Buku Novel Ketika Mas Gagah Pergi

"Kita ini orang miskin Muning, sudah menderita. Jangan kau tambah lagi penderitaan kita dengan rusak akhlakmu." Pelan, berat, penuh beban, suara itu keluar dari sepasang bibir tua Bah Ali. Kopi di depannya, tadinya hendak dia minum. Namun batal, pegangan pada cangkir dia lepas. Melihat Muning keluar kamar pake rok mini, belum juga dia minum, kopi langsung pahit di lidahnya. Pahit sekali. Pahit karena, tersadar lagi, akan miskin hidupnya, reyot rumahnya, dan yang parah, adalah tingkah Muning, gadis bungsunya yang, menurutnya, bertingkah rusak.

"Bawel!" dengus Muning di depan cermin. Cermin lemari. Senyam-senyum, senyam-senyum, lenggak-lenggok, lenggak-lenggok mematut diri. Lipstik ungu dia usapkan ke bibir. Nyeleweng ke pipi..."Huhhhhhh!!!!" jengkel dia ambil lap ke dapur.

Bah Ali diam. Jika pun diteruskan, bisa dia tebak, jawaban muning pasti sama. Seperti biasanya: "Bawel".

Sebenarnya, anak Bah Ali empat. Semuanya wanita. Tiga anaknya yang lain menikah. Tinggal jauh-jauh, bahkan di luar pulau. Sedang istrinya, Ni Encun, wafat enam tahun lalu. Keracunan tempe bongkrek. Maka, yang tinggal di rumah kayu itu cuma dia dan Muning.

Tiap kali Muning ketus, ingin rasanya Bah Ali damprat. Namun selalu, rasa khawatir membendungnya. Khawatir Muning hilang lagi. Derita kehilangan anak, telah dirasakannya, jauh lebih berat. Tak tanggung-tanggung, 6 tahun lebih Muning pernah hilang. Pergi dari rumah, tanpa kabar, entah ke mana. Mencari ke sana ke mari tak ada. Sampai lelah, jatuh sakit, kejang-kejang, hingga typus payah. Untung kakak Muning telaten. Merawatnya hingga sembuh. Lalu demi ketenangan hatinya, dibawa berobat kepada seorang Kiai.

Pak Kiai memintanya banyak ibadah.

Bah Ali terima. Terus terang pada Pak Kiai dia katakan, jika selama ini dia jarang Shalat. Hanya Maghrib, itu pun kalau ingat. Shalat lain nyaris tak pernah, selain yang seminggu sekali: Shalat Jum'at. Sepulang dari sana, Bah Ali rajin shalat, dzikir dan berdo'a. Ke mesjid, nyaris tak pernah lewat.

"Itu menentramkan" nasihat Kiai itu terus diingatnya. Dan benar saja, shalat memberinya tenang. Bukan lupa sama sekali, mana mungkin melupakan anak. Hanya, beban kehilangan sedikit ringan. Dan alangkah bahagianya saat enam tahun kemudian, Muning datang. Sudah remaja. Ayu wajahnya, bersih kulitnya. Namun bahagia itu surut seketika, saat dilihatnya pakaian Muning minim.

"Muning, kamu dari mana saja?"

"Ada Bah."

"Iya ada itu di mana?"

"Ada saja Bah."

"Kamu tinggal sama siapa? Dari mana makan? Siapa yang merawatmu selama ini?"

"Maaf Bah!"

Muning malah ngeloyor ke kamar. Bau rokok segera tercium.

*  *  *

Sabtu sore, langit cerah. Mentari menjingga, hendak turun ke ufuk. Adzan berkumandang, dan saat itu, Bah Ali ke pancuran, wudlu. 

Muning? Pergi dengan pakaian seksi, dengan pakaian seksi, menuju pangkalan ojek. Entah mau ke mana.

Langsung ke mesjid, Bah Ali shalat dan wirid. Beres itu, tidak pulang. Duduk menunggu Isya di teras mesjid. Bersampingan dengan Pak Kusen, tetangganya.

"Mengapa ya, kita punya nasib sama. Anak saya gadis, lakunya parah. Anakmu bujang, juga parah. Gaulnya di jalan. Rambutnya gondrong. Berkalung rantai. Rambut anak saya malah cepak, berkalung rantai juga, dan sekarang, entahlah, tadi sore sepertinya mau pergi..." curhat Bah Ali.

"Hehe, itu kan anak Bah Ali. Si Dadang anak saya, alhamdulillah tidak."

"Lho, yang benar Pak?"

"Iya, alhamdulillah. Lebih tepatnya sudah tidak lagi."

"Dia Insaf? Pak Kusen, tolong beritahu saya, itu bagaimana anak Bapak bisa berubah secepat itu?"

"Tidak tahu. Tadi kan lihat sendiri ke mesjid."

"Oh tadi ke mesjid?"

"Iya."

"Kok saya tak lihat?"

"Ya, memang shalatnya masih terlambat. Tidak wirid. Usai shalat langsung pulang. Tapi dibanding sebelumnya, sekarang sudah lumayan. Rambut dia potong pendek, anting dia tanggalkan, dan, kalau tak ada perlu, tak mau dia keluar malam."

"Lha, itu bagaimana bisa?"

"Kan saya katakan tadi Bah, tidak tahu. Entah sebab nasihat siapa."

"Mungkin Pak Kusen menasihatinya?"

"Iya, memang sering. Tapi, tak sekali pun dia gubris. Tiap kali mau ngobrol, langsung dia potong, 'Sudahlah Pak, dulu juga waktu muda, Bapak sama seperti saya. Sama bandelnya. Cuma jenis bandelnya saja yang beda,' gitu katanya."

"Tidak mungkin tanpa sebab," Bah Ali makin penasaran. Kini duduknya menghadap Pak Kusen. "Kalau boleh, bakda Isya nanti saya mau ikut ke rumah ya Pak?"

"Oh ya, dengan senang hati."

Waktu Isya tiba, Dadang datang. Ke mesjid. Ikut berjamaah. Dan kemudian, seperti rencana, usai Isya Bah Ali ikut ke rumah Pak Kusen.

Boleh dikata, Pak Kusen kaum menengah. Rumahnya gedong, berlantai keramik, Gajih gurunya cukup buat mengumpulkan uang dari bulan ke bulan membangun rumah, meski gayanya masih gedong tahun 1980-an, lurus-lurus saja.

Bukan dengki, namun melihat itu, Pak Ali sedih nian rasanya. Teringat rumah reyotnya sendiri. Dan lebih sedih dari itu adalah, saat teringat anaknya: Muning.

Di ruang tamu, kedua ayah itu duduk berhadapan, terhalang meja.

"Mahh...," Pak Kusen memanggil istrinya.

"Ya Pak!" suara dari ruang tengah.

"Air minum. Ini ada tamu."

Ketika Bu Kusen menyajikan air, Pak Kusen memintanya duduk, "Begini Mah, Bah Ali ini datang, katanya mau tahu, mengapa anak kita berubah?"

"Memangnya Bapak tidak tahu?"

"Tidak Mah! Tolong Mamah jelaskan!"

"Harusnya sebagai orang tua, Bapak juga tahu!"gugat Bu Kusen.

"Itulah Mah. Entah kenapa, dia sungkan curhat pada saya. Sudah biasanya kan, anak laki-laki itu dekat dengan ibunya. Ayolah Mah ceritakan, sekalian Bapak ingin tahu, kenapa itu Si Dadang sampai berubah?"

"Sebenarnya, Mamah juga tidak tahu Pak! Tapi Mamah perhatikan, Si Dadang berubah, setelah dia main ke rumah pamannya."

"Nah, bagaimana setelah dia pulang dari rumah pamannya?" tanya Bah Ali tak sabar.

"Ya, begitulah berubah."

"Yah, Mamah, itu mah kan kita sudah tahu. Sebabnya Mah! Sebabnya! Kita ingin tahu sebabnya!"

"Si Dadangnya kan ada di dalam. Tanyakan saja langsung." Ingat Bu Kusen, "Dang.....Dadang!!!"

"Ya Mah!" samar terdengar dari kamar.

"Sini!"

Tak sampai semenit, Dadang muncul. Masih pakai sarung. Sebuah buku terpegang di tangannya.

"Duduk Dang!" minta Pak Kusen.

"Dang, kalau Bapak boleh tahu, bagaimana awalnya sampai kamu berubah?"

"Ini Pak!" Dadang menyodorkan buku.

"Buku apa ini?"

"Ya, buku ini pemberian paman. Ini kisah fiksi Pak, tapi sangat menyentuh. Saya tertarik dengan tokoh Mas Gagah. Setelah membaca kisahnya, saya tertarik buat berubah."

"Kamu sudah selesai bacanya?" tanya Pak Kusen.

"Tujuh kali tamat Pak! Sekarang ke delapan kalinya, sedang mengulang."

"Nah, bagaimana kalau buku ini kita pinjamkan dulu ke Bah Ali, biar Bah Ali suruh juga Si Muning, anaknya membaca."

"Boleh."

"Mas Gagah itu siapa?" sela Bu Kusen.

"Tokoh dalam buku ini Mah. Ini yang jadi nama judulnya." ucap Dadang sambil menunjukkan cover depan buku itu, KETIKA MAS GAGAH PERGI.

"Lha itu kan teladan buat remaja pria saja. Sedang anak Bah Ali, Si Muning kan gadis."

"Tidak Mah, di dalamnya, ada teladan pula buat anak gadis. Penulisnya luar biasa, tanpa menggurui, dia sukses menunjukkan sosok teladan bagaimana seorang gadis ideal shalihah. Ini saya bacakan di pengantarnya, seorang remaja wanita terpengaruh buku ini, hingga memutuskan berjilbab."

Dan begitulah, singkat cerita, di rumahnya, Bah Ali berikan buku itu pada Muning. Tak secara langsung. Buku itu dia simpan di kamar anaknya itu.

Satu malam lewat, satu siang lewat, satu hari satu malam lewat. Dua hari lewat, namun yang Bah Ali tunggu, tak terjadi juga. Putri bungsunya tak pula berubah.

Tiga hari lewat. 
Mungkin akan berubah. Ternyata tidak.

Bah Ali penasaran. Malam, saat Muning pergi, Bah Ali masuk kamarnya, mencari buku itu. Di ranjang tak ada. Di atas lemari baju tak ada.

Bah Ali melongok ke bawah ranjang. Gelap. Diambilnya lampu senter. Dan..."Wadduh..,ini buku, bukannya dibaca, malah dilempar ke kolong."

Semalaman itu, Bah Ali gusar. Beban batin dirasakannya. Bagaimana 'atuh' cara menasihati anaknya? Dadang sudah berubah, syari'atnya dengan membaca. Ya, karena itu Dadang, anak guru, tersuasanakan membaca di rumahnya. Ayahnya Pak Kusen seorang guru, Sejak kecil, punya banyak buku rumah. Sedang Muning tidak. Muning bukan Dadang. Muning anaknya, sekolahnya cuma sampai SD. Kurang suka membaca. 

Wajar, jika buku itu malah dilempar ke kolong ranjang.

"Hmmmhhhh." nafas panjang dihembuskannya. Tak lama, Adzan Shubuh terdengar. Di atas ranjang, kedua tangan dia tangkupkan ke muka. Diusapkan dari atas ke bawah, "Hemmmhhhh" sekali lagi dihembuskannya. Dari kamar samping terdengar batuk Muning.

Pembaca sekalian, tidak tahu kenapa, sampai di sini, ide saya jadi mati. Tidak tahu lagi bagaimana cara meneruskan kisah. Susah saya pikirkan, bagaimana caranya supaya si Muning akhirnya jatuh cinta kepada buku "Ketika Mas Gagah Pergi". Dan tentu saja, sebelum dia cinta, harus terlebih dahulu dia cinta membaca. Dan untuk cinta membaca, tentu saja ini membutuhkan sebab juga. Itulah yang buat saya pusing kepala, Belum ada ide bagus, namun, akan saya teruskan cerita ini kepada suatu malam. 

Seperti biasanya, Muning pergi dari rumah. Belum saya beritahukan kepada Anda, sebenarnya selama ini dia pergi ke mana. Baiklah kita ikuti saja. Naik ojek, dia berangkat menuju sebuah tempat. Selama ini ayahnya mengira dia pergi ke kota. Namun tidak. Sebenarnya dia pergi ke kampung lain, hingga tiba di depan sebuah rumah, motor dihentikannya. Rumah besar, berpagar tinggi, bergerbang, bertaman luas. Muning masuk ke sana. Terdengar, dari dalam, anak-anak ramai mengaji. Ke sanalah Muning masuk. Menuju kamar. Masuk WC-nya. Bersuci. Menuju Mushala. Shalat. Lalu, dengan berpakaian gamis, dia ke ruang mengaji anak-anak.

"Bu Aisyah.....aku dulu...aku dulu," anak-anak berebutan.

Satu persatu, anak-anak itu membaca Iqra. Mestinya setiap kesalahan Aisyah luruskan, namun lewat. Banyak bacaan salah, luput dari perhatiannya. Konsentrasinya buyar. Aisyah Kemuning teringat terus pada Abahnya. Sampai bela-belain memberinya buku bacaan, saking inginnya Aisyah berubah. Betapa inginnya dia melihat Aisyah shalihah begitu besar. Aisyah paham, melihat keshalihan anak, itu yang sangat orang tua rindukan.

Dan sebenarnya Muning, beginilah sebagaimana adanya sekarang. Atas didikan Bu Hajah Handayani, sejak SMP telah berjilbab, shalihah. Namun satu hal yang buatnya tak suka Bapaknya melihat dia Shalihah adalah, ketidakpedulian Abah akan pendidikannya. Dulu, selulus SD ayahnya malah menginginkan Aisyah ke Timur tengah, menjadi TKI, untung saja Biro tak menerima anak sekecil Aisyah saat itu. Jadi, begitu tak berperasaaannya Abah. Dan mau dia sebenarnya, Aisyah tak perlu meneruskan sekolah. Pernah dia suruh Aisyah jadi pembantu rumah tangga di kota, Aisyah tak mau. Dia kabur ke rumah bibinya yang tak jauh dari sana. Nah, bibinya inilah yang kemudian mengantarkan Aisyah ke rumah Bu Hajah Handayani untuk dijadikan anak asuhnya. Sejak SMP, kemudian SMA. Selama SMP-SMA, sekali pun Muning tak pernah pulang, bahkan hingga Abah sakit, Bibi dan Paman Muning tetap memintanya tinggal di sana. Biarlah. Biar itu jadi pelajaran. Dan memang benar, Bah Ali mendapatkan pelajaran. Kehilangan Muning telah membuatnya berubah.

Sekarang Muning sudah pulang, sudah kembali ke rumah Abahnya, namun sebuah dendam masih terselip, dia ingin Abahnya tahu jika dia adalah seorang muslimah Shalihah. Dia hanya ingin Abahnya tahu, betapa inilah akibat tekanan  abahnya dulu terus meminta Muning bekerja. Muning merasa bagus pempilannya sebagai muslimah selama ini bukan hasil didikan Abahnya, maka menurut Muning, Abahnya tak berhak melihatnya sebagai wanita shalihah. Terus terang, sampai sekarang dia masih benci kepada ayahnya.

*  *  *

Tatkala segala tindakannya itu dia ceritakan kepada Bu Hajah Handayani. Tak banyak bicara, Bu Hajah hanya mengajaknya merenungi sebuah ayat:

"Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil"

Lalu, sedikit nasihat.

"3 Orang kamu dzalimi!"

"Siapa saja Bu?"

"Kamu,  ayahmu, dan Ibu. Ibu tak mau kamu begitu."

Related Posts:

0 Response to "Buku Novel Ketika Mas Gagah Pergi"

Post a Comment