“Aku akan pergi sekarang sayang, jangan coba-coba
mengejarku. Terima kasih untuk semuanya,” ucap Wahyu sambil mengecup kening
Maya.
“Aku tak peduli kalian mau melaporkanku ke polisi atau
tidak, yang jelas kini hidupku sudah tenang, sudah kubalasakan semua perasaan
yang selama ini terpendam dihatiku kepadamu dan suamimu,” lanjutnya.
“Tuan Rohman, istrimu sangat lezaaat, tak salah kau
menikahinya, hahahaha...” bisiknya ke telinga Rohman kemudian melangkah pergi
meninggalkan rumah itu.
Maya masih menangis di atas tempat tidur tanpa busana.
Sementara Rohman terus menerus mencoba melepaskan diri, sangat ingin segera
mengejar dan membunuh Wahyu. Bola matanya dipenuhi rasa amarah dan dendam,
dihiasi bulir-bulir air mata yang mengalir deras, menangisi ketidakmampuannya
menjaga istri tercintanya.
Maya kemudian tersadar dari lamunannya, sambil masih
terisak-isak ia mencoba melepaskan ikatan di tangan kiri dan kedua kakinya.
Kemudian mengambil pakaian-pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar. Segera
setelah berpakaian kembali ia berlari menuju suaminya yang masih terikat,
mengambil kain yang menyumpal mulut suaminya.
“Hah... hah... hah... cepat lepaskan aku!” perintah Rohman
sambil mengatur nafasnya.
“Maafkan aku Mas,” jawab Maya sambil terus menangis.
“CEPAAAAT!” bentak Rohman.
Maya terkejut mendengarnya, dua tahun pernikahannya baru
kali ini sang suami membentaknya dengan keras. Ia segera turun ke lantai bawah,
pergi ke dapur mengambil pisau. Kemudian kembali ke kamarnya untuk melepaskan
suaminya. Tanpa berkata sepatah katapun ia terus coba memotong ikatan di tangan
Rohman. Setelah ikatan di tangannya lepas, Rohman segera merebut pisau dari
tangan istrinya. Kemudian meotong ikatan di badan dan kakinya dengan
terburu-buru. Ia tak ingin sampai kehilangan jejak Wahyu. Sementara Maya hanya
terduduk di lantai, menangis, sambil memandangi suaminya yang seperti orang
lain, yang bukan seperti suaminya yang selama ini ia kenal.
Setelah semua ikatan terlepas Rohman segera berlari turun ke
bawah, kemudian keluar rumah sambil membawa pisau dapur di tangannya. Mencoba
mengejar Wahyu yang sudah menghilang sejak tadi. Maya berlari mengikutinya, tapi
lagkahnya hanya terhenti sampai di depan pintu rumahnya. Ia tak ingin
tetangganya melihat dirinya yang berantakan, juga sedang menangis. Maya tak
ingin sampai tetangganya ada yang tau kejadian yang menimpa keluarganya malam
ini. Ia kemudian naik lagi ke lantai atas, menuju kamar Arin. Dibukanya pintu
kamar yang terkunci, ‘CKLAK’. Terlihat peri kecilnya masih tertidur lelap di
atas tempat tidur. Syukurlah Wahyu tak menyakiti putrinya tersebut. Segera ia
datangi sang anak, kemudian memeluknya dengan erat.
“BANGSAAAAAT!” teriak Rohman di tengah jalan.
Sudah 15 menit berlalu setelah ia melepaskan ikatanya. Entah
berapa jauh sudah ia berlari mengejar Wahyu yang telah pergi entah kemana. Ia
kemudian terduduk di pinggir jalan, menatap pisau yang dibawanya cukup lama. Namun
kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah. Melihat keadaan anak dan istrinya.
Sesampainya di rumah ia langsung mencari istri dan anaknya.
Di lantai dua dilihatnya pintu kamar sang anak terbuka. Dari depan pintu,
terlihat istrinya yang sedang menangis di lantai sambil memeluk Arin. Rohman
berjalan mendekati mereka berdua. Maya kemudian menoleh, dilihatnya suaminya
yang berjalan mendekatinya, dengan air mata yang terus mengalir dan pisau dapur
yang masih di genggamnya. Maya kemudian meletakkan anaknya yang masih dalam
pengaruh obat bius ke kasur. Wajahnya dipenuhi rasa takut, melihat sang suami
yang wajahnya dipenuhi amarah.
“DI mana Wahyu? Katakan Maya, cepat katakan!” ucap Rohman.
“Aku tidak tau Mas, sumpah aku tidak tau,” jawab Maya ketakutan.
“Aku tau diam-diam di belakangku kau sering smsan dengannya,
aku tau semuanya. Jadi cepat katakan, akan kubunuh iblis itu!”
“Aku tak pernah membalas pesannya Mas, sumpah. Aku tak ingin
menyakiti perasaanmu, aku diam bukan berarti aku berhubungan dengannya, aku
menjaga keutuhan rumah tangga kita”.
“Terserah! Yang jelas cepat katakan di mana dia! Iblis itu
harus kubunuh secepatnya!” Rohman makin menjadi.
“Aku tak tau, sudah cukup Mas, hentikan semua ini. Amarahmu
justru membuat dirimu yang jadi seperti Iblis!” jawab Maya tak dapat membendung
perasaannya.
‘PLAAAAK!’
Tangan Rohman mendarat di pipi Maya. Amarahnya seperti tak
terbendung lagi. ‘GLOTAK’ pisau dapur yang di genggamnya terjatuh ke lantai.
Maya terdiam sesaat, kemudian mengambil pisau dapur yang terjatuh.
“Kurang ajar kau Maya, beraninya kau berkata seperti itu
kepada suamimu!”
“Maafkan aku Mas, aku memang istri yang tak baik untukmu,
aku tak bisa menjaga diriku, aku tak bisa menjaga perasaanmu, aku bukanlah
istri yang baik untukmu,” ucap Maya sambil mengiriskan pisau di pergelangan
tangannya.
“HENTIKAN MAYA!” teriak Rohman.
“Mungkin ini adalah jalan terbaik, wanita hina sepertiku tak
pantas untuk hidup lagi. Tolong jaga anak kita Mas, terima kasih atas
kebahagiaan yang kau berikan kepadaku selama ini. Tak sedikitpun terlintas di
pikiranku untuk menghianatimu. Maafkan aku yang selama ini tidak bisa jujur
kepadamu tentang Wahyu,” Maya memberikan senyuman terindahnya kepada Rohman,
dihiasi air mata yang tak henti-hentinya mebasahi pipinya.
“TIDAAAK!!” teriak Rohman sambil mencoba mencegah apa yang
dilakukan istrinya.
Tetapi semua terlambat, darah segar keluar dari pergelangan
tangan Maya, mengalir deras membasahi lantai kamar anaknya. Rohman merebut
pisau tersebut lalu membuangnya. Dipeluknya erat-erat tubuh Maya.
“TIDAAAAAK!” teriak Rohman sambil memeluk istrinya.
“Maafkan aku sayang, tolong maafkan aku. Aku mencintaimu,
aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku khilaf tadi, jangan tinggalkan aku,”
tangisannya lepas sambil memeluk erat tubuh sang istri. Bola matanya kosong,
menerawang entah kemana.
Malam itu, kedua pasangan tersebut berpelukan dalam
kesunyian. Sang anak masih tertidur lelap. Darah segar dan air mata menghiasi
pemandangan malam itu. Suara jangkrik dan semilir angin dari pintu kamar yang
terbuka sesekali memecah kesunyian. Dunia selalu berputar, kita tak akan pernah
tau kapan hidup kita akan jatuh maupun melonjak naik. Tapi satu hal yang mereka
tau, apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan, mereka harus bangkit, sampai
Tuhan memanggil mereka, bukan mereka yang mendatangi Tuhan dengan cara yang
salah.
Bersambung....
<!--[if gte mso 9]>Bersambung....