Jenuh menulis, menuju dapur. Menyeduh kopi. Bukan kopi sembarangan. Oleh-oleh Mbak Asma Nadia. Pulang dari Costarika. Wah ini special. Saya campur susu dan gula. Seketika teringat bapak, di kampung. Suka sekali dia ngopi. Bela-belain membeli, kopi sasetan. Dan nyaris rajin, selain merokok, dia menyeduh kopi. Kadang bagai jadwal makan, sehari tiga kali. Usianya makin tua, jadi rawan penyakit. Akibatnya, suatu saat kakinya borok dan tak sembuh-sembuh. Diperiksa ke dokter, cek darah, ternyata gula darah tinggi.
Kaget. Bapak saya kena kencing manis. Jangankan bapak, orang yang mengalaminya, saya sendiri jadi takut. Beneran takut. Bagi saya, cerita orang kencing manis tak pernah berakhir manis. Itu dari cerita orang-orang yang pernah mengalami. Kiai terkenal di kampung saya, meninggal gara-gara itu. Tetangga juga sama, meninggal syariatnya kena penyakit gula. Dan saya tak mau itu terjadi pada bapak. Saya mau, dia sembuh lagi.
Memang kasihan melihat hari-harinya. Setelah tahu dari dokter dia menderita penyakit gula, makanannya jadi terkekang. Kopi kasih tercintanya, terpaksa harus dia putuskan. Terpaksa, ini karena keadaan. Demikian juga dari kue-kue dan penganan manis lainnnya, sama sekali dia menahan. Sungguh kasihan, terlebih saat masuk hari lebaran. Berkaleng-kaleng kue, kue basah, kue kering, bolu basah, bolu kering, dan berbagai minuman manis, tersaji di meja, namun Bapak, sama sekali tak bisa menikmatinya.
Lebih parah lagi, minuman dia adalah ramuan pahit-pahit, seperti tumbukan biji mahoni, batrawali, sambiloto, dan berbagai jejamuan pahit lainnya. Sering saya melihatnya nyengir manahan pahit ketika sedikit-sedikit jamunya dia telan. Itu dia lakukan setiap hari. Saya sampai nanya sana-sini, sebenarnya apa obat herbal paling ampuh buat penyakit Bapak. Kepada tukang obat, kepada ahli terapi, bahkan kepada pemilik toko buku langganan saya.
Tapi akhirnya, tanpa saya ketahui kapan sembuhnya, tahu-tahu, kaki Bapak sudah kering. Maaf, maksud saya kering bagian boroknya. Gembira sekali. Suatu ketika, saya terserang batuk, dengan sakit gigi, yang membuat, saya harus mengundang dokter datang ke rumah. Sekalian memeriksa saya, dokter itu periksa juga darah bapak saya. Dia cek, iya kadar gula sudah turun.
Tahu begitu, bapak pada kekasih lamanya: kopi. Diseduh di dapur, kemudian, dia bawa ke tengah rumah. Saya cuma diam. Tak punya komentar. Cuma hati yang cemas. Ingin rasanya berkata, "Seharusnya Bapak jangan dulu minum kopi." Untungnya terwakili emak.
"Kok minum kopi lagi?"
"Lukanya sudah kering kok."
"Penyakit semacam itu kan bisa datang lagi."
Diam, hanya bisa diam. Sama sekali tidak bisa komentar. Kepada bapak, atau kepada peringatan Emak.
Begitulah karakter asli saya, dalam keseharian. Jika bukan sebab marah, kepada ketidakbaikan dan pelangaran, saya lebih suka diam. Bahkan bahayanya, sikap ini saya terbawa ke sekolah, kantor, dan rumah, jika sebuah ketidakbaikan terjadi, misalnya istri. Diam itu disebabkan, terlalu banyak kekhawatira, jika ucapan saya, menyebabkan orang tersinggung, kemudian jadi tegang dan bertengkar. Itulah sebabnya, jika di rumah atau dengan orang-orang terdekat, saya lebih suka diam, dingin, seperti kopi di meja saya, yang kini tinggal seteguk lagi.
Teringat bapak...
ReplyDeleteKalo butuh Box coba berkunjung ke sini : http://www.greenpack.co.id/