Tujuan saya menulis penuh tipuan
Dengan bagian awal memprovokasi, seperti menjelek-jelekkan seseorang
Atau menyerang sebuah buku
Film atau karya lainnya
Adalah, UNTUK MENGGAMPAR ORANG-ORANG SOTOY
Orang-orang yang,
Jika membaca, cukup membaca sepotong saja,
Lalu berdakwah untuk memberantas kemunkaran, dengan berbagai dalil, argumentasi dan fakta
Orang-orang semacam itulah, yang ingin saya gampar
Supaya dia sadar, membaca itu jangan sepotong
Home » Archive for December 2014
Buku Catatan Hati di Setiap Do'aku
Waktu baca buku CATATAN HATI DI SETIAP DOAKU, dan mulai membaca bab pertama, dan tertera di sana nama penulisnya "Asma Nadia", saya kaget, rupanya beginilah yang pernah terjadi pada rumah tangga Asma Nadia dan Isa Alamsyah.
Mbak Asma menulis:
"Dalam kondisi terhimpit, mertua dan beberapa kerabat suami berulang kali memaksa membawa saya ke Habib, Kyai, Haji, dan dukun yang dianggap orang pintar. "Suamimu bisa kerasukan perempuan itu dan lupa anak istrinya, mustahil kalau bukan karena diguna-guna."
Oh, rupanya begitulah. Sangat tak terduga dan sulit saya percaya, jika Pak Isa ternyata pernah terjerat godaan wanita. Pak Isa yang selama ini saya hormati, rajin saya baca tulisan-tulisannya, ternyata pernah juga rumah tangganya diganggu ulat sutra. Ini luar biasa. Dalam buku ini Mbak Asma, menulis begitu jujur dan terus terang. Sulit dipercaya. Tapi ini nyata. Ini bukan fiksi. Buku ini kumpulan kisah nyata. Dan Asma Nadia menulis dengan penuh kejujuran, saya kira sebab dia yakin, tulisan yang bagus adalah tulisan ditulis dengan penuh kejujuran.
"Sulit menjelaskan bagaimana perasaan saya saat mendengar pengakuannya. Penjelasan yang mungkin bukan didengar pengakuannya. Pengkuan yang mungkin bukan didorong oleh perasaan bersalah karena telah mengkhianati saya sebagai istri. Pengakuan yang lahir mungkin lebih karena terpaksa. Sebab seisi kantor sudah tahu. Perempuan yang menjerat suami saya selama ini entah berapa lama sudah dipecat." tulis Asma.
Saya perkirakan, peristiwa ini melanda rumah tangga Pak Isa saat dia masih wartawan. Dan wanita penjerat itu, mungkin teman kerja di kantor surat kabarnya.
"Saat menatapnya, saya tak bisa menghindari begitu banyak pertanyaan yang ingin sekali saya lontarkan: sudah berapa lama hubungan itu berlangsung? Apa yang menarik dari perempuan itu? Apa sajakah yang sudah mereka berdua lakukan?" lanjutnya.
Teringat sinetron-sinetron dan lagi, memang begitulah biasanya istri menanyakan. Sejak kapan berhubungan dengannya? Apa menariknya dia? Sudah melakukan apa saja?
"Saya tetap berpikir positif dan menguatkan doa. Menyibukkan diri dengan persiapan menyambut kelahiran. Alhamdulillah, bayi kami lahir sehat. Allah memperkenankan doa saya. Air mata menitik saat pertama melihat sosok mungil yang selama ini berada di dalam perut saya."
"Saya tetap berpikir positif dan menguatkan doa. Menyibukkan diri dengan persiapan menyambut kelahiran. Alhamdulillah, bayi kami lahir sehat. Allah memperkenankan doa saya. Air mata menitik saat pertama melihat sosok mungil yang selama ini berada di dalam perut saya."
Saya menebak-nebak, mungkin bayi yang lahir ini anak pertamanya, Caca. Seperti umumnya ibu pada kehamilan pertama, maka dia sangat intens menjaga. Beruntungnya, Caca terlahir sehat. Sekarang sudah remaja. Alhamdulillah, memang dia terlahir sehat. Akan tetapi, kisah berikutnya lebih parah.
"Tiga tahun sejak pengakuannya, dan persoalan dengan perempuan lain itu yang tidak selesai-selesai, suami terjerumus kian jauh dalam maksiat. Seiring langkahnya yang semakin jauh dari jalan Allah, keberkahan seperti pelan-pelan meninggalkan kami. Kebahagiaan rumah tangga hilang. Dan terakhir, usaha suami bangkrut total."
Kasihan Pak Isa, rupanya pernah bangkrut juga. Teringat dia guru saya, bahkan banyak mengajarkan ilmu kepada saya, cukup kasihan juga. Namun tetap bagi saya, separah apapun kesalahannya, bagi saya, dia tetap orang mulia, peduli, dan murah hati kepada sesama. Terjerumus ke lubang maksiat sebagaimana disebutkan di sana, saya yakin itu bukanlah kemaksiatan yang parah.
"Dalam kondisi terhimpit, mertua dan beberapa kerabat suami berulang kali memaksa membawa saya ke Habib, Kyai, Haji, dan banyak orang pintar lain: "Ira, suamimu kerasukan perempuan itu dan lupa anak sama istrinya, mustahil kalau bukan karena diguna-guna. Pasti perempuan itu yang mengambil semua harga Mas Luki...."
Stop! Stop! Tunggu sebentar.
Luki?
Kenapa Luki?
Bukankah ini sedang membicarakan Pak Isa?
Apa mungkin Pak Isa Alamsyah ini hanya nama pena. Atau mungkinkah nama sebenarnya adalah Luky Isa Alamsyah?
Tapi,
Tunggu sebentar.
Saya mau loncat dulu ke ujung
Maka saya buka halaman terakhir cerita ini
Dan wah ternyata, seberesnya cerita, di sana tertera tulisan, "Berdasarkan cerita Ira Mulia (bukan nama sebenarnya).
Weleh..welehh, ternyata cerita ini bukan pengalaman Mbak Asma, dan suaminya, itu bukan Pak Isa.
Tapok jidat pake martil
Ternyata ini bukan kisah Pak Isa.
Tapi bagaimana pun, kisahnya seru karena, ini plotnya, bukan rekayasa susunan manusia, namun realisasi rencana Yang Maha Kuasa. Best Seller nasional, isi buku ini memang menggugah. Sajian tentang keajaiban do'a dengan wajah lain, dalam bentuk cerita, sebagaimana tertera di cover depannya:
"Kisah-kisah keajaiban doa yang inpiratif, membangkitkan harapan dan menuntun keluar dari keputusasaan." Buku CATATAN HATI DI SETIAP DOAKU, layak menjadi bacaan Anda. Selami kisah-kisah di dalamnya, dan dapatkan pengalaman berharga.
Related Posts:
Sebetulnya, Kemampuan Menulis Asma Nadia Itu Biasa Saja
Setelah saya perhatikan ulang, kemampuan menulis seorang Asma Nadia itu biasa saja
Biasa saja, tidak ada yang istimewa,
Tidak jauh berbeda dengan kita, dan perbedaannya dengan kita itu sedikit saja.
Asma Nadia tekun,
Kita tidak.
Daya menulisnya biasa
Yang tidak biasa adalah, daya yang dicurahkan buat tulisannya
Buku-buku laris dia
Yang sekarang beredar laris di pasaran,
Dan naik menjadi cinema layar kaca atau layar lebar, itu bukan karya hasil kerja sembarangan.
................
Saya perhatikan di rumah penerbitanya,
Sebelum sebuah novel keluar, dan menjadi konsumsi masyarakat pembaca
Sebuah karya terus dibaca
Berulang-ulang, dirombak, diedit, dipermak, print out, periksa lagi, edit lagi,
Revisi lagi, cetak lagi, dan begitulah seterusnya hingga buku itu keluar dengan sajian bagus.
Assalamualaikum Beijing,
Novel yang beredar di tengah kita sekarang,
Yang menarik minat banyak orang, bahkan ada yang beli tak cukup 1
Ada yang beli sampai dua, tiga, dan empat buku
Buat dijual lagi, hehe.....itu lahir bukan dalam waktu sebentar.
4 tahun.
Bayangkan!
Novel "Surga yang tak Dirindukan"
Best Seller nasional, dan meraih penghargaan "Novel Terbaik Islamic Book Fair Award"
Itu kerjanya tak sembarangan. Seperti Asma Nadia sebutkan dalam pengantarnya,
Memerlukan waktu 6 tahun sampai novel itu seperti adanya sekarang.
Kita ini
Hanya melihat hasilnya.
Dan jarang memikirkan, seperti apa kerja keras di baliknya.
Kita tidak tahu, di balik karya menggugah itu, di balik karya best seller itu, di balik karya yang mengundang banyak pujian itu...
Ada mata merah akibat kelelahan membaca
Ada pening kepala terlalu banyak mengunyah kata
Ada kepala ubun-ubun panas akibat terus memikirkan kalimat terbaik
Ada setumpuk kertas awut-awutan penuh coretan-coretan, yang harus editor baca, sedikit demi sedikit, untuk mengedit ulang tulisan di filenya.
Anda percaya atau tidak
Editor itu sekarang sedang tumbang di kamar
Pening kepala
Demikianlah sesungguhnya, di balik karya hebat Asma Nadia
Sesungguhnya dari segi kemampuan menyusun kata
Dia itu biasa saja
Boleh dikata
Boleh dikatakan, biasa saja
Bedanya dengan kita, sekali lagi, adalah kerja keras yang tercurah buat bukunya.
Namun, kita
Selalu ingin segala sesuatunya instan
Sukses dengan kerja ringan. Seperti masak mie, direbus langsung matang!
Makanya, kepada siapa pun pembaca tulisan ini,
Tolong sampaikan pesan saya kepada orang bernama Dana
Draft bukunya yang sekarang dia simpan,
Sampai kapanpun takkan pernah selesai, takkan pernah jadi karya bagus, apalagi beredar menjadi buku bernilai, jika kerja keras merevisinya saja tak pernah suka.
Biasa saja, tidak ada yang istimewa,
Tidak jauh berbeda dengan kita, dan perbedaannya dengan kita itu sedikit saja.
Asma Nadia tekun,
Kita tidak.
Daya menulisnya biasa
Yang tidak biasa adalah, daya yang dicurahkan buat tulisannya
Buku-buku laris dia
Yang sekarang beredar laris di pasaran,
Dan naik menjadi cinema layar kaca atau layar lebar, itu bukan karya hasil kerja sembarangan.
................
Saya perhatikan di rumah penerbitanya,
Sebelum sebuah novel keluar, dan menjadi konsumsi masyarakat pembaca
Sebuah karya terus dibaca
Berulang-ulang, dirombak, diedit, dipermak, print out, periksa lagi, edit lagi,
Revisi lagi, cetak lagi, dan begitulah seterusnya hingga buku itu keluar dengan sajian bagus.
Assalamualaikum Beijing,
Novel yang beredar di tengah kita sekarang,
Yang menarik minat banyak orang, bahkan ada yang beli tak cukup 1
Ada yang beli sampai dua, tiga, dan empat buku
Buat dijual lagi, hehe.....itu lahir bukan dalam waktu sebentar.
4 tahun.
Bayangkan!
Novel "Surga yang tak Dirindukan"
Best Seller nasional, dan meraih penghargaan "Novel Terbaik Islamic Book Fair Award"
Itu kerjanya tak sembarangan. Seperti Asma Nadia sebutkan dalam pengantarnya,
Memerlukan waktu 6 tahun sampai novel itu seperti adanya sekarang.
Kita ini
Hanya melihat hasilnya.
Dan jarang memikirkan, seperti apa kerja keras di baliknya.
Kita tidak tahu, di balik karya menggugah itu, di balik karya best seller itu, di balik karya yang mengundang banyak pujian itu...
Ada mata merah akibat kelelahan membaca
Ada pening kepala terlalu banyak mengunyah kata
Ada kepala ubun-ubun panas akibat terus memikirkan kalimat terbaik
Ada setumpuk kertas awut-awutan penuh coretan-coretan, yang harus editor baca, sedikit demi sedikit, untuk mengedit ulang tulisan di filenya.
Anda percaya atau tidak
Editor itu sekarang sedang tumbang di kamar
Pening kepala
Demikianlah sesungguhnya, di balik karya hebat Asma Nadia
Sesungguhnya dari segi kemampuan menyusun kata
Dia itu biasa saja
Boleh dikata
Boleh dikatakan, biasa saja
Bedanya dengan kita, sekali lagi, adalah kerja keras yang tercurah buat bukunya.
Namun, kita
Selalu ingin segala sesuatunya instan
Sukses dengan kerja ringan. Seperti masak mie, direbus langsung matang!
Makanya, kepada siapa pun pembaca tulisan ini,
Tolong sampaikan pesan saya kepada orang bernama Dana
Draft bukunya yang sekarang dia simpan,
Sampai kapanpun takkan pernah selesai, takkan pernah jadi karya bagus, apalagi beredar menjadi buku bernilai, jika kerja keras merevisinya saja tak pernah suka.
Related Posts:
Apa Yang Bisa Membuat Kisah Menguras Air Mata
Apa saja yang membuat sebuah kisah menguras air mata?
Untuk mengetahui ini,
Maka pertanyaan pertamanya adalah
Kisah seperti apa yang bisa membuat Anda menangis?
Yang saya rasakan, sebuah kisah, menguras air mata, ketika tokohnya berjuang mati-matian, namun akhirnya gagal, dan kegagalannya itu dideskripsikan dengan jelas. Itu yang pertama.
Kedua, sebuah kisah menyedihkan ketika, seseorang mencintai orang lain, namun dia yang dicintainya tidak peduli, dan baru, setelah dia yang mencintainya hilang, si orang yang dicintainya baru sadar, dan menyesali habis-habisan.
Untuk sementara, dua itu saja.
Selebihnya,
Mungkin Anda bisa menambah
Untuk mengetahui ini,
Maka pertanyaan pertamanya adalah
Kisah seperti apa yang bisa membuat Anda menangis?
Yang saya rasakan, sebuah kisah, menguras air mata, ketika tokohnya berjuang mati-matian, namun akhirnya gagal, dan kegagalannya itu dideskripsikan dengan jelas. Itu yang pertama.
Kedua, sebuah kisah menyedihkan ketika, seseorang mencintai orang lain, namun dia yang dicintainya tidak peduli, dan baru, setelah dia yang mencintainya hilang, si orang yang dicintainya baru sadar, dan menyesali habis-habisan.
Untuk sementara, dua itu saja.
Selebihnya,
Mungkin Anda bisa menambah
Related Posts:
Tayangan Perdana Film Assalamualaikum Beijing
Assalamualaikum Beijing sukses menyedot perhatian penonton. Pada tayangan perdananya, penonton kehabisan tikar. Itu yang saya lihat di DETOS. Depok Town Square. Untuk tayang jam 15.00 kuota habis.
Maaf, maksud saya kehabisan tiket.
Promosi buat film ini cukup maksimal. Via twitter, facebook, fans page, dan instagram. Sebagian pengunjung datang karena bedah buku. Seorang pengunjung saya wawancarai, "Dari mana Anda mendapatkan informasi Assalamualaikum Beijing?" Dia jawab, dari bedah buku di kampusnya.
Keramaian DETOS juga diwarnai dengan kehadiran Morgan Oey, pemeran Zhongwen dalam film ini. Orang-orang berebut berfoto dengannya. Untuk wawancara, dia duduk di atas bangku panjang didampingi ibunya. Dan orang-orang melingkung siap memberikan wawancara. Asma Nadia duduk di tengah lingkaran sebagai pemandu. Sayangnya, sewaktu diminta mengajukan pertanyaan, tidak seorang pun bicara. Tidak tahu kenapa saya sendiri bungkam.
"Dana, ayo mungkin kamu ada pertanyaan?"
"Tidak ada bu!" harusnya saya menjawab belum ada.
Tapi lama-lama ada juga, "Mengapa datang bersama Mamah?" tanya saya disambut tawa fans. Mereka mentertawakan saya. Munkin pertanyaan ini norak. Kurang sopan.
"Oh ini karena, kebetulan Mamah sedang datang ke sini. Saya kan dari Singkawang." jawab Aktor kelahiran 31 Mei 1990 ini.
Singkawang? Memangnya Singkawang itu jauh ya? Bukannya Singkawang itu dekat dengan Jakarta? begitu tanya saya dalam hati.
Eh itu kan Cawang ya.
Waktu saya periksa di Wikipedia, Singkawang itu Kalimantan Barat. Busyet, jauh amat. Pantesan, sekarang ibunya sampai sampai ikut sana-sini, jumpa fans, nonton bareng, termasuk kemarin, nonton premier.
Menyaksikan besarnya antusias penonton, Pak Isa Alamyah berharap, ini terjadi semua bioskop seluruh Indonesia. Dia periksa facebook. Update status dan foto terbaru dari salah seorang menunjukkan, di salah satu bioskop di Makasar, orang antri sampai WC.
Dejurai.com memberitakan, warga Pringsewu rela ke Bioskop 21 Bandar Lampung, demi nonton film "Assalamualaikum Beijing", Mall Central Plaza, Jalan Kartini, Bandar Lampung.
Nadia, mahasiswa Teknik Elektro Unila mengungkapkan, dia rela jauh-jauh datang, karena penasaran dengan pemilihah judulnya yang Islami. Diawali kata "Assalamualaikum". Novelnya sendiri dia belum pernah baca. Jadi dia putuskan, mau langsung saja nonton filmnya.
Vera, warga Pringsewu, sengaja pergi ke Bandar Lampung, untuk nonton film ini. "Seorang wanita luar biasa, yang akhirnya mendapatkan pria yang boleh dikatakan sempurna. Saya bela-belain dari pringsewu buat nonton film ini." ungkapnya.
Namun sebuah tulisan di kompasiana mengangetkan saya. Sebagai pendukung film ini, membaca judulnya sedikit tersulut emosi, "Film Assalamualaikum Beijing: Saya Kecewa Berat." Kurang ajar! Berani sekali orang lain. Kalau niat baik, tak usah pake tulisan yang disebar. Datang atau hubungi sendiri bagian pembuat film, atau setidaknya, kepada penulis buku sekaligus penerbit buku yang menjadi sumber pembuatan film ini. Saya pun membaca tulisan itu, sekilas, ternyata dia kecewa berat dengan film itu, bukan kecewa dalam arti sebenarnya. Dia kecewa, karena pertama kali nonton premier di epicentrum tidak kebagian tempat duduk. Dia pun kecewa, mengapa sepanjang tahun ini, baru film ini yang datang dengan pesan moral mendidik. Brengsek! Ada-ada saja orang ini!
Melihat antusias penonton, dan sambutan mereka, dada membusung, harapan membesar, semoga ke depannya, film-film Islami semakin bagus, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Maaf, maksud saya kehabisan tiket.
Promosi buat film ini cukup maksimal. Via twitter, facebook, fans page, dan instagram. Sebagian pengunjung datang karena bedah buku. Seorang pengunjung saya wawancarai, "Dari mana Anda mendapatkan informasi Assalamualaikum Beijing?" Dia jawab, dari bedah buku di kampusnya.
Keramaian DETOS juga diwarnai dengan kehadiran Morgan Oey, pemeran Zhongwen dalam film ini. Orang-orang berebut berfoto dengannya. Untuk wawancara, dia duduk di atas bangku panjang didampingi ibunya. Dan orang-orang melingkung siap memberikan wawancara. Asma Nadia duduk di tengah lingkaran sebagai pemandu. Sayangnya, sewaktu diminta mengajukan pertanyaan, tidak seorang pun bicara. Tidak tahu kenapa saya sendiri bungkam.
"Dana, ayo mungkin kamu ada pertanyaan?"
"Tidak ada bu!" harusnya saya menjawab belum ada.
Tapi lama-lama ada juga, "Mengapa datang bersama Mamah?" tanya saya disambut tawa fans. Mereka mentertawakan saya. Munkin pertanyaan ini norak. Kurang sopan.
"Oh ini karena, kebetulan Mamah sedang datang ke sini. Saya kan dari Singkawang." jawab Aktor kelahiran 31 Mei 1990 ini.
Singkawang? Memangnya Singkawang itu jauh ya? Bukannya Singkawang itu dekat dengan Jakarta? begitu tanya saya dalam hati.
Eh itu kan Cawang ya.
Waktu saya periksa di Wikipedia, Singkawang itu Kalimantan Barat. Busyet, jauh amat. Pantesan, sekarang ibunya sampai sampai ikut sana-sini, jumpa fans, nonton bareng, termasuk kemarin, nonton premier.
Menyaksikan besarnya antusias penonton, Pak Isa Alamyah berharap, ini terjadi semua bioskop seluruh Indonesia. Dia periksa facebook. Update status dan foto terbaru dari salah seorang menunjukkan, di salah satu bioskop di Makasar, orang antri sampai WC.
Dejurai.com memberitakan, warga Pringsewu rela ke Bioskop 21 Bandar Lampung, demi nonton film "Assalamualaikum Beijing", Mall Central Plaza, Jalan Kartini, Bandar Lampung.
Nadia, mahasiswa Teknik Elektro Unila mengungkapkan, dia rela jauh-jauh datang, karena penasaran dengan pemilihah judulnya yang Islami. Diawali kata "Assalamualaikum". Novelnya sendiri dia belum pernah baca. Jadi dia putuskan, mau langsung saja nonton filmnya.
Vera, warga Pringsewu, sengaja pergi ke Bandar Lampung, untuk nonton film ini. "Seorang wanita luar biasa, yang akhirnya mendapatkan pria yang boleh dikatakan sempurna. Saya bela-belain dari pringsewu buat nonton film ini." ungkapnya.
Namun sebuah tulisan di kompasiana mengangetkan saya. Sebagai pendukung film ini, membaca judulnya sedikit tersulut emosi, "Film Assalamualaikum Beijing: Saya Kecewa Berat." Kurang ajar! Berani sekali orang lain. Kalau niat baik, tak usah pake tulisan yang disebar. Datang atau hubungi sendiri bagian pembuat film, atau setidaknya, kepada penulis buku sekaligus penerbit buku yang menjadi sumber pembuatan film ini. Saya pun membaca tulisan itu, sekilas, ternyata dia kecewa berat dengan film itu, bukan kecewa dalam arti sebenarnya. Dia kecewa, karena pertama kali nonton premier di epicentrum tidak kebagian tempat duduk. Dia pun kecewa, mengapa sepanjang tahun ini, baru film ini yang datang dengan pesan moral mendidik. Brengsek! Ada-ada saja orang ini!
Melihat antusias penonton, dan sambutan mereka, dada membusung, harapan membesar, semoga ke depannya, film-film Islami semakin bagus, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Related Posts:
Buku Novel Ketika Mas Gagah Pergi
"Kita ini orang miskin Muning, sudah menderita. Jangan kau tambah lagi penderitaan kita dengan rusak akhlakmu." Pelan, berat, penuh beban, suara itu keluar dari sepasang bibir tua Bah Ali. Kopi di depannya, tadinya hendak dia minum. Namun batal, pegangan pada cangkir dia lepas. Melihat Muning keluar kamar pake rok mini, belum juga dia minum, kopi langsung pahit di lidahnya. Pahit sekali. Pahit karena, tersadar lagi, akan miskin hidupnya, reyot rumahnya, dan yang parah, adalah tingkah Muning, gadis bungsunya yang, menurutnya, bertingkah rusak.
"Bawel!" dengus Muning di depan cermin. Cermin lemari. Senyam-senyum, senyam-senyum, lenggak-lenggok, lenggak-lenggok mematut diri. Lipstik ungu dia usapkan ke bibir. Nyeleweng ke pipi..."Huhhhhhh!!!!" jengkel dia ambil lap ke dapur.
Bah Ali diam. Jika pun diteruskan, bisa dia tebak, jawaban muning pasti sama. Seperti biasanya: "Bawel".
Sebenarnya, anak Bah Ali empat. Semuanya wanita. Tiga anaknya yang lain menikah. Tinggal jauh-jauh, bahkan di luar pulau. Sedang istrinya, Ni Encun, wafat enam tahun lalu. Keracunan tempe bongkrek. Maka, yang tinggal di rumah kayu itu cuma dia dan Muning.
Sebenarnya, anak Bah Ali empat. Semuanya wanita. Tiga anaknya yang lain menikah. Tinggal jauh-jauh, bahkan di luar pulau. Sedang istrinya, Ni Encun, wafat enam tahun lalu. Keracunan tempe bongkrek. Maka, yang tinggal di rumah kayu itu cuma dia dan Muning.
Tiap kali Muning ketus, ingin rasanya Bah Ali damprat. Namun selalu, rasa khawatir membendungnya. Khawatir Muning hilang lagi. Derita kehilangan anak, telah dirasakannya, jauh lebih berat. Tak tanggung-tanggung, 6 tahun lebih Muning pernah hilang. Pergi dari rumah, tanpa kabar, entah ke mana. Mencari ke sana ke mari tak ada. Sampai lelah, jatuh sakit, kejang-kejang, hingga typus payah. Untung kakak Muning telaten. Merawatnya hingga sembuh. Lalu demi ketenangan hatinya, dibawa berobat kepada seorang Kiai.
Pak Kiai memintanya banyak ibadah.
Bah Ali terima. Terus terang pada Pak Kiai dia katakan, jika selama ini dia jarang Shalat. Hanya Maghrib, itu pun kalau ingat. Shalat lain nyaris tak pernah, selain yang seminggu sekali: Shalat Jum'at. Sepulang dari sana, Bah Ali rajin shalat, dzikir dan berdo'a. Ke mesjid, nyaris tak pernah lewat.
"Itu menentramkan" nasihat Kiai itu terus diingatnya. Dan benar saja, shalat memberinya tenang. Bukan lupa sama sekali, mana mungkin melupakan anak. Hanya, beban kehilangan sedikit ringan. Dan alangkah bahagianya saat enam tahun kemudian, Muning datang. Sudah remaja. Ayu wajahnya, bersih kulitnya. Namun bahagia itu surut seketika, saat dilihatnya pakaian Muning minim.
"Muning, kamu dari mana saja?"
"Ada Bah."
"Iya ada itu di mana?"
"Ada saja Bah."
"Kamu tinggal sama siapa? Dari mana makan? Siapa yang merawatmu selama ini?"
"Maaf Bah!"
Muning malah ngeloyor ke kamar. Bau rokok segera tercium.
* * *
Sabtu sore, langit cerah. Mentari menjingga, hendak turun ke ufuk. Adzan berkumandang, dan saat itu, Bah Ali ke pancuran, wudlu.
Muning? Pergi dengan pakaian seksi, dengan pakaian seksi, menuju pangkalan ojek. Entah mau ke mana.
Langsung ke mesjid, Bah Ali shalat dan wirid. Beres itu, tidak pulang. Duduk menunggu Isya di teras mesjid. Bersampingan dengan Pak Kusen, tetangganya.
"Mengapa ya, kita punya nasib sama. Anak saya gadis, lakunya parah. Anakmu bujang, juga parah. Gaulnya di jalan. Rambutnya gondrong. Berkalung rantai. Rambut anak saya malah cepak, berkalung rantai juga, dan sekarang, entahlah, tadi sore sepertinya mau pergi..." curhat Bah Ali.
"Hehe, itu kan anak Bah Ali. Si Dadang anak saya, alhamdulillah tidak."
"Lho, yang benar Pak?"
"Iya, alhamdulillah. Lebih tepatnya sudah tidak lagi."
"Dia Insaf? Pak Kusen, tolong beritahu saya, itu bagaimana anak Bapak bisa berubah secepat itu?"
"Tidak tahu. Tadi kan lihat sendiri ke mesjid."
"Oh tadi ke mesjid?"
"Iya."
"Iya."
"Kok saya tak lihat?"
"Ya, memang shalatnya masih terlambat. Tidak wirid. Usai shalat langsung pulang. Tapi dibanding sebelumnya, sekarang sudah lumayan. Rambut dia potong pendek, anting dia tanggalkan, dan, kalau tak ada perlu, tak mau dia keluar malam."
"Lha, itu bagaimana bisa?"
"Kan saya katakan tadi Bah, tidak tahu. Entah sebab nasihat siapa."
"Mungkin Pak Kusen menasihatinya?"
"Iya, memang sering. Tapi, tak sekali pun dia gubris. Tiap kali mau ngobrol, langsung dia potong, 'Sudahlah Pak, dulu juga waktu muda, Bapak sama seperti saya. Sama bandelnya. Cuma jenis bandelnya saja yang beda,' gitu katanya."
"Tidak mungkin tanpa sebab," Bah Ali makin penasaran. Kini duduknya menghadap Pak Kusen. "Kalau boleh, bakda Isya nanti saya mau ikut ke rumah ya Pak?"
"Oh ya, dengan senang hati."
Waktu Isya tiba, Dadang datang. Ke mesjid. Ikut berjamaah. Dan kemudian, seperti rencana, usai Isya Bah Ali ikut ke rumah Pak Kusen.
Boleh dikata, Pak Kusen kaum menengah. Rumahnya gedong, berlantai keramik, Gajih gurunya cukup buat mengumpulkan uang dari bulan ke bulan membangun rumah, meski gayanya masih gedong tahun 1980-an, lurus-lurus saja.
Bukan dengki, namun melihat itu, Pak Ali sedih nian rasanya. Teringat rumah reyotnya sendiri. Dan lebih sedih dari itu adalah, saat teringat anaknya: Muning.
Di ruang tamu, kedua ayah itu duduk berhadapan, terhalang meja.
"Mahh...," Pak Kusen memanggil istrinya.
"Ya Pak!" suara dari ruang tengah.
"Air minum. Ini ada tamu."
Ketika Bu Kusen menyajikan air, Pak Kusen memintanya duduk, "Begini Mah, Bah Ali ini datang, katanya mau tahu, mengapa anak kita berubah?"
"Memangnya Bapak tidak tahu?"
"Tidak Mah! Tolong Mamah jelaskan!"
"Harusnya sebagai orang tua, Bapak juga tahu!"gugat Bu Kusen.
"Itulah Mah. Entah kenapa, dia sungkan curhat pada saya. Sudah biasanya kan, anak laki-laki itu dekat dengan ibunya. Ayolah Mah ceritakan, sekalian Bapak ingin tahu, kenapa itu Si Dadang sampai berubah?"
"Sebenarnya, Mamah juga tidak tahu Pak! Tapi Mamah perhatikan, Si Dadang berubah, setelah dia main ke rumah pamannya."
"Nah, bagaimana setelah dia pulang dari rumah pamannya?" tanya Bah Ali tak sabar.
"Ya, begitulah berubah."
"Yah, Mamah, itu mah kan kita sudah tahu. Sebabnya Mah! Sebabnya! Kita ingin tahu sebabnya!"
"Si Dadangnya kan ada di dalam. Tanyakan saja langsung." Ingat Bu Kusen, "Dang.....Dadang!!!"
"Ya Mah!" samar terdengar dari kamar.
"Sini!"
Tak sampai semenit, Dadang muncul. Masih pakai sarung. Sebuah buku terpegang di tangannya.
"Duduk Dang!" minta Pak Kusen.
"Dang, kalau Bapak boleh tahu, bagaimana awalnya sampai kamu berubah?"
"Ini Pak!" Dadang menyodorkan buku.
"Buku apa ini?"
"Ya, buku ini pemberian paman. Ini kisah fiksi Pak, tapi sangat menyentuh. Saya tertarik dengan tokoh Mas Gagah. Setelah membaca kisahnya, saya tertarik buat berubah."
"Kamu sudah selesai bacanya?" tanya Pak Kusen.
"Tujuh kali tamat Pak! Sekarang ke delapan kalinya, sedang mengulang."
"Nah, bagaimana kalau buku ini kita pinjamkan dulu ke Bah Ali, biar Bah Ali suruh juga Si Muning, anaknya membaca."
"Boleh."
"Mas Gagah itu siapa?" sela Bu Kusen.
"Tokoh dalam buku ini Mah. Ini yang jadi nama judulnya." ucap Dadang sambil menunjukkan cover depan buku itu, KETIKA MAS GAGAH PERGI.
"Lha itu kan teladan buat remaja pria saja. Sedang anak Bah Ali, Si Muning kan gadis."
"Tidak Mah, di dalamnya, ada teladan pula buat anak gadis. Penulisnya luar biasa, tanpa menggurui, dia sukses menunjukkan sosok teladan bagaimana seorang gadis ideal shalihah. Ini saya bacakan di pengantarnya, seorang remaja wanita terpengaruh buku ini, hingga memutuskan berjilbab."
Dan begitulah, singkat cerita, di rumahnya, Bah Ali berikan buku itu pada Muning. Tak secara langsung. Buku itu dia simpan di kamar anaknya itu.
Satu malam lewat, satu siang lewat, satu hari satu malam lewat. Dua hari lewat, namun yang Bah Ali tunggu, tak terjadi juga. Putri bungsunya tak pula berubah.
Tiga hari lewat.
Mungkin akan berubah. Ternyata tidak.
Bah Ali penasaran. Malam, saat Muning pergi, Bah Ali masuk kamarnya, mencari buku itu. Di ranjang tak ada. Di atas lemari baju tak ada.
Bah Ali melongok ke bawah ranjang. Gelap. Diambilnya lampu senter. Dan..."Wadduh..,ini buku, bukannya dibaca, malah dilempar ke kolong."
Semalaman itu, Bah Ali gusar. Beban batin dirasakannya. Bagaimana 'atuh' cara menasihati anaknya? Dadang sudah berubah, syari'atnya dengan membaca. Ya, karena itu Dadang, anak guru, tersuasanakan membaca di rumahnya. Ayahnya Pak Kusen seorang guru, Sejak kecil, punya banyak buku rumah. Sedang Muning tidak. Muning bukan Dadang. Muning anaknya, sekolahnya cuma sampai SD. Kurang suka membaca.
Wajar, jika buku itu malah dilempar ke kolong ranjang.
"Hmmmhhhh." nafas panjang dihembuskannya. Tak lama, Adzan Shubuh terdengar. Di atas ranjang, kedua tangan dia tangkupkan ke muka. Diusapkan dari atas ke bawah, "Hemmmhhhh" sekali lagi dihembuskannya. Dari kamar samping terdengar batuk Muning.
Pembaca sekalian, tidak tahu kenapa, sampai di sini, ide saya jadi mati. Tidak tahu lagi bagaimana cara meneruskan kisah. Susah saya pikirkan, bagaimana caranya supaya si Muning akhirnya jatuh cinta kepada buku "Ketika Mas Gagah Pergi". Dan tentu saja, sebelum dia cinta, harus terlebih dahulu dia cinta membaca. Dan untuk cinta membaca, tentu saja ini membutuhkan sebab juga. Itulah yang buat saya pusing kepala, Belum ada ide bagus, namun, akan saya teruskan cerita ini kepada suatu malam.
Seperti biasanya, Muning pergi dari rumah. Belum saya beritahukan kepada Anda, sebenarnya selama ini dia pergi ke mana. Baiklah kita ikuti saja. Naik ojek, dia berangkat menuju sebuah tempat. Selama ini ayahnya mengira dia pergi ke kota. Namun tidak. Sebenarnya dia pergi ke kampung lain, hingga tiba di depan sebuah rumah, motor dihentikannya. Rumah besar, berpagar tinggi, bergerbang, bertaman luas. Muning masuk ke sana. Terdengar, dari dalam, anak-anak ramai mengaji. Ke sanalah Muning masuk. Menuju kamar. Masuk WC-nya. Bersuci. Menuju Mushala. Shalat. Lalu, dengan berpakaian gamis, dia ke ruang mengaji anak-anak.
"Bu Aisyah.....aku dulu...aku dulu," anak-anak berebutan.
Satu persatu, anak-anak itu membaca Iqra. Mestinya setiap kesalahan Aisyah luruskan, namun lewat. Banyak bacaan salah, luput dari perhatiannya. Konsentrasinya buyar. Aisyah Kemuning teringat terus pada Abahnya. Sampai bela-belain memberinya buku bacaan, saking inginnya Aisyah berubah. Betapa inginnya dia melihat Aisyah shalihah begitu besar. Aisyah paham, melihat keshalihan anak, itu yang sangat orang tua rindukan.
Dan sebenarnya Muning, beginilah sebagaimana adanya sekarang. Atas didikan Bu Hajah Handayani, sejak SMP telah berjilbab, shalihah. Namun satu hal yang buatnya tak suka Bapaknya melihat dia Shalihah adalah, ketidakpedulian Abah akan pendidikannya. Dulu, selulus SD ayahnya malah menginginkan Aisyah ke Timur tengah, menjadi TKI, untung saja Biro tak menerima anak sekecil Aisyah saat itu. Jadi, begitu tak berperasaaannya Abah. Dan mau dia sebenarnya, Aisyah tak perlu meneruskan sekolah. Pernah dia suruh Aisyah jadi pembantu rumah tangga di kota, Aisyah tak mau. Dia kabur ke rumah bibinya yang tak jauh dari sana. Nah, bibinya inilah yang kemudian mengantarkan Aisyah ke rumah Bu Hajah Handayani untuk dijadikan anak asuhnya. Sejak SMP, kemudian SMA. Selama SMP-SMA, sekali pun Muning tak pernah pulang, bahkan hingga Abah sakit, Bibi dan Paman Muning tetap memintanya tinggal di sana. Biarlah. Biar itu jadi pelajaran. Dan memang benar, Bah Ali mendapatkan pelajaran. Kehilangan Muning telah membuatnya berubah.
Sekarang Muning sudah pulang, sudah kembali ke rumah Abahnya, namun sebuah dendam masih terselip, dia ingin Abahnya tahu jika dia adalah seorang muslimah Shalihah. Dia hanya ingin Abahnya tahu, betapa inilah akibat tekanan abahnya dulu terus meminta Muning bekerja. Muning merasa bagus pempilannya sebagai muslimah selama ini bukan hasil didikan Abahnya, maka menurut Muning, Abahnya tak berhak melihatnya sebagai wanita shalihah. Terus terang, sampai sekarang dia masih benci kepada ayahnya.
* * *
Tatkala segala tindakannya itu dia ceritakan kepada Bu Hajah Handayani. Tak banyak bicara, Bu Hajah hanya mengajaknya merenungi sebuah ayat:
"Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil"
Lalu, sedikit nasihat.
"3 Orang kamu dzalimi!"
"Siapa saja Bu?"
"Kamu, ayahmu, dan Ibu. Ibu tak mau kamu begitu."
Dan sebenarnya Muning, beginilah sebagaimana adanya sekarang. Atas didikan Bu Hajah Handayani, sejak SMP telah berjilbab, shalihah. Namun satu hal yang buatnya tak suka Bapaknya melihat dia Shalihah adalah, ketidakpedulian Abah akan pendidikannya. Dulu, selulus SD ayahnya malah menginginkan Aisyah ke Timur tengah, menjadi TKI, untung saja Biro tak menerima anak sekecil Aisyah saat itu. Jadi, begitu tak berperasaaannya Abah. Dan mau dia sebenarnya, Aisyah tak perlu meneruskan sekolah. Pernah dia suruh Aisyah jadi pembantu rumah tangga di kota, Aisyah tak mau. Dia kabur ke rumah bibinya yang tak jauh dari sana. Nah, bibinya inilah yang kemudian mengantarkan Aisyah ke rumah Bu Hajah Handayani untuk dijadikan anak asuhnya. Sejak SMP, kemudian SMA. Selama SMP-SMA, sekali pun Muning tak pernah pulang, bahkan hingga Abah sakit, Bibi dan Paman Muning tetap memintanya tinggal di sana. Biarlah. Biar itu jadi pelajaran. Dan memang benar, Bah Ali mendapatkan pelajaran. Kehilangan Muning telah membuatnya berubah.
Sekarang Muning sudah pulang, sudah kembali ke rumah Abahnya, namun sebuah dendam masih terselip, dia ingin Abahnya tahu jika dia adalah seorang muslimah Shalihah. Dia hanya ingin Abahnya tahu, betapa inilah akibat tekanan abahnya dulu terus meminta Muning bekerja. Muning merasa bagus pempilannya sebagai muslimah selama ini bukan hasil didikan Abahnya, maka menurut Muning, Abahnya tak berhak melihatnya sebagai wanita shalihah. Terus terang, sampai sekarang dia masih benci kepada ayahnya.
* * *
Tatkala segala tindakannya itu dia ceritakan kepada Bu Hajah Handayani. Tak banyak bicara, Bu Hajah hanya mengajaknya merenungi sebuah ayat:
"Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil"
Lalu, sedikit nasihat.
"3 Orang kamu dzalimi!"
"Siapa saja Bu?"
"Kamu, ayahmu, dan Ibu. Ibu tak mau kamu begitu."
Related Posts:
Buku Novel Surga yang Tak Dirindukan
Beli novel bestseller,
Atau dari penulis yang sudah Anda percaya.
Atau belilah novel, yang ketika Anda membacanya, Anda membacanya bagai membaca surat cinta.
Beli novel buat coba-coba, itu bisa merugikan Anda. Keluar uang, terus novelnya Anda buka, Anda baca, ternyata tidak seru, terus Anda tinggalkan. Itu buang-buang duit saja. Itu buku buat apa? Buat panjangan?
Kalau cuma buat pajangan, sudah saja mungut botol dari jalan. Trus pajang di lemari. Bariskan, di tengah rumah, di dapur, di kamar. Itu lebih membanggakan dari buku. Pas nanti tamu masuk, melihat, langsung kagum. Wah ini orang luar biasa. Peliharaan jinnya banyak! Lihat saja botol tempat jinnya.
SURGA YANG TAK DIRINDUKAN
Jelas tertera di cover depannya
"Nasional Best Seller"
"Novel terbaik Islamic Book Fair Award"
Tak tanggung-tanggung, novel ini disusun dalam enam tahun. Asma Nadia katakan, dari 49 buku yang saya tulis, ini buku terlama dalam penyusunannya. Juga novel paling berkesan dari tingkat kesulitannya.
Dengan kata lain, penggarapan novel ini tak sembarangan. Bukan hasil kerja semalam. Membutuhkan persiapan matang, penyusunan, revisi, bahkan perombakan judul.
Saat novel ini disusun, "begitu banyak pertanyaan bermain di kepala saya. Selama proses penulisannya, saya melakukan diskusi dengan para ayah. Mencoba memahami isi hati dan kepala laki-laki. Sempat membuat ayahnya anak-anak jengah dengan pertanyaan terlalu detail yang membuatnya--sebagai laki-laki--tak nyaman, bahkan meski disampaikan kepada perempuan yang telah dinikahi belasan tahun."
Beban lain yang ditanggung Asma Nadia, adalah kecaman dari orang-orang. Setelah tenggelam oleh ceritanya, ada yang protes, ini novel seorang feminis. Tak sedikit yang menyebutnya anti poligami. "Namun, salah satu yang membuatnya tersenyum adalah komentar dari kaum adam, yang berterima kasih sebab novel ini telah membuat mereka lebih mengerti hati perempuan, dan bertekad tak menyakiti. Alhamdulillah." tulisnya dalam pengantar.
Selain isi dan gaya bahasanya, buku ini telah manis dari tampilan jilidnya. Juga tulisan di sampul belakang.
Apa artinya rumah jika tak lagi menjadi pelabuhan yang ramah bagi hati seorang suami? Apa jadinya surga jika ia tak lagi dirindukan? Benarkah dongeng seorang perempuan harus mati agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan?
Ah surga yang rentak-rentak.
Peristirwa tragis dan e-mail aneh dari gadis bernama Bulan.
Pertanyaan terus mendera: "Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada suatu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat seorang lelaki bertahan dengan satu perempuan?
Sementara seseorang berjuang melawan Tuhan, waktu dengan sabar menyusun keping-keping puzzle kehidupan yang terserak, lewat skenario yang rumit namun menakjubkan.
Sebelumnya, buku pernah terbit dengan judul "Istana Kedua", namun kemudian, atas pertimbangan estetika dan berbagai diskusi, Asma Nadia mengubahnya jadi "Surga yang Tak Dirindukan".
Buku ini mendapatkan pujian dari sastrawan senior Putu Wijaya:
"Para penulis perempuan seperti gumpalan burung-burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puisti, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak.
Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka, papar Asma Nadia mengakhiri kisahnya. Sebuah suara lirih yang menggelegar karena menunjukkan tekad yang menjadi wajah lain dari langkah perempyan Indonesia masa kini."
Related Posts:
Ingin Produktif Menulis? Tidurlah.
Sialnya, gadang jarang berguna. Bangun si bangun, manco sih manco, namun tangan, bukannya menulis, malah klak-klik sana-sini, main musik, melihat film, baca ini, baca itu. Sedangkan menulis, baru juga tiga baris, otak buntu, nulis tertunda, dan akhirnya, waktu habis, karya terbengkalai. Buka lagi di waktu lain, selera sudah hilang.
Jika pun maksa menulis, otak susah fokus. Kalau sudah begitu, maka biasanya, memperindah kata, menata logika, buat kalimat mengena, jadi susah. Tidak tahu kenapa, saraf seperti macet. Kerutan kening berlipat, dan berkali-kali, saya mengurut kepala.
Maka dalam kondisi begitu, tak perlu paksakan diri. Tidur saja.
Biasanya ngantuk ini datang sekitar Isya. Bahkan selagi shalat, ngantuk sudah payah. Jadi mengertilah, sebenarrnya itu alamat, pertanda, bel alarm buat kita, sudah masuk jam istirahat. Kerja bukan keputusan tepat. Yang tepat adalah, segera cuci kaki, pergi ke kasur, tutup selimut, terus tidur.
Untuk bangun tengah malam, dan kerja dalam kesunyian. Itu yang saya lakukan tadi malam.
WAKTUNYA ORANG RAMAI-RAMAINYA
Terlebih di tempat saya, bakda Isya orang sedang ramai-ramainya. Sampai jam sebelasan, mereka masih bangun: main musik, ngobrol, facebook. Memaksakan diri menulis pun akan terganggu. Seperti saya semalam. Orang ribut, ngajak ngobrol, setel musik keras, Ingin rasanya teriak: "DIAM!!!!
Beneran saya mau teriak. Saya sedang kerja. Bos nyuruh saya, kudu nulis banyak. Sehari delapan tulisan. Jangan ganggu saya. Saya bisa gagal. Sehari delapan artikel itu bukan tugas ringan. Dan jangan nulis asal. Harus bagus, harus kreatif. Supaya kreatif, butuh konsentrasi. Kalau ramai begini mana bisa.
Sayangnya saya susah tegas. Sebabnya terkadang, saya juga butuh dia. Bahkan tak terasa, saya pun ganggu dia. Mengajaknya ngobrol, dan dengan rela, dia sambut obrolan saya. Jangan mengecewakan. Itu bisa menciptakan suasana tak sehat. Jadinya saya biarkan, bahkan seringnya, saya pun ngobrol asyik dengan mereka.
Dalam kondisi demikian, satu-satunya jalan cuma pamit, lalu tidur. Sebab, justru dengan tidur, produktifitas kerja bisa meningkat.
BAGAIMANA BISA?
Bagaimana bisa, dengan tidur, produktifitas kerja meningkat?
Dale Carnegie pernah menceritakan dalam salah satu bukunya: How To Stop Worrying and Start Living. Jadi, sekelompok pekerja, pengangkut barang, disarankan program baru bagi mereka. Setiap sekian menit sekali, mereka disarankan tidur. Dan ternyata, terjadi perbedaan jelas. Setelah program tidur di sela kerja, produktifitas kerja mereka meningkat. Jikka misalnya, sebelumnya, mereka cum abisa mengangkut 9 barang per 15 menit, setelah program ini, bisa sampai 13 barang. Kisah persisnya saya lupa. Jika ingin jelas, cari saja bukunya. Ini sekedar bukti saja, dengan tidur, produktifitas kerja meningkat.
Buat menulis demikian juga. Dengan tidur, produktifitas menulis meningkat. Waktu menulis ini, saya buka artikel tentang manfaat tidur, dan menemukan, antara lain: Meningkatkan memori, menjaga kesehatan, meningkatkan nilai akademis, meringankan stres, dan itu semua sangat dibutuhkan buat menulis produktif.
Terasa oleh saya, dengan praktik tidur cepat, bangun malam, pikiran sudah segar. Suasana sunyi, ide baris rapi, antri dalam kepala, siap disalurkan, dan jemari, lincah menyusun tulisan. Lihat saja hasilnya, tulisan ini.
Tulisan ini saya buat mulai dari jam 3.00 dini hari, sampai jam 11.24 siang.
Tulisan ini saya buat mulai dari jam 3.00 dini hari, sampai jam 11.24 siang.
Berapa jam tuh, nyaris 9 Jam.
Bayangkan, satu artikel 9 Jam. Produktifkah?
Bayangkan, satu artikel 9 Jam. Produktifkah?
Produktif payah!
Related Posts:
Mengapa Harus Beijing?
Apa kabar pencinta film? Masih menunggu Assalamualaikum Beijing? Bersabarlah. Tinggal sehari lagi. Bioskop mulai menayangkannya besok.
Assalamualaikum Beijing.
Mengapa harus Beijing? Mengapa tidak Kualalumpur? Mengapa tidak New Delhi, Amsterdam, Kairo, Paris, atau Washington DC?
Atau mengapa tidak Kalideres, Cinere?
Mengapa tidak Kampungrambutan? Mengapa tidak Ciputat? Mengapa tidak Assalamualaikum Lebak Bulus?
Hehe.
Itu karena,
Semata ingin memberi yang terbaik kepada pemirsa.
Beijing adalah China. Dan tahu sendirilah bagaimana China...
Sejak dulu, China terkenal kotanya ilmu. Terbukti dengan menyebarnya nasihat: "Tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri China." Sebagian mengatakan ini hadits, sebagian lain meragukan. Kata mereka, ini hadits lemah. Tapi bagaimanapun, satu negara unggul sejak dulu memang China.
China sudah mengenal tulisan sejak 1500 tahun SM. China juga negara penemu kertas. Ilmu pengobatan China termasuk ilmu pengobatan tertua dan masih berlaku sampai sekarang. China masuk tiga negara besar dengan kekuatan militer terbaik. China menerapkan pendidikan maksimal pada generasinya. Anak SD di sana belajar dari jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 sore. China adalah raksasa ekonomi kedua di dunia. China juga terkenal tegas dalam menerapkan hukuman bagi para pelanggar di sana. Terbukti di sana, para koruptor, hukumannya sudah bukan lagi penjara, tapi harus kehilangan nyawa. DITEMBAK MODDDAR!!!
Film ini pun mengambil setting Great Wall. Satu-satunya bagunan manusia yang bisa dilihat dari angkasa adalah tembok besar China. Secara khusus, satu setengah jam, tembok ini diminta dikosongkan buat proses shooting film.
Itu semua dilakukan semata, sekali lagi, saking inginnya memberikan yang terbaik buat Anda, pencinta Cinema Indonesia.
Itulah sebabnya China dipilih. Itulah sebabnya mengapa harus "Assalamualaikum Beijing".
Dengan nonton film ini, secara audio-visual, Anda akan dibawa ke sana, jalan-jalan, menikmati sudut-sudut kota, pemandangan, sambil larut dalam keharuan cerita. Sehingga setelah nonton, Anda akan mendapatkan sesuatu: Sebuah pengalaman berharga.
Related Posts:
Bukan, Bukan Lagi Lamunan
Kini aku, bahagia sekali. Banyak hal yang, dulu sangat kurindukan, kini kesampaian. Terima kasih ya Allah, apa yang bisa kuberikan pada-Mu sebagai ucapan terima kasih, sebab ucapan terima kasih ini sendiri, sesungguhnya akan kembali lagi kepada diri. Terima kasih telah menciptakanku, dan menghendakiku jadi hamba-Mu.
Aku orang kampung, kini tinggal di kota. Teringat adik dekatku, Si Isma. Dulu, waktu SMP dan SMK saya satu kelas dengannya. Kini, demi kejar cita-cita, saya ke kota, dan dia, adikku, masih tinggal di desa.
Sedang apakah dia, saya kangen padanya. Jarak dengannya kini jauh. Memerlukan sekian ribu rupiah.
Ringtone hape!
Isma!
Benakah darinya? Kulihat screen. Benar.
"Irma" panggilnya menyebut namaku. Kedekatan usia kami menyebabkan panggilan kakak susah kuterima darinya, "..tadi siang ada orang datang ke sekolah. Ngakunya, dia petugas dari Kota Tangerang, buat survei ke desa-desa, memeriksa ada tidaknya perpustakaan di sana, sekalian survei perpustakaan sekolah-sekolahnya. Ya, kemudian dia datang ke SMP tempat kerja saya. Dia periksa bagaimana kondisi bukunya, didampingi salah seorang guru di SMP ini. Nah, ceritanya, waktu mendekati sebuah lemari, guru SMP di sini, menunjukkan buku karya salah seorang lulusannya, yaitu buku kamu."
"Trus"
"Trus dia katakan, mengapa saya sampai tak tahu jika di kampung ini ada penulis muda. Sebenarnya, selama ini saya terus mencarinya. Karena selama ini, penulis muda sangat jarang. Sekota Tangerang ini nyaris tak ada."
Singkat cerita, Isma katakan, jika aku harus pulang dulu, bauat dialog langsung dengan petugas perpustakaan daerah Kota Tangerang. Aku memenuhinya, dan di sana, petugas bercerita:
"Waktu di desamu, setelah tahu ternyata di sana ada penulis, saya marah-marah kepada petugas desa. Mengapa tidak menginformasikan dari dulu? Kemudian petugas desa jawab, bagaimana kami memberi informasi, pihak perpustakaan daerahnya saja jarang datang. Akhirnya sama-sama mengakui kesalahan, dan ini jadi moment terbaik buat pemerintah kota lebih intens lagi survei ke sana."
Kemudian, petugas itu pun melanjutkan, "Nanti, kamu jika ada event-event lagi akan kami undang."
"Sebagai peserta?"
"Bukan, kamu kami anggap sudah penulis jadi. Kamu, langsung saja jadi juri. Atau jadi pembicara di depan peserta. Kemarin saja, saking tidak adanya pembicara. Kami undang saja seorang pendongeng. Berapa coba diberi upahnya? Sampai 3 Juta. Nanti mah jangan orang lain lagi. Kamu, orang sini yang harus jadi pembicara! Ya."
Saya bahagia sekali. Beginilah kehidupan yang saya rindukan. Kecintaan saya menulis itu benar-benar dihargai. Terus diundang ke sana ke mari sebagai pembicara.. Ini impian saya banget. Dengan tercapainya impian ini, saya bisa menunjukkan kepada orang tua, terutama kepada Bapak, bahwa kecintaan saya kepada menulis selama ini, berbuah manis.
Bukan lagi lamunan. That Is Real.
Aku orang kampung, kini tinggal di kota. Teringat adik dekatku, Si Isma. Dulu, waktu SMP dan SMK saya satu kelas dengannya. Kini, demi kejar cita-cita, saya ke kota, dan dia, adikku, masih tinggal di desa.
Sedang apakah dia, saya kangen padanya. Jarak dengannya kini jauh. Memerlukan sekian ribu rupiah.
Ringtone hape!
Isma!
Benakah darinya? Kulihat screen. Benar.
"Irma" panggilnya menyebut namaku. Kedekatan usia kami menyebabkan panggilan kakak susah kuterima darinya, "..tadi siang ada orang datang ke sekolah. Ngakunya, dia petugas dari Kota Tangerang, buat survei ke desa-desa, memeriksa ada tidaknya perpustakaan di sana, sekalian survei perpustakaan sekolah-sekolahnya. Ya, kemudian dia datang ke SMP tempat kerja saya. Dia periksa bagaimana kondisi bukunya, didampingi salah seorang guru di SMP ini. Nah, ceritanya, waktu mendekati sebuah lemari, guru SMP di sini, menunjukkan buku karya salah seorang lulusannya, yaitu buku kamu."
"Trus"
"Trus dia katakan, mengapa saya sampai tak tahu jika di kampung ini ada penulis muda. Sebenarnya, selama ini saya terus mencarinya. Karena selama ini, penulis muda sangat jarang. Sekota Tangerang ini nyaris tak ada."
Singkat cerita, Isma katakan, jika aku harus pulang dulu, bauat dialog langsung dengan petugas perpustakaan daerah Kota Tangerang. Aku memenuhinya, dan di sana, petugas bercerita:
"Waktu di desamu, setelah tahu ternyata di sana ada penulis, saya marah-marah kepada petugas desa. Mengapa tidak menginformasikan dari dulu? Kemudian petugas desa jawab, bagaimana kami memberi informasi, pihak perpustakaan daerahnya saja jarang datang. Akhirnya sama-sama mengakui kesalahan, dan ini jadi moment terbaik buat pemerintah kota lebih intens lagi survei ke sana."
Kemudian, petugas itu pun melanjutkan, "Nanti, kamu jika ada event-event lagi akan kami undang."
"Sebagai peserta?"
"Bukan, kamu kami anggap sudah penulis jadi. Kamu, langsung saja jadi juri. Atau jadi pembicara di depan peserta. Kemarin saja, saking tidak adanya pembicara. Kami undang saja seorang pendongeng. Berapa coba diberi upahnya? Sampai 3 Juta. Nanti mah jangan orang lain lagi. Kamu, orang sini yang harus jadi pembicara! Ya."
Saya bahagia sekali. Beginilah kehidupan yang saya rindukan. Kecintaan saya menulis itu benar-benar dihargai. Terus diundang ke sana ke mari sebagai pembicara.. Ini impian saya banget. Dengan tercapainya impian ini, saya bisa menunjukkan kepada orang tua, terutama kepada Bapak, bahwa kecintaan saya kepada menulis selama ini, berbuah manis.
Bukan lagi lamunan. That Is Real.
Related Posts:
Teringat Bapak Saya
Jenuh menulis, menuju dapur. Menyeduh kopi. Bukan kopi sembarangan. Oleh-oleh Mbak Asma Nadia. Pulang dari Costarika. Wah ini special. Saya campur susu dan gula. Seketika teringat bapak, di kampung. Suka sekali dia ngopi. Bela-belain membeli, kopi sasetan. Dan nyaris rajin, selain merokok, dia menyeduh kopi. Kadang bagai jadwal makan, sehari tiga kali. Usianya makin tua, jadi rawan penyakit. Akibatnya, suatu saat kakinya borok dan tak sembuh-sembuh. Diperiksa ke dokter, cek darah, ternyata gula darah tinggi.
Kaget. Bapak saya kena kencing manis. Jangankan bapak, orang yang mengalaminya, saya sendiri jadi takut. Beneran takut. Bagi saya, cerita orang kencing manis tak pernah berakhir manis. Itu dari cerita orang-orang yang pernah mengalami. Kiai terkenal di kampung saya, meninggal gara-gara itu. Tetangga juga sama, meninggal syariatnya kena penyakit gula. Dan saya tak mau itu terjadi pada bapak. Saya mau, dia sembuh lagi.
Memang kasihan melihat hari-harinya. Setelah tahu dari dokter dia menderita penyakit gula, makanannya jadi terkekang. Kopi kasih tercintanya, terpaksa harus dia putuskan. Terpaksa, ini karena keadaan. Demikian juga dari kue-kue dan penganan manis lainnnya, sama sekali dia menahan. Sungguh kasihan, terlebih saat masuk hari lebaran. Berkaleng-kaleng kue, kue basah, kue kering, bolu basah, bolu kering, dan berbagai minuman manis, tersaji di meja, namun Bapak, sama sekali tak bisa menikmatinya.
Lebih parah lagi, minuman dia adalah ramuan pahit-pahit, seperti tumbukan biji mahoni, batrawali, sambiloto, dan berbagai jejamuan pahit lainnya. Sering saya melihatnya nyengir manahan pahit ketika sedikit-sedikit jamunya dia telan. Itu dia lakukan setiap hari. Saya sampai nanya sana-sini, sebenarnya apa obat herbal paling ampuh buat penyakit Bapak. Kepada tukang obat, kepada ahli terapi, bahkan kepada pemilik toko buku langganan saya.
Tapi akhirnya, tanpa saya ketahui kapan sembuhnya, tahu-tahu, kaki Bapak sudah kering. Maaf, maksud saya kering bagian boroknya. Gembira sekali. Suatu ketika, saya terserang batuk, dengan sakit gigi, yang membuat, saya harus mengundang dokter datang ke rumah. Sekalian memeriksa saya, dokter itu periksa juga darah bapak saya. Dia cek, iya kadar gula sudah turun.
Tahu begitu, bapak pada kekasih lamanya: kopi. Diseduh di dapur, kemudian, dia bawa ke tengah rumah. Saya cuma diam. Tak punya komentar. Cuma hati yang cemas. Ingin rasanya berkata, "Seharusnya Bapak jangan dulu minum kopi." Untungnya terwakili emak.
"Kok minum kopi lagi?"
"Lukanya sudah kering kok."
"Penyakit semacam itu kan bisa datang lagi."
Diam, hanya bisa diam. Sama sekali tidak bisa komentar. Kepada bapak, atau kepada peringatan Emak.
Begitulah karakter asli saya, dalam keseharian. Jika bukan sebab marah, kepada ketidakbaikan dan pelangaran, saya lebih suka diam. Bahkan bahayanya, sikap ini saya terbawa ke sekolah, kantor, dan rumah, jika sebuah ketidakbaikan terjadi, misalnya istri. Diam itu disebabkan, terlalu banyak kekhawatira, jika ucapan saya, menyebabkan orang tersinggung, kemudian jadi tegang dan bertengkar. Itulah sebabnya, jika di rumah atau dengan orang-orang terdekat, saya lebih suka diam, dingin, seperti kopi di meja saya, yang kini tinggal seteguk lagi.
Related Posts:
Film Assalamualaikum Beijing
Kemarin-kemarin orang kritik saya, gara-gara ngomongin agama pake kata "menurut saya". Dia bilang, ngomong agama jangan pake kata "menurut saya". Harus pake dalil, mana ayatnya, mana haditsnya. Meski saya jengkel, mau mukul panci sama orang itu sambil mendengus jengkel "Itu sudah basi, saya juga tahu!", namun saya tahan. Biarkan saja, saya turuti. Itulah makanya sekarang--setidaknya kesempatan ini--takkan bicara agama lagi. Sekarang, saya mau bicarakan masalah film. Dan tetap, dengan menggunakan kata "Menurut saya".
Menurut saya, sudah basi kalau orang masih mengatakan, sebuah film yang diangkat dari novel, tak pernah lebih bagus dari novelnya. Itu pernyataan orang lain, sudah diomongin, sudah lewat, sudah dari dulu, jadi kalau disebut lagi, diulang lagi, malah bikin muntah. Sekarang, waktunya jujur-jujuran. Bahwa film yang diangkat dari buku, itu lebih hebat dari bukunya, dan buku yang diangkat menjadi film, itu lebih hebat dari filmnya.
Si Dana ini gimana. Aneh-aneh saja. Jadi mana dong yang bener? Film lebih bagus dari novel? Atau novel lebih bagus dari film? Labil banget nih orang.
Maksud saya, baik novel atau film, masih-masing punya kelebihan.
Masing-masing lebih bagus. Masing-masing lebih hebat.
Dengan kata lain, keduanya punya kelebihan. Novel, sudah jelas lebih bagus dari filmnya. Di sana lebih detail, cerita lebih lengkap. Sebabnya, karena novel bisa menjelaskan lebih leluasa. Dalam 340 halaman misalnya, tentu saja kisah bisa tersaji lebih lengkap, dan pembaca, bisa lebih bebas berimajinasi. Itulah kehebatan sebuah novel.
Dan film, tentu saja lebih bagus dari novel. Bagaimana tak bagus. Film merangkul semua kalangan. Insan pembaca atau bukan, pencinta buku bahkan pembenci, penikmat novel malah yang alergi, semuanya bisa terpikat. Alasannya, mencerna film lebih mudah, dan film, lebih mudah melibatkan pemirsa ke dalam cerita. Itu karena film, selain jalan cerita memukau, dialog-dialog cerdas, konflik...gerakan gambar dan musik lebih kuat merenggut hati penonton buat terlibat.
Dalam kasus sekarang, saya ingin membicarakan film "Assalamualaikum Beijing". Tak usah dibanding-bandingkan, mana lebih bagus antara novel dan film. Kebiasaan membanding-bandingkan, ini justru merusak suasana hati sendiri buat menikmati sebuah film.
Masing-masing punya kekuatan, masing-masing punya kelebihan. Sebabnya, jika sebuah film harus persis sama dengan novelnya, itu butuh film bersambung semacam sinetron. Dan jika pun dipaksakan begitu, cerita malah jadi molor. Bagaimana mungkin kisah panjang yang paling cepat kita tamatkan dalam sehari semalam, bisa selesai dengan lengkap cuma dengan film dengan durasi kurang dari dua jam.
Namun apapun alasannya, film ini sangat memuaskan. Asma Nadia, sendiri meski tak dilibatkan dalam shooting filmnya, dia mengaku puas. Asma Nadia mengaku, pesan-pesan yang dia sajikan dalam novelnya bisa tervisualisasikan dengan baik.
"...film ini hadir untuk teman-teman yang patah hati dan ingin move on. Juga yang menanyakan, adakah cinta sejati bisa melihat film ini". Kemudian lanjutnya, "...Kalau difilmkan menjadi lebih bagus, ya saya tak masalah. Dan memang jadi lebih indah." ucapnya sebagaimana dikutip Kapanlagi.com.
Diangkat dari novel bestseller Ashima eh, Asma Nadia, diangkat ke layar lebar, dan mulai diputar di bioskop-bioskop 30 Desember nanti.
Masing-masing punya kekuatan, masing-masing punya kelebihan. Sebabnya, jika sebuah film harus persis sama dengan novelnya, itu butuh film bersambung semacam sinetron. Dan jika pun dipaksakan begitu, cerita malah jadi molor. Bagaimana mungkin kisah panjang yang paling cepat kita tamatkan dalam sehari semalam, bisa selesai dengan lengkap cuma dengan film dengan durasi kurang dari dua jam.
Namun apapun alasannya, film ini sangat memuaskan. Asma Nadia, sendiri meski tak dilibatkan dalam shooting filmnya, dia mengaku puas. Asma Nadia mengaku, pesan-pesan yang dia sajikan dalam novelnya bisa tervisualisasikan dengan baik.
"...film ini hadir untuk teman-teman yang patah hati dan ingin move on. Juga yang menanyakan, adakah cinta sejati bisa melihat film ini". Kemudian lanjutnya, "...Kalau difilmkan menjadi lebih bagus, ya saya tak masalah. Dan memang jadi lebih indah." ucapnya sebagaimana dikutip Kapanlagi.com.
Diangkat dari novel bestseller Ashima eh, Asma Nadia, diangkat ke layar lebar, dan mulai diputar di bioskop-bioskop 30 Desember nanti.
Jum'at malam, film ini premier. Hanya orang-orang khusus yang diundang. Para artis: Revalina, Morgan Oey, Oki Setiana Dewi, Ozi Shaputra, Desta, Ibnu Jamil, kru film, sutradara, termasuk penyanyi soundtrack Ridho Roma. Turut hadir dalam acara ini, penulis, Asma Nadia, Pak Isa Alamsyah, bersama para staf, dan beberapa member KBM.
Bagaimana dengan saya? Bukannya menyombongkan diri, saya dapat undangan juga. Berangkat, dan mulai tayang pukul 19.00, sedang saat itu, bus masih di Nagreg, bahkan belum masuk Bandung. Sampai di Jakarta jam sekitar jam 23.00. Mengenaskan. Tapi saya sendiri no problem. Justru saya kasihan sama para artis, tak bisa ketemu saya.
Related Posts:
Buku 101 Dosa Penulis Pemula
Rp. 58.000
Diskon: 10%
Diskon: 10%
Di
kampung saya mengalir sebuah sungai. Cukup panjang lubuknya. Orang
paling banyak dapat ikan, adalah orang yang paling pandai memanfaatkan
alat. Dia biasanya punya rakit, punya jaring--bukan satu dua jaring,
tapi banyak, namun yang terpenting dari semua itu, dia mau memanfaatkan
alatnya.
Memanfaatkan alat. Itu kunci terpentingnya.
Dan Pak Isa, menjadikan facebook, alat menangkap inspirasi.
Dan Pak Isa, menjadikan facebook, alat menangkap inspirasi.
Di tengah kesibukannya yang super padat: Mengurus penerbitan, pemasaran buku, jumpa penulis, peluncuran film, membina para staf, berbagi ilmu dalam berbagai workshop, masih sempatkan juga dia buka facebook, memeriksa karya penulis di grupnya, Komunitas Bisa Menulis, intens memberikan kritikan, hingga ke detail-detail tulisan. Saat itu, banyak orang--termasuk saya--mengira itu pekerjaan tidak berguna. Menghabiskan waktu saja. Terus saja ngurus tulisan orang lain, sedang sendiri, belum juga menghasilkan karya. Itulah sebabnya saat itu, saya lebih suka konsen ke tulisan sendiri.
Tapi Pak Isa tidak. Dia tahu banyak penulis butuh masukan, butuh kritikan. Dia tahu, banyak penulis butuh perhatian. Mereka, lebih bersemangat jika tulisannya dapat komentar sana-sini. Maka Pak Isa "memberikan" dirinya. Kadang saya temukan, dia online larut malam sampai subuh. Tulisan pendek, tulisan panjang, tulisan sedang, puisi, cerpen, artikel yang masuk ke grupnya dia periksa dan berikan kritikan. Dia ingatkan, jika sebuah opening kurang nendang. Dia juga tunjukkan, jika sebuah karakter kurang kuat. Dia beritahu, jika endingnya kurang mengena. Dia sarankan, jika tuliran tanpa lanjaran. Dan seterusnya. Dan ketika itu saya berpikir, itu kerjaan buang-buang waktu.
Namun bagi Pak Isa
Tidak.
Dia punya prinsip memberi.
Dengan memberi, dia katakan, dia mendapatkan sesuatu.
Mendapatkan sesuatu, demikian tulis dia dalam sebuah komentar.
Kata-katanya itu, meski terbaca di mata, terngiang-ngiangnya di telinga.
"Saya mendapatkan sesuatu" terus terngiang-ngiang.
"Mendapatkan sesuatu" terngiang-ngiang.
"Sesuatu."
Pertanyaan saya: Sesuatu itu apa?
Jadi penasaran, sebenarnya yang dia maksud "sesuatu" itu apa?
Dari aksinya itulah lahir buku ini: "101 Dosa Penulis Pemula".
Terbukti dalam buku ini, kesalahan beberapa penulis langsung dia sebutkan dengan namanya.
Lama saya ingin baca buku ini, belum kesampaian juga. Beberapa kali ke Gramedia, menemukan buku ini, namun bersegel. Meski pengunjung boleh buka segel, namun entah kenapa, rasanya pada buku ini tak tega. Jadi, cuma bisa menatap judulnya: 101 Dosa Penulis Pemula. Kemudian warna sampulnya, hitam, menyeramkan, ditambah gambarnya: Pak Isa, bak detektif Conan, sedang membawa lensa, tatapannya tajam, bagai drakula menatap mangsa. Ingat Edwad Cullen di film "Twilight". Eh itu, Drakula Apa Vamvire?
Sekarang, berkunjung ke ANPH, baru bisa baca.
Memang luar biasa.
Ah, Anda sudah tahu dari dulu.
Satu dari sekian banyak kelebihan buku ini adalah, Anda membuka halaman mana saja, akan langsung mendapatkan ilmu, karena setiap bab, mengandung pelajaran tegas tersendiri. Misalnya sekarang, saya buka sembarangan, langsung masuk halaman 138. Membahas dosa ke 47. Ending Buru-Buru. Langsung deh saya temukan sesuatu. Banyak penulis, membuat ending terlalu instan. Tokoh utama terlalu mudah mendapatkan kemenangannya. Setelah membaca ini, saya temukan beberapa sebab. Pertama, menulis tanpa rencana. Kedua, opening dibuat terlalu panjang, hingga tanpa sadar, tulisan sudah terlalu banyak energi menulis nyaris habis, sedang nafsu, sudah ingin selesai. Dalam keadaan ini, ambil jalan pintas.
Haha, saya ingat, ending paling basi adalah dengan membunuh antagonisnya.
Itulah catatan dosa Pak Isa Alamsyah yang dia kumpulkan di dalam buku "101 Dosa Penulis Pemula"
Itulah catatan dosa Pak Isa Alamsyah yang dia kumpulkan di dalam buku "101 Dosa Penulis Pemula"
Related Posts:
Buku Leadership and Self-Deception (Berpikir di Luar Kotak)
Hanya sedikit buku yang mempertahankan saya membacanya sampai tamat, apalagi sampai membacanya berulang-ulang. Dari yang sedikit itu antara lain buku ini: Berpikir di Luar Kotak. Buku luar biasa, menurut saya. Entahlah menurut orang lain. Namun endorsmen di cover depan, belakang dan bagian dalam buku ini menandakan, jika buku ini, disukai pula oleh banyak orang.
Penyajiannya itulah yang menarik minat saya. Disajikan dalam bentuk cerita. Bukan sekedar cerita, melainkan cerita yang fokus. Mendalami sebuah kasus, kapan sebuah organisasi mulai kacau. Atau lebih tepatnya, kapan seseorang mulai merasakan ketidaknyamanan dalam sebuah organisasi. Buku ini katakan, itu dimulai saat seseorang mengkhianati dirinya sendiri.
Sebagaimana diceritakan Bud, salah satu tokoh dalam cerita di buku ini, mengkhianati diri yang dimaksud adalah, tidak melakukan apa yang diri rasa perlu dilakukan kepada orang lain. Dengan sangat sederhana namun efektif, Bud mencontohkan dirinya bangun tengah malam mendengar anaknya nangis. Perasaan dia mengatakan, dia harus bangun dan meredakan tangis anaknya. Namun perasaan itu dia khianati. Maka, dari sana timbul berbagai pandangan negativ kepada istrinya, Nancy. Setelah rasa harus bangun dan mengurus anaknya dia khianati, Bud memandang istrinya pemalas, tidak pengertian, tidak menghargai, tidak sensitif, berpura-pura, ibu yang buruk, istri yang buruk, karena tidak bangun dan mengurus anaknya. Sementara Bud, memandang dirinya sendiri sebagai korban, pekerja keras, sudah kerja seharian masih juga harus terbebani kewajiban mengurus anak. Bud memandanga dirinyalah yang penting, istirahatnyalah yang penting, karena besok dia akan kembali kerja. Bun juga memandang dirinya baik hati, peka dengan kebutuhan orang, seorang ayah yang baik, seorang suami yang baik.
Dengan kata lain, pengkhianatan diri itu membuat Bud, jadi membesar-besarkan kesalahan istrinya, membesar-besarkan kelebihan diri sendiri, membesar-besarkan nilai-nilai yang membenarkan pengkhinatan diri, dan menyalahkan.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang membuat pengkhianatan diri itu terjadi?
Berpikir di dalam kotak.
Berpikir di dalam kotak adalah berpikir dengan memandang segalanya dari sudut pandang sendiri, dan tidak keluar mencoba berpikir dari sudut pandang orang lain. Dan karenanya, cara berpikir di luar kotak adalah, mencoba berpikir dari sudut pandang orang lain. Dengan memandang orang lain sebagai manusia apa adanya, meraba pemikirannya, meraba perasannya.
Ini buku pengajaran tentang kepemimpinan, manajemen organisasi, sikap, dan etika di dunia kerja yang bagusnya, tidak tersaji dalam konsep yang berat. Ringan, tersaji dalam cerita.
Bukan sekedar kepemimpinan, dari buku ini pun saya mengambil pelajaran, bahwa pembatasan diri itu sebuah kekuatan. Pembatasan diri adalah cara supaya sesuatu bisa dibahas secara mendalam. Buku ini membatasi diri dalam pembahasan tentang berpikir di dalam kotak dan bagaimana caranya keluar dari kotak itu.
Sebagian besar buku membasa kiat terlalu banyak. Menyajikan kiat terlalu banyak. Dan itu sangat membebani pembaca. Harus menghafalkan terlalu banyak hal. Itu juga membosankan pembaca, karena dengan terlalu menyajikan banyak hal, membuat banyak hal yang disajikan itu hanya kutipan dari buku lain dan pendapat orang lain, yang sudah umum dan sering orang lain dengar.
Buku bagus membatasi pembahasan pada satu hal.
Novel bagus juga begitu, menurut saya, adalah novel dengan fokus bahasan kasus terbatas. Satu kasus saja, namun dibahas secara jelas dan mendalam.
Fokus adalah kekuatan. Dan supaya fokus, harus dibuat pembatasan.
Selain itu, masih banyak hal saya dapatkan dari buku ini.
Benar-benar mengesankan. Saya pinjam buku ini sampai berulang-ulang. Entah sudah berapa kali. Stephen R. Covey pun memberikan pendapatnya, "Mendalam...memikat..penuh pencerahan. Saya sangat merekomendasikan buku ini."
"Sederhana...jernih...ampuh. Dengan pengalaman bertahun-tahun dalam kepemimpinan, pengembangan organisasi, dan pelatihan, saya terkejut menemukan sesuatu yang menohok saya sangat dalam." (Janet Steinwedel, Derektur Leadership and Employer Development)
"Konsep dalam buku ini sangat am,puh. Konsep-konsep itu sangat mendasar untuk meraih kesuksesan baik di lapangan bola, kantor, atau mungkin yang paling penting di rumah. Bacalah buku ini dan Anda akan memahami apa yang saya maksud." (Steve Young)
Related Posts:
Hukum Mengucapkan Selamat Natal
Hari ini, tanggal 25 Desember 2014 kata "Selamat Natal" menduduki peringkat nomor satu sebagai kata kunci terbanyak diketik di google. 100.000 ribu lebih penelusuran.
Ini hari natal. Di kalangan Umat Islam, terjadi perdebatan dalam masalah halal dan haramnya mengucapkan "Selamat Natal".
Apa salahnya mengatakan "Selamat Natal"? Tidak salah, boleh-boleh saja kok. Beneran, saya punya keyakinan, mengatakan "Semalat Natal" bukan masalah.
"Wah si Dana memang benar orang sesat!"
"Syahadat lagi kamu Dana!"
"Eh lu kalau mau sesat, sesat saja sendiri! Jangan sambil ngajak-ngajak orang. Pake dishare di facebook segala"
Pasti itu respon orang-orang "sholeh", atau orang "mendadak soleh" kepada saya.
Tak peduli apa kata orang, bagi saya, boleh-boleh saja mengatakan "Selamat Natal", yang tidak boleh adalah mengucapkan "Selamat Natal". Ada perbedaa antara "mengatakan" dan "mengucapkan". Mengatakan berarti seperti saya barusan, mengatakan dalam bentuk tulisan "Selamat Natal", dan ucapan itu tidak ditujukan untuk mengucapkan selamat atas dirayakannya hari Natal orang Kristen. Sedangkan "Mengucapkan" berarti ya mengatakan"SelamatNatal", dan kata-kata itu ditujukan untuk mengucapkan selamat kepada orang Kristen. Jika mengatakannya tidak dilarang, bagaimana para Ustadz bisa menerangkan hukum ucapan ini.
Coba misalnya kalau mengatakan "Selamat Natal" dilarang, dengan alasan mengatakan ini bisa menyebabkan seseorang murtad, keluar dari Agama Islam, maka ustadz yang ceramah menerangkan masalah ini bisa murtad. "Hadirin yang saya muliakan! Dalam kesempatan ini saya akan menerangkan hukum mengucapkan "Selamat Natal"". Baru menyebutkan judul ceramahnya saja, dia sudah murtad, keluar dari Agama Islam, sebab dia telah mengatakan "Selamat Natal".
Kalau mengucapkan "Selamat Natal", saya jelas sepakat haram, dan saya setuju benar kepada Ucapan Ustadz Felix Siauw.
Memang luar biasa orang muda satu ini, baru masuk Islam, tapi luar biasa, lebih militan dari kita yang Islamnya duluan. Seperti
diberitakan Republika Online, Ustadz Felix nyatakan, "Kita sama tahu,
bahwa orang Nasrani meyakini Yesus itu tuhan. Bagi Nasrani, 25 Desember
adalah hari kelahiran Yesus. Karena itu akidah mereka, maka mengucapkan
"Selamat Natal" itu bagian dari akidah."
Dalam akun facebooknya, Ustadz Felix mengomentari pernyataan seseorang "Yang penting niatnya nggak gitu. Hati aku masih Islam." Mengomentari itu, Ustadz Felix katakan, "Wilayah niat itu bukan urusan kita. Islam itu menata yang terlihat." Dengan kata lain, sekali haram tetap haram. Umat Islam haram mengucapkan "Selamat Natal". Dan itu tidak menjadi boleh hanya karena tidak sambil meniatkan membenarkan akidah mereka.
Ustadz Felix pun mengatakan, para ulama besar sudah sepakat akan hal itu. Dan tidak mungkin mereka melakukan kesepakatan atas dasar nafsu. Saya setuju, saya suka dengan pendapat para ulama. Lagi pula, apa gunanya mengucapkan selamat Natal. Toh tak ada keuntungan yang saya dapatkan. Lagi pula, meski ada keuntungan, jika urusannya sudah menyangkut akidah, lebih baik tidak untung. Soalnya, ini urusannya agama. Mengucapkan itu bisa menyebabkan murtad.
Bahkan sekilas, tadi saya baca di Republika Online,sebuah berita cukup sangar. Kata judulnya "Ulama Yang Membolehkan Mengucapkan Selamat Natal, Harus Syahadat Lagi."
Beberapa orang mengatakan boleh dengan alasan toleransi. Menurut saya, tak haruslah toleransi sampai segitunya. Tolransi itu cukup dalam batas sekedar tidak mengganggu. Tak perlu sampai ikut mempraktikkan ucapan selamat natal. Ada juga yang mengucapkan itu karena merasa berhutang. Punya teman kristen yang mengucapkan selamat Hari Raya Iedul Fithri dulu, sekarang bagian natal, merasa harus balas mengucapkan selamat. Kalau tidak, rasanya tak enak.
Apalah artinya enak dan tidak enak. Ini urusan Aqidah.
Related Posts:
Tulisan Saya Memang Menyesatkan
Senang benar saya nulis kontroversial. Tulisan semacam itu mengajak orang buat mikir, berdialog, debat, di samping juga, mengundang orang-orang baik hati, untuk merelakan darahnya naik, lalu habis-habisan mencemooh saya, hehe. Khotbah, nasihat, cercaan, bahkan ucapan tolol, saya terima. Dengan bahagia. Bagaimana tidak, semua komen itu menjadikan postingan saya ramai.
Haha, sindrom caper. (Eh Syndrom apa Sindrom sih?)
Haha, sindrom caper. (Eh Syndrom apa Sindrom sih?)
Dan yang menarik, di antara orang baik hati itu ada yang mengatakan tulisan saya menyesatkan. Saya setuju. Bukan tanpa bukti, dia berkata berdasar fakta. Dan inilah beberapa fakta, jika tulisan saya benar menyesatkan.
Idi Kusnadi--bukan nama sebenarnya--bendahara sebuah kementerian daerah. Demi privasi lembaga, saya tak mau menyebutkan kementerian apa. Idi langsung meninggalkan agamanya setelah membaca postingan saya. Dia menjadi sesat, dan memilih menyembah batu. Menurut tetangga dan beberapa saudaranya, hari-harinya sekarang banyak dia habiskan di sungai, buat menyembah batu. Seorang tukang es, malah pernah melihatnya duduk bersimpuh sambil menunduk. Saat dia perhatikan, ternyata Idi Kusnadi sedang menyembah batu batre.
Onah Elisabeth--juga bukan nama sebenarnya--membaca blog saya, kangdana,com sambil berjalan ke sungai. Itu musim kemarau. Onah mau mandi. Dan sial, tanpa sadar, dia tidak berjalan ke sungai. Tahu-tahu, dirinya sudah sampai di pasar. Onah sesat gara-gara tulisan saya. Jadi benar tulisan saya menyesatkan. Bukan hanya Onah, tukang sayur keliling, Dulkamid, juga membaca tulisan saya sambil mendorong roda sayurnya.Tujuan dia tentu saja perkampungan orang. Dan tahukah Anda dia sadar sudah di mana? Di puncak gunung. Jadi bukan tanpa bukti, jika banyak orang menyebut tulisan saya menyesatkan.
Ratmi beda lagi. Dia membaca blog saya sambil berangkat sekolah. Ketika sadar, ternyata dia masih di rumahnya. Ternyata, dia tidak menuju sekolah, tapi malah keliling-keliling di sekitar rumah. Saat ibunya tahu hape itu segera direbut. Sebab penasaran, ibunya pun membaca blog saya dan tahukah apa yang terjadi?
Dan inilah bukti berikutnya, saat dalam blog si Ibu temukan resep kue bolu, sepuluh kilo tepung terigu langsung dia beli, dan semua bahan lainnya sesuai saran saya. Ibu Ratmi langsung mulai usaha. Jualan bolu, dan saat itu dia jalankan, bisnis bolunya bangkrut sekaligus. Masyarakat demo. Banyak orang muntah-muntah setelah makan bolunya. Jelas saja, wong resep yang saya berikan di blog bukan pake mentega, tapi pake sabun colek.
Dan inilah bukti berikutnya, saat dalam blog si Ibu temukan resep kue bolu, sepuluh kilo tepung terigu langsung dia beli, dan semua bahan lainnya sesuai saran saya. Ibu Ratmi langsung mulai usaha. Jualan bolu, dan saat itu dia jalankan, bisnis bolunya bangkrut sekaligus. Masyarakat demo. Banyak orang muntah-muntah setelah makan bolunya. Jelas saja, wong resep yang saya berikan di blog bukan pake mentega, tapi pake sabun colek.
Masih ada bukti lain tulisan saya menyesatkan. Yaitu saat ini, dan orang sesat itu, adalah Anda sendiri, sudah jelas, dari paragraf kedua dan ketiga saja, tulisan ini ngarang, dusta, tidak berguna, hanya main-main. Tapi masih saja Anda baca. Sudah Anda sia-siakan waktu Anda, sudah Anda buang kesempatan terbaik Anda. Anda sudah sesat, dan kesesatan itu bermula, dari tulisan saya. Jadi benar bukan? Tulisan saya menyesatkan menyesatkan?
Namun Anda rasakan, tak ada kesesata yang indah, selain sesatnya diri Anda, saat membaca tulisan saya.
* * *
Sodara!
Tulisan ini sebenarnya cuma ingin bertanya, sambil tertawa tentu saja, kepada orang yang mengatakan tulisan saya menyesatkan, apa buktinya? Punya bukti apa saja? Sudah berapa banyak orang sesat karena tulisan saya?
Kadang saya gemas. Untung dia orang. Kalau saja dia bawang, sudah saya cintang buat nasi goreng. Kalau muncang, sudah saya rendos jadi bumbu kari.
Heran, sebenarnya siapa yang sudah sesat dengan tulisan saya?
Heran, sebenarnya siapa yang sudah sesat dengan tulisan saya?
Menyaksikan fakta yang ada, saya perhatikan, para pembaca postingan saya bukannya sesat. Yang ada, mereka malah jadi cerdas. Dengan postingan saya, mereka jadi membaca. Dengan postingan saya, mereka memberi komentar panjang tentang agama, tentang kebenaran, tentang logika. Dengan postingan saya, mereka mengasah pikiran, melakukan dialog. Dengan postingan saya, jari mereka terlatih mengetik.
Saya sendiri mendapatkan manfaat. Dengan protes mereka, saya adi punya ide lagi buat menulis. Inspirasi bertimbulan, bagai jamur di musim hujan, bertumbuhan, bagai jerawat di musim puber, mengalir lancar, bak kencing pagi setelah ditahan semalam. Dengan protes mereka, saya jadi bisa menulis. Nih, contohnya tulisan ini.
Saya sendiri mendapatkan manfaat. Dengan protes mereka, saya adi punya ide lagi buat menulis. Inspirasi bertimbulan, bagai jamur di musim hujan, bertumbuhan, bagai jerawat di musim puber, mengalir lancar, bak kencing pagi setelah ditahan semalam. Dengan protes mereka, saya jadi bisa menulis. Nih, contohnya tulisan ini.
Jadi, segi mana menyesatkannya?
Bukannya menyesatkan. Yang ada, justeru mencerdaskan!
Bukannya menyesatkan. Yang ada, justeru mencerdaskan!
Itulah yang ingin saya ungkapkan kepada Anda, dari hati yang paling dalam, dan saking dalamnya sampai-sampai saya tenggelam, ke dasar lautan, yang akibatnya, saya jadi lupa daratan, dan ujung-ujungnya, saya jadi lupa diri alias tidak tahu diri. Demikian, jika Anda heran mengapa saya ngaku-ngaku tulisan saya mencerdaskan. Karena memang, saya sedang tidak tahu diri.
Salam otak udang.
Related Posts:
Ayam di Kebun Kangkung
Alhamdulillah malam ini hujan. Artinya, biji kacang tanah yang tadi siang saya tanam, sekarang mulai tersirami. Begitu juga kangkung dan cabe. Saya kira bukanlah menjelajah hutan, bukan naik gunung, bukti cinta alam sesungguhnya, adalah dengan bekerja seperti saya, mengurus tanah: bercocok tanam. Sampai baris ini, boleh saja Anda menyebut saya sedang membangga-banggakan diri. Akan tetapi, jika Anda baca kisah berikutnya, kesan sombong saya hilang seketika, berganti, dengan kesan perasaan rendah, yaitu sebuah pengakuan, bahwa saya, bukanlah pencinta alam. Saya, sebaliknya malah seorang perusak alam.
Memangnya apa yang terjadi?
Pembaca, sebelum Anda lanjutkan membaca cerita saya, alangkah baiknya ambil dulu kopi. Mungkin membaca cerita ini, enaknya sambil bersantai.
Jujur saja, akhir-akhir ini saya benci kepada ayam. Karena binatang bodoh itu, kerjanya cuma merusak. Bayangkan, karena ayam berkeliaran, orang sekampung susah tenteram punya tanaman di pekarangan. Tanam cabe dipatuk ayam, tanam tomat dirusak ayam, tanam bayam dimakan ayam, dan saya sekarang, menanam kangkung, sedang segar-segar benihnya tumbuh, jika saya datang ke ladang, dari jauh sudah tampak, ayam jantan ayam betina dan anak-anaknya, sekeluarga asyik di ladang kangkung saya.
Dan sekarang, melihat ayam itu asyik di ladang, saya langsung mengambil batu, batu tajam, serpihan sisa tukang batu kemarin, yang membelah batu di sana. Dengan jari tangan, batu itu baik-baik saya posisikan. Setelah beberapa langkah, enak sekali batu itu saya lemparkan, meniru gaya melempar seorang ninja. Krekkkk....keakkkkk....keaaakkkk.....si ayam betina teriak-teriak. Sayapnya mengepak-ngepak, mau terbang, tapi kakinya runtuh. Hanya berputar-putar di sana.Praktis benih kangkung saya semakin rusak. Langkah saya cepat, mendekati ayam itu. Tampaknya ingin kabur, tapi tak berdaya. Saya dekati, dan ambil, dia teriak-teriak keras. Anaknya menghindar, namun tak lari jauh, mungkin kebingungan, induknya saya pegang.
Buntung! Ayam betina ini buntung! Saya lihat, potongannya tergeletak di bawah rerimbunan kangkung. Namun saya, tahu ayam ini buntung, bukannya merasa kasihan, malah melemparkannya ke sawah berlumpur.
"Hee......itu ayam saya Kamu apakan?" bentak seorang nenek. Saya tengok, oh Bi Ining, nenek bungkuk cerewet itu. Ternyata dia pemiliknya.
"Kamu apakan ayam saya?!!!!" teriaknya lagi. Dia turunkan dulu ember cucianya, lalu susah payah berjalan di pematang sawah, mendekati ayamnya, dan....
"Dana! Lihat, ini hasil perbuatanmu! Kakinya buntung."
"Syukurin! Sengaja saya buntungi!"
"Salah ayam saya apa?" semakin kencang.
"Salah ayam Bi Ining, adalah mengganggu tanaman saya!"
"Tapi jangan begini dong caranya! Cukup usir, nanti juga pergi!"
"Biar jera. Kalau kakinya sudah buntung begitu, takkan lagi dia jalan sana-sini merusak ladang orang."
"Kamu tahu ayam ini punya saya? Saya cape mengurusnya, membiayainya, beli dedak, membesarkannya, tapi dengan seenaknya, sekarang kamu buntungi."
"Ya, justru bagus, ini kesempatan saya memberi Bi Ining pelajaran!"
"Pelajaran apa?"
"Setalah ini, Bi Ining saya harap selalu mengandangkan ayamnya, karena ayam itu mengganggu!"
"Dana, yang merasa terganggu itu cuma kamu. Orang lain aman-aman saja, tidak ada yang mengeluh."
"Di depan Bi Ining tidak mengeluh. Di belakang, ini saatnya Bi Ining tahu, mereka sangat terganggu dengan ayam-ayam Bi Ining. Ayam-ayam itu naik teras rumah, padahal masih pagi, dan teras itu baru dipel. Bukan hanya itu, ayam Bi Ining juga yang menyebabkan, orang sekampung sungkan lagi bercocok tanam di depan rumah. Kenapa? Sebab tiap kali mereka menanam, ayam Bi Ining datang menyerang. Mengganggu Bi! Ayam bi Ining sangat mengganggu!"
"Dana! Ngaca! Kamu ini siapa. Di sini tuh kamu cuma numpang. Ini kampung orang. Kamu makan di kampung orang!"
"Tapi saya tidak makan di rumah tua bangka macam Bi Ining! Tua bangak tidak tahu diri!!!" begitulah saya kalau sudah emosi. Kepada orang tua pun, kehilangan rasa hormat.
"Dana! Sadar! Kamu ini sadar! Kamu kan guru. Di sekolah mengajar, di pesantren mengajar. Apa yang kamu ajarkan? Begini, menyiksa binatang?"
"Eh tua bangka calon mayat! Kamu justru yang harus sadar! Sebentar lagi kamu bakal mati. Warna kulitmu, sudah sama dengan tanah liat. Badan sudah bungkuk begitu, harusnya kamu tahu, itu tanda kamu sudah ke liag kubur. Kapan sih kamu mau mati! Sadarlah Ining, selama ini kamu tak mau dengar kata orang. Mereka mau ayam-ayam itu kamu kandangkan!"
"E e ehhh, kurang ajar sekali. Guru macam apa ini?"
"Guru macam apa? Bebas. Kamu nyebut saya guru sinting juga bebas. Kamu sebut saya guru edan, bebas. Terserah! Kalau tidak percaya saya guru edan, ini buktinya. Hanya butuh lima langkah buat menyergapnya, Langsung saya jambak rambut beruban nenek brengsek ini, dan saya sungkurkan ke lumpur sawah. Biar tetap bernafas, saya balikkan wajahnya jadi di atas, kemudian, sekuat tenaga, belakang kepalanya say tenggelamkan. Teriakannya terbekap tangan saya, dan ketika itulah, Mang Komar datang melerai.
Maka malamnya, malam ini, malam yang seharusnya tenang, bahagia karena turun hujan, nyatanya malah gelisah. Batin berkecamuk, berdebat, apa tindakan tadi salah?
"Dorongannya nafsu, jelas itu salah."
"Namun, kalau saya tidak begitu, kapan tua bangka itu mendapatkan pelajaran?"
"Tapi manfaatnya apa?"
"Dia mendapatkan pelajaran!"
"Manfaat buat kamu?"
"Jika dia insaf, ayamnya takkan mengganggu lagi"
"Yakin takkan lagi mengganggu?"
"Tidak juga."
Dan sederet perdebatan lain yang buat kepala ini jadi pusing dan malam jadi tak tenang.
Sodara, mungkin itulah yang bakal terjadi seandainya tadi siang, saat saya lihat ada ayam di kebun langsung saya lempar dengan batu. Untung saja tidak. Cukup mengusirnya, dan saya, tak mau ambil pusing. Soal misalnya ayam itu, mematuk satu dua lembar daun, tak masalah. Itu sedekah. Saya bebaskan saja. Mengapa harus marah? Dan itulah, sebab tadi siang, saya berbuat sederhana saja, maka malam ini, batin lebih tenteram..tidak digelisahkan apapun...
Related Posts:
Sandal dan Wanita
Dokumentasi Google |
Tak perlu beli. Sandal saya lebaran tahun lalu, masih layak pakai lebaran tahun ini. Boleh dibilang, saya beli sandal setahun sekali. Bahkan itu pun tidak. Namun, tak tahu kenapa, istri saya rajin benar beli sandal. Belum rusak yang satu, sudah beli yang lain. Sandal hak tinggi, sandal jepit, sandal karet, sandal tali, sandal busa, berserakan di dapur, di depan, di samping rumah. Sebagian dibuang ke tempat sampah. Untungnya, dia beli sandal hasil usahanya sendiri, dagang di warung. Jadi jika saya gugat, sudah pasti mencak-mencak. Tangan mendarat di pinggang, lalu teriak, "Terserah aku, ini uangku!"
Seperti buat dirinya, begitu pula yang dia sukai buat anaknya. Anak saya. Musim sandal ini, beli, musim sandal itu beli. Dulu trend sandal ikan, beli sandal ikan. Musim sandal ulat, beli. Musim sandal kodok, beli. Selop, sepatu, sandal jelit, Shaund the Sheep, Masha, sandal merk apa saja dibelinya. Kemarin, baru saja membeli sepatu boat. Katanya, biar anaknya aman mondar-mandir jalan di tanah, dan juga, buat sesekali jika dia ikut ke sawah.
Biar posisinya terinjak, sandal jadi ukuran status sosial seseorang. Sandal juga, bisa dipakai sebagai ukuran nilai seseorang. Kesan orang yang memakai sandal dan yang tidak tentu saja berbeda. Dan sama bedanya kesan orang dengan sandal biasa dengan orang bersandal bagus.
Apa, sebagian besar wanita juga begitu?
Coba tengok rak sepatu dan sandal Anda, apa di sana banyak sandal bekas? Yang terbayang oleh saya, banyak dari sandal itu sudah berdebu.
Coba tengok rak sepatu dan sandal Anda, apa di sana banyak sandal bekas? Yang terbayang oleh saya, banyak dari sandal itu sudah berdebu.
Jika memang beli sandal, itu hobi sebagian besar wanita, maka pertanyaannya: Mengapa?
Survei sederhana saya lakukan di grup curcol.com. Sebagian besar membernya wanita, jadi saya rasa, di sana tempatnya pas buat survei masalah wanita. Saya tanyakan, "Mengapa wanita rajin beli sandal?".
"Mengikuti model terbaru" (Latifah).
"Seperti halnya baju, kerudung, tas dan lain-lain. Semua karena ada model baru dan menyesuaikan warna baju, biar serasi. Tapi sandal tak seekstrim kalau beli kerudung. Kalau aku, sandal dan sepatu tak seekstrim beli kerudung, cukup beli warna netral saja. Praktis dan ekonomis." (Fatimah)
Tidak seekstrim kerudung? Hemmh, seketika saya ingat istri saya. Benar juga. Kerudungnya di kamar, wuah, bergantungan mirip di toko. Itu kerudung segi empat saja. Belum lagi kerudung blus. Jadi ingin bahas kerudung, namun tempat ini, sudah saya khususkan buat bahas sandal.
"Untuk koleksi, hehe. Terkarang sandal yang ada sudah. tidak nyaman, sehingga harus beli sandal lagi." Atau, bisa juga "karena ada discount dan sandalnya pas di hati, harga mudah dan terjangkau." (Rosemarie).
"Saya pernah mendengar, ada yang mengatakan, "Alas kakimu menunjukkan ke mana kamu akan melangkah." Atau mungkin, rajin beli sandal itu dengan alasan, semakin bagus sepatu dan sandalnya, semakin tinggi kelas sosialnya. Lebih tepatnya, karena kita akan menyesuaikan sandal dan sepatu saat ke luar rumah. Tidak mungkin kan, kita buang sampah pake sepatu hak tinggi?" (Ie Fa)
"Karena wanita kerap menghadiri berbagai acara. Mulai dari pengajian, arisan, sampai undangan acara resmi. Resepsi pernikahan umpamanya. Maka wanita harus punya lebih dari dua sandal sebagai penunjang penampilan. Saya sendiri beli sandal bukan demi trend, tapi lebih karena butuh. Karena tidak semua sepatu dan sandal model terbaru cocok dengan kaki saya yang jebrag dan penuh kapalan alias wiru." (Atee Bunce Soleha)
Hahaha....
"Saya agak sering beli sandal, tapi sesuai kebutuhan kok" (Uswatun Chasanah)
Yang koplak itu jawaban Wulan Ayuningtyas, dokter gigi dari Jawa Timur, "Sandal wanita cepat rusak, karena beban yang dibawa lebih berat. Bayangkan, kemana-mana bawa dua gunung sekaligus."
"Karena sandal wanita cepet rusak. Saya orangnya terbiasa buru-buru. Sandal sepatu seringnya dipake lari. Di terminal, di jalanan, mau kerja" (Patrisia Juelek)
"Karena, model sandal wanita itu banyak dan terus up to date Kang. Jadi, namanya juga wanita, pantang kalau tidak mengikuti trend." (Diana Dee Mustari)
"Kalau saya kok jarang-jarang ya beli sandal atau sepatu buat keperluan sendiri. Paling banter, setahun sekali, saya beli sepatu dan jilbab" (Candra Wiasih)
* * *
Namun, tak juga bisa disamaratakan. Tidak semua wanita rajin beli sandal dan sepatu. Banyak juga dari mereka cukup punya dua pasang sandal saja.
"Saya punya sandal cuma satu. Mau ke pasar, mau ketemu temen, mau kerja pake aja itu sandal. Bukan orang yang rajin update gaya. Asal terpenuhi kebutuhan, sudah cukup." (Solikhatun)
Haha, kok punya satu sandal di Mbak? kakinya kan punya dua.
"Saya tidak rajin beli sandal. Hanya beli jika yang lama sudah tak layak" (Wind Rahmatika)
"Aku beli sandal baru, kalau yang lama sudah putus atau tak lagi laik pakai. Tapi, harus selalu punya dua sendal. Satu buat di rumah, satu lagi buat bepergian. Tidak semua wanita suka beli sandal karena model terbaru" (Rani Aprilia)
Wkwkwk. Kebayang, di rumah cuma pake satu sandal. Pas bepergian juga pake satu sandal. Buat di rumah pake sandal kiri, buat bepergian pake sandal kanan. Hehe...maaf Teh Rani...bercanda. Saya yakin, maksud Teteh adalah satu pasang.
"Saya paling jarang beli sandal. Sandal saya awet. Jarang dipakai. Saya lebih banyak di rumah. Jika tak perlu amat, saya jarang keluar." (Farida Ali)
"Saya hanya punya satu sandal. Ke mana pun, ya pake sandal satu itu." (Desi Arisanti).
* * *
Ternyata tak semuanya. Sebagian wanita, lebih suka sederhana. Beli sandal sesuai kebutuhan. Seperti kata beberapa orang dalam wawancara saya di atas. Ada yang baru beli sandal, jika sandal lama sudah rusak.
Namun, tulisan ini tersaji cuma buat obrolan. Sama sekali bukan buat memvonis jelek wanita yang rajin beli sandal. Jika memang uang tersedia, terlebih hasil kerjanya sendiri seperti istri saya, itu hak mereka. Lagi pula Rasulullah pun tidak melarangnya. Bahkan, jika memang dipakainya ikhlash karena Allah, itu malah Rasulullah anjurkan dalam haditsnya.
Suatu kesempatan Rasulullah bersabda, "Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji dzarroh."
Mendengar itu, seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ada seseorang yang suka sekali pakaiannya bagus, dan sandalnya pun bagus."
Mendengar itu, seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ada seseorang yang suka sekali pakaiannya bagus, dan sandalnya pun bagus."
"Sesungguhnya Allah itu indah, Dia mencintai keindahan. (Sedangkan) kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." terang Nabi.
Jadi, jika memang mampu, tak masalah kok. Beli saja. Tapi itu bekasnya, jangan lupa bagikan. Siapa tahu banyak orang masih suka!
Related Posts:
Subscribe to:
Posts (Atom)