tutupi dariku!" potong Alin.
Yuli terpaku membisu, serasa persendiannya lemah. Tak kuasa gadis itu menahan perih di mata, guliran bening menetes satu persatu di pipinya yang ranum.
Sontak Alin gugup bukan kepalang, tak pernah dia melihat gadis itu tersedu. Tentu dalam kesedihan yang melanda hati gadis penuh ceria itu. Selama Alin mengenalinya, tak sekali pun Yuli bersimbah air mata di depannya, bahkan beberapa tahun yang silam ketika ayahnya meninggalkannya dan tak kembali lagi, tidak pernah dia menangis, entahlah kalau sendirian di kamarnya.
Setahu Alin, gadis itu adalah gadis yang mempunyai hati tegar. Bukannya tak pernah orang-orang kampung membicarakan nasib malangnya, apalagi saat dia mendengar ayahnya sudah beristri lagi dan mempunyai ana pula dari istri barunya itu, namun dia masih tegar dan dengan tegar pula dia selalu menjawab setiap ucapan miring orang kampung pada keluarganya, bahkan pada Alin dirinya mengaku sama sekali tidak bersedih. Baginya, ayahnya sudah mati dan tidak akan pernah hidup lagi dalam hatinya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Kerikil Di Ujung Mimipi"Bagian Dua""
Post a Comment