Bukan, Bukan Lagi Lamunan

Kini aku, bahagia sekali. Banyak hal yang, dulu sangat kurindukan, kini kesampaian. Terima kasih ya Allah, apa yang bisa kuberikan pada-Mu sebagai ucapan terima kasih, sebab ucapan terima kasih ini sendiri, sesungguhnya akan kembali lagi kepada diri. Terima kasih telah menciptakanku, dan menghendakiku jadi hamba-Mu.

Aku orang kampung, kini tinggal di kota. Teringat adik dekatku, Si Isma. Dulu, waktu SMP dan SMK saya satu kelas dengannya. Kini, demi kejar cita-cita, saya ke kota, dan dia, adikku, masih tinggal di desa.

Sedang apakah dia, saya kangen padanya. Jarak dengannya kini jauh. Memerlukan sekian ribu rupiah.

Ringtone hape!

Isma!

Benakah darinya? Kulihat screen. Benar.

"Irma" panggilnya menyebut namaku. Kedekatan usia kami menyebabkan panggilan kakak susah kuterima darinya, "..tadi siang ada orang datang ke sekolah. Ngakunya, dia petugas dari Kota Tangerang, buat survei ke desa-desa, memeriksa ada tidaknya perpustakaan di sana, sekalian survei perpustakaan sekolah-sekolahnya. Ya, kemudian dia datang ke SMP tempat kerja saya. Dia periksa bagaimana kondisi bukunya, didampingi salah seorang guru di SMP ini. Nah, ceritanya, waktu mendekati sebuah lemari, guru SMP di sini, menunjukkan buku karya salah seorang lulusannya, yaitu buku kamu."

"Trus"

"Trus dia katakan, mengapa saya sampai tak tahu jika di kampung ini ada penulis muda. Sebenarnya, selama ini saya terus mencarinya. Karena selama ini, penulis muda sangat jarang. Sekota Tangerang ini nyaris tak ada."

Singkat cerita, Isma katakan, jika aku harus pulang dulu, bauat dialog langsung dengan petugas perpustakaan daerah Kota Tangerang. Aku memenuhinya, dan di sana, petugas bercerita:

"Waktu di desamu, setelah tahu ternyata di sana ada penulis, saya marah-marah kepada petugas desa. Mengapa tidak menginformasikan dari dulu? Kemudian petugas desa jawab, bagaimana kami memberi informasi, pihak perpustakaan daerahnya saja jarang datang. Akhirnya sama-sama mengakui kesalahan, dan ini jadi moment terbaik buat pemerintah kota lebih intens lagi survei ke sana."

Kemudian, petugas itu pun melanjutkan, "Nanti, kamu jika ada event-event lagi akan kami undang."

"Sebagai peserta?"

"Bukan, kamu kami anggap sudah penulis jadi. Kamu, langsung saja jadi juri. Atau jadi pembicara di depan peserta. Kemarin saja, saking tidak adanya pembicara. Kami undang saja seorang pendongeng. Berapa coba diberi upahnya? Sampai 3 Juta. Nanti mah jangan orang lain lagi. Kamu, orang sini yang harus jadi pembicara! Ya."

Saya bahagia sekali. Beginilah kehidupan yang saya rindukan. Kecintaan saya menulis itu benar-benar dihargai. Terus diundang ke sana  ke mari sebagai pembicara.. Ini impian saya banget. Dengan tercapainya impian  ini, saya bisa menunjukkan kepada orang tua, terutama kepada Bapak, bahwa kecintaan saya kepada menulis selama ini, berbuah manis.

Bukan lagi lamunan. That Is Real.

Related Posts:

2 Responses to "Bukan, Bukan Lagi Lamunan"